Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Penyebaran HIV/AIDS Terjadi di Pasar Ciawi, Bogor?

4 November 2014   17:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:43 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1415070558970606595

Dinkes Pantau Penyebaran HIV/AIDS di Pasar Ciawi.” Ini judul berita di jpnn.com (2/11-2014).

Astaga, apa kaitan antara pasar, dalam hal ini Pasar Ciawi di Kab Bogor, Jabar, dan penularan HIV/AIDS?

Judul itu menyiratkan terjadi penyebaran HIV/AIDS di Pasar Ciawi, sebuah pasar di perempatan Ciawi di ujung jalan tol Jagorawi yang menuju ke Sukabumi, Puncak dan Kota Bogor.

Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Bogor dari tahun 2003-2012 dilaporkan 548 (rribogor.co, 30/11-2012). Yang perlu diingat angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (548) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut.

Maka, penduduk yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Dalam berita disebutkan: “Tiba-tiba, tim ini langsung mengambil sampel darah kepada pengunjung dan pedagang untuk mengatahui apakah terjangkit virus mematikan tersebut.”

Pernyataan dalam berita tsb. amat tidak masuk akal, karena:

Pertama, mengambil sampel darah pedagang dan pengunjung pasar tidak bisa dilakukan tanpa izin pedagang dan pengunjung karena tidak menyangkut penyakit yang termasuk wabah (penyakit menular yang berjangkit dengan cepat melalui udara, air, dan binatang, al. serangga yang menyerang banyak orang secara luas di banyak daerah, spt cacar, disentri, kolera, malaria, dll.). Sedangkan HIV/AIDS bukan wabah tapi pandemi (penyakit menular yang berjangkit tidak melalui udara, air dan binatang tapi melalui cara-cara yang sangat khas).

Jika pengambilan darah dilakukan tanpa izin, maka hal itu merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).

Publikasi hasil tes HIV terhadap pedagang dan pengunjung Pasar Ciawi itu pun kelak akan menimbulkan masalah karena akan memberikan gambaran buruk jika ada hasi tes yang reaktif (positif).

Bisa saja masyarakat menganggap penularan dan penyebaran HIV terjadi melalui kegaitan perdagangan di pasar tsb.

Jika hal itu yang terjadi maka itu artinya terjadi kontra produktif terhadap penanggulangan HIV/AIDS karena orang pun akan beranggapan HIV/AIDS menular melalui kegaitan di pasar.

Kalau saja LSM Kampoeng Belajar, UPT Puskesmas Ciawi dan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor memberikan penjelasan kepada wartawan bahwa pedagang dan pengunjung menjalani tes HIV karena ada kemungkinan perilaku seks mereka di luar kegiatan pasar berisiko tertular HIV tentulah tidak akan menimbulkan masalah jika hasil tes ada yang positif.

Kedua, pedagang dan pengunjung di Pasar Ciawi tidak semerta sebagai orang-orang dengan perilaku seks yang berisiko tertular HIV/AIDS, al. sering ngeseks tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti.

Ketiga, sampai hari ini belum ada laporan kematian pengidap HIV/AIDS karena virus (HIV) karena kematian pada pengidap HIV/AIDS terjadi karena penyakit-penyakit yang muncul di masa AIDS (secara statistik setelah tertular HIV antara 5-15 tahun), disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll.

Dalam berita disebutkan: “Selain pedagang dan pengunjung, tes juga dilakukan kepada pegawai UPT Pasar Ciawi. Alhamdulillah hasilnya negatif semua.”

Pernyataan ini juga bisa menimbulkan persepsi yang salah di masyarakat karena: (a) Tes HIV yang dilakukan bersifat survailans tes HIV (mencari perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu tertentu) sehingga tidak membutuhkan hasil tes yang akurat, (b)Tes HIV yang dilakukan adalah rapid test yang tidak dilakukan tes konfirmasi sehingga hasilnya tidak akurat, (3) Hasil tes HIV melalui survailans itu hanya berlaku saat darah diambil sehingga status HIV bisa saja berubah setelah tes jika ada yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV.

Pertanyaan untuk Dinkes Kab Bogor adalah: Apakah di wilayah Kab Bogor ada pelacuran?

Ya, Dinkes Kab Bogor dan Pemkab Bogor tentu saja menepuk dada: Tidak ada!

Itu benar. Tapi, tunggu dulu. Yang tidak ada adalah pelacuran yang dilokalisir dengan regulasi (peraturan resmi), sedangkan praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Maka, penduduk dewasa Kab Bogor ada yang perilaku seksnya berisiko tertular HIV yaitu yang ngeseks dengan pelacur atau pekerja seks komersial (PSK) tanpa memakai kondom. Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga membuktikan ada laki-laki penduduk Kab Bogor yang ngeseks tanpa kondom dengan PSK.

Disebutkan pula bahwa Kepala UPT Puskesmas Ciawi dr. Dyon Rivardin, mengatakan, tes tersebut untuk mengetahui para penderita HIV/AIDS. Jika ada yang positif terjangkit virus tersebut, maka pihaknya akan langsung mengambil tindakan pencegahan.

Tindakan pencegahan apa?

Yang terdeteksi positif melalui tes HIV berarti ybs. sudah tertular HIV. Yang bisa dilakukan adalah menjalani tes CD4 untuk memastikan apakah ybs. sudah harus minum obat antiretroviral (ARV) atau belum. Soalnya, rekomendasi Badan Kesehatan Sedunia (WHO) menyebutkan jika CD4 sudah di bawah 350 maka diharuskan meminum obat ARV.

Disebutkan juga bahwa “Terjadinya penularan HIV dari pasangan, baik itu istri maupun suami, dan juga ke anak yang masih dalam kandungan karena ketidaktahuan sudah terjangkit virus HIV. Makanya kami selalu sarankan kepada masyarakat agar itu program pengetasan HIV ini.”

Pertanyaannya adalah:

(1) Apakah Pemkab Bogor, dalam hal ini Dinkes Kab Bogor, menjalankan program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubunga seksual dengan pekerja seks komersial (PSK)?

(2) Apakah ada program Pemkab Bogor, dalam hal ini Dinkes Kab Bogor, yang konkret dan sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil?

Kalau jawaban atas dua pertanyaan di atas TIDAK ADA, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi pada laki-laki dewasa yang pada gilirannya akan menularkan HIV ke istri atau pasangan seksnya dan berakhir pada penularan dari ibu-ke-anak yang dikandungnya. Itu artinya Pemkab Bogor tinggal menunggu waktu saja untuk “panen AIDS”. *** [Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia] ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun