Terkait dengan pelecehan di bus Transjakarta hal itu terjadi karena beberapa kondisi.
Pertama, jika hendak masuk atau keluar dari bus penumpang kesulitan karena ada jarak antara lantai bus dengan peron shelter antara 15 - 50 cm. Penumpang berhenti sejenak ketika hendak melangkah. Di belakang penumpang mendorong dengan, maaf, bagian depan badannya. Apakah pengelola Transjakarta tidak mempunyai teknologi yang bisa membuat jembatan antara lantai
bus dengan peron shelter?
Kedua, setiap bus tidak ada ketentuan jumlah penumpang yang boleh naik. Ada kondektur yang langsung menghambat calon penumpang. "Yang berikutnya." Itulah perintah kondektur. Padahal, bus masih kosong sehingga calon penumpang menumpuk di peron shelter.
Ketiga, bus mempunyai dua pintu yaitu depan dan belakang. Tapi, tidak semua koridor memakai dua pintu. Jika pintu depan untuk naik (masuk) dan pintu belakang untuk turun (keluar) tentulah akan nyaman karena penumpang yang turun tidak berhadapan dengan penumpang yang naik.
Sudah saatnya kita sebagai bangsa yang selalu menyebut diri berbudaya luhur dan beragama mengubah cara berpikir dalam menghadapi perempuan dengan pakaian minim di tempat umum. Laki-laki tidak lagi menyalahkan perempuan tapi mengekang diri dan syahwat. Kalau mengaku sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama tentulah bisa mengatasi godaan setan atau iblis. Lho, kalau melihat aurat tempat umum saja ada laki-laki yang kelenger, ya, koq bisa? Bagi orang yang berbudaya dan beragama tentulah bisa mengendalikan diri menghadapi godaan.
Di sebuah provinsi ada peraturan daerah (Perda) yang melarang perempuan keluar malam. Bayangkan, kalau seorang perempuan harus membawa anaknya ke dokter atau rumah sakit atau membeli obat. Rupanya, Perda itu dipakai sebagai ‘alat' untuk menjerat pekerja seksual.
Tapi, tunggu dulu. Perzinaan bisa terjadi kalau ada laki-laki. Nah, mengapa laki-laki tidak dilarang keluar malam? Bisa saja laki-laki ‘hidung belang' yang mendatangi perempuan.
Kalau saja perancang dan pembuat perda itu sensitif gender dan memakai perspektif dalam membuat aturan maka perda itu justru menjami keamanan perempuan jika keluar malam.
Beberapa daerah di Indonesia sudah menelurkan perda anti pelacuran dan anti maksiat. Sayang, tidak ada yang menyinggung pelecehan (seksual) terhadap perempuan. Ada perda hanya ingin menjerat perempuan yang dianggap sebagai pelacur berdasarkan cirri-ciri fisik. Tentu saja ini menyesatkan karena tidak ada kaitan langsung antara ciri-ciri fisik dengan pelacur.
Seorang sopir taksi pernah bercerita bahwa langganannya ada yang memakai pakaian yang menutup aurat ketika keluar dari rumah. Tapi, di taksi perempuan itu menukar pakaiannya. Perempuan itu turun di hotel dengan pakaian yang minim.*