Tiba-tiba saja air mata saya menetes. Ketika itu (17/6-2014) saya di rumah Pak Misbach di Cilegon, Banten. Saya tiba di rumah itu pukul 10.15 setelah lima kali ganti angkutan, mulai dengan Mikrolet, bus antar kota, angkot dan ojek sejak dari Terminal Bus Pulogadung, Jakarta Timur.
Itu kunjungan saya yang kesekian puluh kali sejak tahun 2005 untuk mengambil benda-benda di dalam tubuh yang dikirim sebagai santet.
Ada satu pertanyaan yang sangat mendasar yang sampai sekarang tidak saya dapatkan jawabannya: Mengapa orang yang memelihara pesugihan (memelihara makhluk halus untuk mencari kekayaan) menjadikan saya dan putri saya sebagai tumbal?
Kalau ada dugaan bahwa korban santet karena perbuatan balas dendam dengan berbagai alasan, saya justru sebalinya: Saya tidak mempunyai persoalan terkait dengan materil dan moril dengan orang yang memelihara pesugihan yang menjadikan saya dan putri saya sebagai tumbal.
Pertanyaan itulah yang tiba-tiba muncul ketika saya di rumah Pak Misbach. Sebelumnya, air mata juga sering menetes jika tengah malam putri saya mengeluh payudaranya panas sambil bertanya, “Pa, ada ongkos ke Bu Haji?” (Bu Haji di Pandeglang, Banten, yang banyak membantu saya dan putri saya dalam menghadapi santet).
Selain karena keluhannya tentulah masalah biaya jadi pikiran. Kalau ke Bu Haji atau Pak Misbach cukup dengan ucapan terima kasih atau ala kadarnya.
Sudah sering air mata menetes karena hampir setiap pekan ada saja kiriman yang ditujukan ke saya. Celakanya, di lingkungan keluarga tidak ada yang percaya sehingga praktis hanya saya yang mengurus diri sendiri dan anak menghadapi santet yang bertubi-tubi.
Malam Minggu (14/6-2014), misalnya, sekitar pukul 23.30 ada binatang hitam seperti lintah yang menggulung jika tersentuh di atas kasur. Semula saya pikir benda lembek dan licin yang menyentuh bagian paha saya adalah makanan sejenis coklat. Tapi, ketika saya pegang benda itu menggulung kira-kira sebesar bola pingpong.
“Hati-hati, Pak, itu ‘kiriman’,” kata Pak Misbach melalui telepon.
Astaga, lagi-lagi santet.
Kali ini kiriman dari sebuah tempat di kota “S” di Priangan, Jawa Barat. Dukun yang mengirim ‘benda’ itu seorang perempuan muda yang baru “lulus” belajar ilmu hitam. Dukun santet ini dibayar oleh saudara yang memelihara pesugihan yang tinggal di Kota “B” di bagian selatan Jabar.