Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perihal Kasus HIV/AIDS yang Banyak (Terdeteksi) di Papua

1 Februari 2015   21:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:59 1200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1422776645842524537

Mengapa Kasus HIV/AIDS Masih Tinggi di Papua?” Ini judul berita di Liputan6.com (28/1-2015).

Ada satu hal yang sangat mendasar dari judul berita tsb., yaitu: Apa yang dimaksud dengan ‘kasus HIV/AIDS masih tinggi di Papua’?

Kalau yang dimaksud dengan ‘kasus HIV/AIDS masih tinggi di Papua’ adalah angka berupa jumlah kasus yang dilaporkan ke Kemenkes RI, maka judul berita itu sangatlah naif.

Soalnya, angka berupa laporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif yaitu kasus lama (angka laporan lama) akan ditambah dengan kasus baru sehingga angka laporan kasus tidak akan pernah turun biar pun semua pengidap HIV/AIDS di Papua atau daerah lain mati semua.

Laporan Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, tanggal 17/10-2014 disebutkan sampai tanggal 30 September 2014 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Papua adalah 26.235 yang terdiri atas 16.051 HIV dan 10.184 AIDS.

Biar pun fakta menunjukkan angka kasus yang tinggi, dalam hal ini di Papua dan bisa juga di daerah lain, terjadi karena banyak kasus yang terdeteksi, al. melalui penjangkauan LSM dan instansi terkait dan deteksi di rumah sakit pada pasien-pasien penyakit yang bisa terkait dengan HIV/AIDS. Sarana atau fasilitas tes HIV yang sesuai standar pun banyak di Papua. Jika dibandingkan dengan daerah lain penjangkuan, deteksi di rumah sakit dan tes HIV sukarela jauh lebih tinggi di Papua. Tapi, Ramdani Sirait, Executive Director Indonesian Business Coalition on AIDS (IBCA), justru menyampaikan mitos (anggapan yang salah) terkait epidemi HIV/AIDS.

Dani menyebutkan bahwa angka kasus HIV/AIDS yang tinggi di Papua karena,  “Selain edukasi yang lemah, ternyata ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi tingginya angka penderita HIV/AIDS seperti banyaknya Pekerja Seks Komersial (PSK) asal daerah lain yang berdomisili di Papua.”

Astaga, lagi-lagi mitos.

Di Eropa Barat dan Amerika Serikat edukasi kuat dan tinggi, tapi tetap saja banyak yang tidak mau menerapkan seks aman ketika melalukan kegitan yang berisiko tertular HIV/AIDS, seperti melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering ganti-ganti pasangan.

Soal PSK, apakah tidak ada PSK asli daerah tsb.?

Baiklah kalau Sirait mengatakan bahwa tidak ada  perempuan Papua yang jadi PSK.

Sirait lupa kalau persoalan bukan pada PSK yang berasal dari daerah lain, tapi masalah ada pada laki-laki Papua dewasa. Laki-laki yang ngeseks dengan PSK di lokasi pelacuran di wilayah Papua tidak memakai kondom sehingga mereka berisik tinggi tertular HIV/AIDS. Laki-laki dewasa yang tertular HIV menjadi mata rantai penyebar HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Celakanya, regulasi yang ada, seperti peraturan daerah (Perda), tentang pemakaian kondom pada laki-laki yang melacur tidak komprehensif. Perda AIDS Kab Merauke, misalnya, hanya ‘menembak’ PSK pendatang. Sudah banyak PSK pendatang yang dipenjarakan berdasarkan perda tsb. karena terdeteksi mengidap IMS (infeksi menular seksual, sepreti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, dll.).

Pemkab Merauke dan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Kab Merauke boleh-boleh saja menepuk dada karena mengurung PSK yang mengidap IMS, mungkin juga sekaligus sudah mengidap HIV/AIDS.

Tapi, mereka lupa beberapa fakta yang justru akan memicu malapetaka di Kab Merauke, yaitu:

(1) Jika PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu tertular dari laki-laki dewasa penduduk Merauke, maka ada laki-laki dewasa penduduk Merauke yang mengidap IMS. Laki-laki ini bisa jadi seorang suami, maka dia menularan IMS ke istrinya.

(2) Jika laki-laki pada nomor (1) juga mengidap HIV/AIDS, maka ada pula kemungkinan dia juga menularkan HIV/AIDS ke PSK tsb. Itu artinya ada laki-laki Merauke yang mengidap HIV/AIDS. Laki-laki ini bisa jadi seorang suami, maka dia menularkan HIV/AIDS ke istrinya.  Jika istrinya tertular, maka kelak ada pula risiko penularan HIV/AIDS ke janin yang dikandungnya.

(3) PSK yang tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus dari penduduk Merauke akan menularkan IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus kepada laki-laki Merauke yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tsb. dengan kondisi tidak memakai kondom. Kalau setiap malam rata-rata seorang PSK melayani 3 laki-laki, maka jumlah laki-laki Merauke yang berisiko tertular IMS atau HIV/AIDS pun sangat banyak jika banyak PSK yang mengidap HIV/AIDS.

(4) PSK yang datang ke Papua sudah mengidap IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus. Maka, laki-laki Papua yang ngeseks dengan PSK pengidap IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus berisiko tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus jika laki-laki Papua tidak memakai kondom setiap kali ngeseks dengan PSK.

Dalam Perda-perda AIDS yang diterbitkan di tingkat provinsi, kabupaten dan kota di Papua ada pasal tentang kewajiban memakai kondom, tapi intervensinya tidak konkret sehingga tidak efektif. Yang diperlukan adalah mekanisme yang konkret bukan sekedar catatan moral di atas kertas.

Disebutkan pula oleh Dani, bedanya kasus HIV/AIDS di Papua dengan daerah lain adalah kesadaran tes HIV begitu tinggi. Sedangkan di kota lain, masih seperti gunung es.

Pernyataan Dani ini tidak objektif karena tidak dilengkapi dengan data yaitu perbandingan antara ‘kesadaran tes HIV tinggi’ dan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi ketika penduduk Papua berobata ke sarana kesehatan. Jika ada angka atau persentase dari perbandingan ini baru Dani bisa mengatakan di Papua ‘kesadaran tes HIV tinggi’.

Yang jelas persoalan bukan pada PSK asal luar daerah Papua, tapi masalah besar ada pada sebagian laki-laki Papua yang  tidak memakai kondom setiap kali ngeseks dengan PSK. Ini fakta.

Kondisinya kian runyam karena ada pendeta dan bupati di Papua yang menolak kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual dengan slogan “Seks Yes, Kondom No”. Bahkan, Pemprov Papua memilih sunat sebagai “penangkal” AIDS.

Risiko laki-laki dewasa Papua tertular HIV/AIDS kian tinggi karena mereka tidak akan mau lagi memakai kondom karena mereka beranggapan sunat sebagai ‘kondom alam’.

Maka, bencana berupa “ledakan AIDS” pun akan terjadi di Papua karena sunat bukan untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, tapi hanya sebatas menurunkan risiko penularan HIV/AIDS. *** [Syaiful W. HarahapAIDS Watch Indonesia] ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun