Sebelum saya masuk ke sector keuangan digital, kita lihat kembali bagaimana sadis aplikasi layanan ojek online yang bukan saja melibas ojek pangkalan namun juga perusahaan taksi konvensional yang sudah mapan. Memang dalam jangka pendek konsumen diuntungkan oleh harga yang murah, namun dalam jangka panjang tidak ada produsen yang mau rugi.
Sebenarnya keuntungan konsumen selama ini adalah dari program promo yang digelar dalam rangka membangun loyalitas konsumen. Yang namanya promo tentu tidak selamanya. Namun disayangkan sampai di titik ini pemerintah malah menyalahkan mereka yang tidak adaptif terhadap perkembangan teknologi alih-alih mengevaluasi diri yang tidak bisa melindungi masyarakat dari dampak negatif dari perkembangan teknologi dan invasi pemodal asing.
Disektor keuangan, tapi di sini saya tidak akan bahas fintech-fintech illegal. Ini adalah sektor paling strategis dan pemodal asing sudah lebih maju dibandingkan pemerintah.
Bagaimana sadisnya kekuatan investor asing di sini, sampai-sampai semua BUMN mulai dari Perbankan besar seperti Mandiri, BNI, BRI, BTN hingga perusahaan telekomunikasi (telkomsel) bergabung menjadi satu membuat layanan fintech digital yanga disebut "LinkAja". Hal ini dilakukan pemerintah karena menyadari mereka tidak bisa bersaing jika tidak bergabung jadi satu, contohnya saja Tcash dari Telkomsel yang sekarang dilebur di LinkAja karena nilai transaksinya jauh dibawah Gopay dan Ovo.
Jika dengan modal 1,5 triliun  LinkAja masih belum bisa menyaingi Gopay dan Ovo, bagaimana dengan rakyat kecil yang tidak berdaya seperti Anda?
Tapi yang lebih berbahaya tidak hanya sebatas itu. Ini tentang data Anda, bisa juga tentang masa depan Anda. perusahaan-perusahaan startup yang sudah berstatus unicorn pasti menghasilkan big data dan inilah tambang emas masa depan. Untuk itulah mengapa pemodal asing  tadi bersedia menggelontorkan dana yang besar, yaitu untuk mendapatkan data salah satu tujuannya.
Oleh sebab itu aplikasi-aplikasi yang sudah jutaan pengguna dikembangkan menjadi super Apps, aplikasi yang dapat melayani semua kebutuhan penggunanya. Anda bisa lihat bagaimana sekarang perkembangan gojek, apa saja yang bisa mereka layani? Semakin bertambah. Dan itu memberikan data semakin lengkap bagi pemilik perusahan.
Inilah kolonialisme jaman now (meminjam Bahasa CNBC), para mitra aplikasi akhirnya nanti akan bekerja untuk pemodal asing. Mereka akan bekerja karena "dipaksa" untuk mendapatkan target poin. Mereka tidak bisa lepas sebagai mitra aplikasi karena tidak punya pekerjaan lain dan tidak bisa mendapat pekerjaan lain.
Sampai di sini sebenarnya, menurut saya ketahanan nasional kita sudah jebol. Dan saya tidak tahu pemerintah menyadari atau tidak. Tapi jika dilihat bagaimana ketika pertengahan 2019 ini pemerintah pernah mencoba mengeluarkan kebijakan aneh untuk membatasi harga bawah Ojol yang kemudian dicabut, saya tidak yakin pemerintah sadar.
Namun yang miris bagi saya, bagaimana pemerintah mengembangkan sikap bela negara dan nasionalisme yang out of date (bahasa halusnya primitif). Pendekatan bela negara masih dilakukan seperti abad ke-20, kegiatan bela negara masih diisi baris berbaris, upacara, hormat bendera, caraka malam atau penguatan-penguatan simbol kenegaraan yang sebenarnya tidak akan digunakan dalam isu-isu ketahanan nasional era modern ini.
Lihat saja bagaimana perang antara China dan Amerika saat ini, bukan perang dengan senjata tapi perang dagang, perang pada sektor ekonomi. Bayangkan saja, Amerika, sebuah negara Adidaya itu kerepotan menghadapi China. Bagaimana jika Indonesia dengan China perang dagang? Apa yang tersisa di Indonesia untuk menghadapi china, hampir semua sektor sudah dikuasai.
Siapa yang akan menang jika orang Indonesia melawan orang China? Saat ini secara kualitas SDM Indonesia berada dibawah China, di global Indeks yang dikeluarkan oleh World Economic Forum, China berada di peringkat 12 dan Indonesia peringkat 50.