Maka, pasal 24 dan 25 dilebur menjadi: “Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam dan atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan dilarang mendonorkan darah, organ dan jaringan tubuh.” Satu lagi: “Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering memakai jarum suntik pada penyalahgunaan narkoba dilarang mendonorkan darah, organ dan jaringan tubuh.”
Pada pasal 29 ayat 1 butir disebutkan: “Masyarakat bertanggungjawab untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap ODHA dan OHIDHA dengan cara: a. meningkatkan iman dan taqwa; b. berperilaku hidup sehat; c meningkatkan ketahanan keluarga.”
Butir a, b, dan c tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV. Untuk butir a: 1. Apa alat ukur (kadar atau tingkat) iman dan taqwa? 2. Siapa yang berhak mengukur (kadar atau tingkat) iman dan taqwa? 3. Bagaimana ukuran atau tingkat iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV? Hal yang sama juga dipertanyakan pada butir b dan c. Pasal ini justru mendorong masyarakat untuk melakukan stigma dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena dianggap mereka tertular HIV karena tidak beriman, tidak bertaqwa, tidak hidup sehat dan tidak mempunyai ketahanan keluarga. Bagaimana dengan istri-istri yang tertular dari suaminya? Begitu pula dengan orang-orang yang tertular melalui transfusi darah, apakah mereka tertular karena tidak beriman dan tidak bertaqwa, karena tidak hidup bersih dan sehat, atau karena tidak mempunyai ketahanan keluarga?
Pasal 29 sebaiknya berbunyi: “Masyarakat bertanggungjawab untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara: a. “Tidak melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam dan atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.” b. “Tidak memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum tattoo, jarum akupunktur dan alat-alat kesehatan yang tidak steril.” c. “Tidak memakai jarum suntik, jarum tindik, jarum tattoo, jarum akupunktur dan alat-alat kesehatan secara bergantian.”
Pasal 29 ayat 3: “Masyarakat mendorong setiap orang yang beresiko terhadap penularan HIV dan IMS untuk memeriksakan kesehatannya ke klinik VCT.” Ini bisa menimbulkan masalah di masyarakat, seperti fitnah dll. Pasal ini tidak perlu karena sudah di atur di pasal sebelumnya.
Sanksi pidana untuk pelanggaran terkait dengan asas anonimitas dan konfidensialitas. Sedangkan sanksi administatrif dengan fungsi yang mendidik diberikan kepada yang melanggar pasal larangan melakukan perilaku berisiko, seperti pada pasal 6 yaitu pemerintah daerah tidak membiaya pengobatan penduduk, kecuali perempuan hamil, yang tertular IMS dan HIV.
Karena upaya untuk mendeteksi kasus HIV dan AIDS di masyarakat bukan hal yang mudah maka belakangan dikembangkan cara baru yang dikenal sebagai Provider Initiated Testing and Counseling (PITC). Ini adalah cara baru untuk ‘menjaring’ penduduk yang tertular HIV yaitu melalui tes HIV atas rekomendasi atau inisiatif petugas kesehatan. Dokter yang melihat gejala AIDS pada pasien dengan riwayat perilaku yang berisiko dianjurkan tes HIV. Ini langkah baru mendeteksi kasus HIV yang sudah direkomandasikan WHO (Badan Kesehatan Dunia PBB). Ada baiknya ini dimasukkan ke perda sebagai langkah maju untuk memutus mata rantai penyebaran HIV.
Untuk menjalankan PITC ini diatur melalui pasal yang berbunyi: “Setiap dokter yang praktek di rumah sakit, puskesmas, poliklinik, klinik swasta, dan praktek pribadi wajib menjalankan PITC dan melaporkan hasilnya ke dinas kesehatan setempat.” ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H