Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Entah Sampai Kapan Kita Menantikan Anggota DPR yang Amanah

28 Maret 2014   17:33 Diperbarui: 16 Juni 2023   08:12 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengharamkan umat Islam memilih calon anggota legislatif yang saat ini masih menjadi anggota DPR namun sering membolos, tidak bertanggung jawab dan bermasalah. Anggota DPR yang berlaku seperti itu dianggap sebagai wakil rakyat yang tidak amanah terhadap jabatannya (Wakil Rakyat Tidak Amanah Jangan Dipilih Lagi,tribunNews.com, 27/3-2014). 

Sejak Pemilu pertama di masa Orde Baru (rezim Orba) tahun 1971, anggota DPR yang secara faktual dipilih ternyata juga tidak menjadi wakil rakyat karena mereka dibelenggu oleh fraksi (KBBI: kelompok dalam badan legislatif yang terdiri atas beberapa anggota yang sepaham dan sependirian) di DPR. 

Selain itu selama pemilihan umum (Pemilu) di masa Orba banyak anggota dewan yang diangkat oleh pemerintah.Selain dibelenggu oleh fraksi, satu hal yang luput dari perhatian adalah keputusan dan kebenaran di DPR ditentukan oleh suara terbanyak melalui voting yaitu 50 persen + 1 suara.

Suara Fraksi

Kondisi itulah yang membuat anggota DPR tidak akan bisa amanah (bisa dipercayai yaitu mengemban tugas sebagai wakil rakyat yang memilihnya).Maka, amatlah naif kalau kemudian partai-partai yang mengusung agama sebagai ’perahu’ ke Senayan mengatakan bahwa kehadiran mereka di DPR akan melindungi kepentingan agama yang mereka usung

Soalnya, DPR priode 2009-2014, misalnya, partai-partai yang mengusung agama, disebut ”Poros Tengah” hanya menduduki  164 kursi dari 560 kursi di Senayan atau 30 persen.Itu artinya adalah hal yang mustahil mereka bisa memenangkan ’pertarungan’ karena dengan komposisi 30 persen secara faktual mereka kalah jika dilakukan voting (keputusan sidang dengan pemungutan suara).

Celakanya, MUI tidak melihat realitas percaturan politik di Senayan. Biar pun ada anggota yang amanah mereka tidak akan bisa memenangkan pertarungan jika kalah voting.Dengan cara walk out (WO) yaitu meninggalkan ruang sidang pun tidak ada artinya karena keputusan berdasarkan suara terbanyak.

Adalah merupakan dagelan ketika ada anggota DPR yang WO karena hal itu tidak ada artinya jika keputusan dilakukan melalui voting kalau yang WO hanya segelintir anggota DPR.Selama suara di DPR ditentukan oleh fraksi, maka selama itu pula anggota DPR tidak akan bisa amanah.Fraksi di DPR menjadi ’polisi’ bagi anggotanya sehingga anggota tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat yang memilihnya jika berlawanan dengan kebijakan fraksi.Memang, apa pun alasannya anggota DPR tidak boleh membolos. 

Tapi, fakta menunjukkan pada sidang-sidang komisi, bahkan sidang paripurna anggota dewan yang hadir tidak banyak.Kalau memang anggota-anggota dewan yang mangkir dari sidang komisi dan sidang paripurna karena merasa suaranya tidak berarti, maka langkah yang arif dan bijaksana adalah mengundurkan diri dari DPR serta mengembalikan mandat ke rakyat.

Membalik Pradigma

Namun, dalam sejarah belum ada anggota DPR yang mengundurkan diri karena suaranya tidak didengar. Yang ada adalah anggota dewan yang dipecat karena terlibat kasus-kasus pidana, terutama korupsi [KBBI:  penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain].Selain membolos tidak sedikit pula anggota DPR yang tidur pulas menikmati mimpi ketika sidang. 

Seakan tidak punya malu anggota dewan yang tertidur mengabaikan tugasnya sebagai wakil rakyat.Bertolak dari fakta terkait dengan perilaku anggota dewan, maka fatwa MUI itu tidak ada gunanya karena anggota dewan yang baru pun kelak tidak bisa dijamin perilaku mereka tidak seperti anggota dewan yang sekarang.

Artinya,  tidak ada jaminan bahwa anggota dewan yang baru dipilih yang bukanincumbent (yang sedang menjadi anggota DPR) kelak tidak akan membolos dan tidak akan pernah tertidur di sidang.

Maka, fatwa yang relevan adalah ”Haram hukumnya anggota dewan melanjutkan masa kerjanya jika membolos dan tertidur di sidang.”Nah, fatwa seperti itulah yang diharapkan sehingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun tidak lagi berkoar-koar dan mendorong-dorong MUI menelurkan fatwa bahwa tidak memilih (dikenal sebagai golput) adalah haram.KPU dan Bawaslu justru mendorong MUI menelurkan fatwa di atas sehingga penduduk yang mempunyai hal pilih akan merasa terdorong untuk memberikan suara memilih wakilnya di Senayan.

Tapi, kalau MUI, KPU dan Bawaslu hanya mengumbar moral dengan mengatakan golput haram sementara anggota dewan yang dipilih tidak amanah maka itu artinya banyak orang yang akan berpikir dua kali sebelum melengkah ke tempat pencoblosan.Sudah saatnya MUI, KPU dan Bawaslu membalik paradigma berpikir: bukan lagi menyasar golput, tapi mencengkeram anggota dewan yang terpilih dengan jerat moral dan hukum.*** [Syaiful W. Harahap - baranews.co] ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun