Yang memelihara pesugihan itu membutuhkan 17 nyawa sebagai tumbal. Sampai tiga tahun yl. sudah 9 nyawa yang jadi tumbal, muilai dari adik, anak, menantu, ipar, sampai sopir. Anak saya, cewek, dijadikan nomor 10 dan saya nomor 11.
Tapi, Alhamdulillah, yang mati jadi tumbal justru yang memelihara pesugihan dan kakaknya.
Kematian mereka beruntun.
Bu Haji dan Pak Misbach, keduanya di Banten, dengan izin YMK “memagari” saya dan putri saya sehingga yang jadi korban mereka sendiri.
“Bapak segera ke sini,” pinta Pak Misbach setelah membaca SMS saya malam itu.
Selasa (17/6-2014) saya pun berangkat ke Cilegon.
“Wah, itu angin, Pak,” kata Pak Misbach. Memang sejak malam minggu lalu pinggang saya nyeri. Kepala bagian kiri sekitar telinga pun nyeri. Bahkan, badan terasa demam.
“Syukurlah, ‘binatang’ itu tidak masuk ke badan, Bapak,” kata Pak Misbach dengan nada pelan.
Soalnya, ‘binatang’ itu hanya ‘perwujudan’ dari angin yang dikirim ke rumah. Memang, sejak malam Jumat sebelumnya di loteng ada suara-suara seperti ada benda atau binatang yang berjalan-jalan dari satu sudut ke sudut lain.
‘Binatang’ itu saya bawa ke halaman dan saya gilas dengan batu sampai lumat. Esok pagi saya lihat banyak semut mengerubuti bekas ‘binatang’ itu saya lumatkan.
‘Angin’ yang masuk ke badan saya melalui santet itu ‘jalan-jalan’ di dalam badan. Itulah yang membuat nyeri.