Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Data e-KTP Nasional Disimpan di Server Milik Negara Lain

15 November 2014   21:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:44 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14160355481548651012

* Informasi di fisik e-KTP hanya nomor, nama, alamat dan golongan darah

Mendagri Hentikan e-KTP karena Server Chip Ada di Negara Lain.” Ini judul berita di kompas.com (14/11-2014).

Judul berita ini benar-benar menohok karena kondisi itu sama saja dengan menyerahkan data semua penduduk yang sudah memiliki KTP ke pihak asing. Di era Orde Baru hal ini masuk kategori subversib, yaitu usaha terorganisasi yang bertujuan menumbangkan pemerintah yang sah melalui kekerasan atau bertujuan mengganti pemerintah itu dengan cara-cara yang ditandai oleh penggelapan, kebohongan, dan gangguan keamanan (id.wiktionaray.org).

Mendagri Tjahjo Kumolo sendiri sudah menghentikan pembuatan e-KTP (electronic-Kartu Tanda Penduduk) karena empat hal seperti diberitakan kompas.com, yaitu: Pertama, ada dugaan korupsi dalam proyek itu. Kedua, server yang digunakan e-KTP milik negara lain sehingga database di dalamnya rentan diakses pihak tidak bertanggung jawab. Ketiga, vendor fisik e-KTP tidak menganut open systemsehingga Kemendagri tidak bisa mengutak-utik sistem tersebut. Keempat, banyak terjadi kebocoran database. Misalnya, di kolom nama tertulis nama perempuan, tapi fotonya foto laki-laki.

Menyerahkan data penduduk yang tersimpan di chip e-KTP merupakan perbuatan yang mengganggu keamanan negara. Amatlah gegabah pejabat di Kemendagri yang memutuskan server untuk menyimpan data (database) e-KTP milik negara lain.

Amatlah beralasan kalau kemudian Menteri Tjahjo meminta rapat terbatas Polhukam dengan Kapolri, Jaksa Agung, BIN, dan Bais karena langkah Kemendagri yang menyerahkan database penduduk Indonesia ke negara asing erat kaitannya dengan rahasia negara.

Kita bisa bayangkan sidik jari dan pindai mata semua penduduk Indonesia yang sudah mengakses e-KTP dipegang oleh bangsa asing. Ini 'kan namanya sudah menjual bangsa bukan hanya sekedar data pribadi.

Terkait dengan penyimpanan database e-KTP di server milik negara lain merupakan perbuatan yang melawan hukum dan cenderung sebagai tindakan subversif. Sayang, UU Anti Subversif sudah dicabut sehingga pelakunya kelak hanya bisa dijerat dengan KUHP atau UU Tipikor.

Sanksi hukum bagi pelaku yang potensial sebagai subversif yang dijerat dengan KUHP atau UU Tipikor tidak sebanding dengan dampak buruk yang mereka lakukan terhadap keamanan negara. Maka, perlu UU yang lebih keras agar orang berpikir berkali-kali sebelum melakukan tindakan yang mengangggu keamanan negara.

Malaysia dan Singapura menegakkan kedaulatan negara dengan Internal Security Act (ISA) yang memberikan kewenangan kepada aparat keamanan menahan orang-orang yang diduga akan mengganggu keamanan negara selama dua tahun tanpa proses hukum. Di Indonesia UU Antiterorisme yang memberikan kewenangan kepada polisi selama 14 hari sudah menjadi polemik yang berkepanjangan.

Di masa kepemimpinan Presiden Soekarno lahir UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi yang bermula dari Penetapan Presiden pada tahun 1963. UU di rezim Orde Lama ini merupakan langkah untuk menegakkan Nasakom (nasionalisme-agama-komunisme).

Ketika rezim Orde Lama digantikan oleh rezim Orde Baru ada pandangan bahwa semangat UU yang bertujuan membentuk “masyarakat sosialis” dirasakan tidak cocok karena Orde Baru mau membawa masyarakat ke era pembangunan. Melalui Tap MPRS UU No. 11/PNPS/1963 dinyatakan tidak berlaku.

Tapi, rezim Orde Baru kemudian menerbitkan UU No 5/1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai UU yang menghidupkan kembali UU antisubversif. UU inilah kemudian yang dipakai rezim Orde Baru untuk membungkam lawan-lawan politiknya.

Bertolak dari ancaman yang nyata terhadap kedaulatan negara, sudah perlu dibuat UU semacam UU antisubversif dengan penekanannya bukan lagi ke masalah politis. Seperti yang dilakukan Malaysia dan Singapura pihak-pihak yang menghasut pun bisa ditangkap tanpa proses hukum selama dua tahun. Aparat keamanan diberikan kewenangan untuk menangkap orang-orang yang dicurigai terkait dengan keamanan negara.

Indonesia bisa meniru ISA sebagai bagian dari pertahanan negara dengan perbaikan dan penyesuaian agar penegakan hukum dengan UU tersebut menghargai hak asasi manusia (HAM), proses peradilan yang adil dan jujur, serta sanksi berat bagi penegak hukum yang berlaku semena-mena.

Persoalan e-KTP memang tidak pernah reda sejak diluncurkan oleh Kemendagri tahun 2012. Selain persoalan terkait dengan dugaan korupsi, banyak pula keluhan masyarakat terkait dengan pengurusan e-KTP. Bahkan, masyarakat pernah gempar karena ada pemberitahuan bahwa e-KTP tidak boleh di-foto copy karena akan merusak data yang tersimpan dalam chip di e-KTP. Celakanya, hal itu diumumkan ketika banyak orang sudah mem-foto copy e-KTP berkali-kali untuk berbagai urusan. Belakangan baru ada klarifikasi bahwa e-KTP boleh di-foto copy.

Terakhir perdebatan sengit pun terjadi terkait dengan kolom agama di e-KTP. Ada isu pemerintah akan kolom agama. Padahal, yang dimaksudkan adalah pengosongan kolom agama bagi penduduk yang tidak memeluk enam agama yang diakui di Indonesia.

Soalnya, banyak penduduk yang tidak memeluk salah satu dari enam agama “resmi” di Indonesia tidak bisa memperoleh KTP, sehingga anak-anak mereka tidak bisa mendapatkan tanda lahir berupa akte lahir karena orang tua mereka tidak mempunyai akte nikah.

Bahkan dari “Senayan” sana muncul protes terkait dengan isu penghapusan kolom agama: Bagaimana kelak mengurus jenazah seseorang kalau di KTP tidak ada agama?

Astaga, ‘kan ada keluarga orang-orang yang meninggal. Tentu saja keluarga bisa memberikan informasi tentang agama yang dianut oleh orang yang meninggal.

Lagi pula kalau mengacu ke chip yang ada di fisik e-KTP tentu saja semua data mulai dari nomor KTP, nama lengkap, umur, tempat dan tanggal lahir, AGAMA, pekerjaan, status perkawinan, dll. bisa disimpan di chip. Semua data yang ada di chip bisa dibaca dengan alat pembaca yang disiapkan di berbagai instansi dan institusi.

Maka, di fisik e-KTP cukup ditulis nomor induk kependudukan (NIK), nama, alamat, golongan darah, dan masa berlaku. Yang lain disimpan di dalam chip. Sama halnya dengan kartu kredit yang hanya memuat nomor kartu dan nama pemilik serta masa berlaku (dari berbagai sumber). *** [Syaiful W. Harahap] ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun