Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Rancangan Perda AIDS Prov Banten Tidak Menukik ke Akar Masalah AIDS

2 September 2010   11:44 Diperbarui: 26 Mei 2018   00:48 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: ifejackets.com)

Pertama, yang harus memakai kondom bukan pekerja seks tapi laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan pekerja seks.

Kedua, selain pada laki-laki dengan laki-laki juga pada laki-laki yang berhungan seks dengan waria.

Ketiga, hubungan seks yang berisiko tertular HIV bukan hanya pada sanggama dengan pekerja seks, laki-laki dengan laki-laki, laki-laki dengan waria tapi juga dengan pasangan yang berganti-ganti.

Keempat, hubungan seks yang berisiko tertular HIV juga terjadi pada sanggama di dalam dan di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pelaku kawin-cerai, dan ‘cewek’ sebagai pekerja seks tidak langsung yaitu mereka yang tidak ‘mangkal’ di lokalisasi atau tempat-tempat tertentu.

Alat Baru

Bertolak dari fakta di atas maka pasal 6 ayat b akan berbunyi: “Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui kewajiban bagi setiap orang untuk memakai kondom pada setiap hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering bergani-ganti pasangan.”

Pasal 6 ayat d disebutkan: “Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui pengurangan resiko penularan HIV dan AIDS dari ibu ke anak.” Didukung pasal 8 ayat c: “Dalam hal Penanganan HIV dan AIDS, Pemerintah Daerah didukung layanan berupa klinik pencegahan dari ibu yang positif HIV kepada bayi yang dikandungnya.”

Persoalannya adalah di Indonesia, termasuk dalam rancangan perda ini, tidak ada cara untuk mendeteksi HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga (istri) yang hamil. Berbeda dengan Malaysia yang menjalankan survailans tes HIV dengan rutin dan sistematis terhadap pasien klinik PMS (penyakit-penyakit yang menular melalui hubugnan seks, seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.), pengguna narkoba suntikan, polisi, narapidana, pasien TBC dan perempuan hamil.

Maka, untuk mendeteksi HIV di kalangan ibu-ibu hamil harus ada pasal berbunyi: “Setiap perempuan hamil diwajibkan mengikuti survailans tes HIV melalui konseling.” Konseling yang komprehensif diberikan kepada perempuan-perempuan hamil yang datang ke tempat-tempat pelayanan kesehatan, seperti Posyandu, Puskesmas, praktek bidan, rumah sakit, dan rumah bersalin.

Setelah mereka memahami HIV dan AIDS, risiko yang akan timbul, serta dukungan pemerintah jika mereka terdeteksi HIV-positif mereka pun mengikuti survailans tes HIV dengan asas anonimitas (contoh darah tidak diberi tanda atau label yang menunjukkan pemilik contoh darah), dan konfidensialitas (hasil tes bersifat rahasia, hanya diketahui konselor dan dokter). Ibu hamil yang terdeteksi HIV-positif pada tes survailans ditawarkan untuk mengikuti tes konfirmasi lanjutan.

Di pasal 8 ayat a disebutkan: “Dalam hal Penanganan HIV dan AIDS, Pemerintah Daerah didukung layanan berupa klinik VCT dan CST.” Karena penemuan kasus HIV dan AIDS melalui tes HIV merupakan salah satu langkah dalam memutus mata rantai penyebaran HIV maka pasal ini harus berbunyi: “Dalam hal Penanganan HIV dan AIDS, Pemerintah Daerah didukung layanan berupa klinik VCT dan CST yang gratis.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun