Mohon tunggu...
Salman
Salman Mohon Tunggu... Administrasi - Warga Negara Indonesia yang baik hati

Presiden Golput Indonesia, pendudukan Indonesia yang terus menjaga kewarasan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mewaspadai Bencana Demografi

19 Juni 2016   09:29 Diperbarui: 19 Juni 2016   09:34 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Salman Alfarizi 

Satu bulan sebelum artikel di situs lipi tentang bencana demografi ini dipublish, saya sudah menulis di kompasiana hal yang sama

Adalah ICMI yang membuat saya semakin terhenyak dan melihat bahwa bencana demografi seperti sebuah kenyataan yang menunggu waktu. Mulanya saya pikir ICMI sudah kehabisan akal akan menutup google dan youtube, yang saya pikir tidak mungkin karena dua situs itu adalah paling banyak diakses oleh orang Indonesia.

Mencoba memahami latar belakang belakang ICMI tersebut, sepertinya kondisi kecanduan pornografi sudah sangat parah. Bisa saya pahami mengapa ICMI melihat bahwa google merupakan pintu gerbang ke tempat yang tanpa sensor tersebut. Tapi sayangnya ICMI tidak memberi solusi jika google dan youtube ditutup, sehingga himbauan ICMI ini akan seperti angin lalu.

Di sini saya melihat dua permasalahan yang cukup serius, pertama permasalahan pokoknya, yaitu rendah dan rusaknya kualitas dan moral generasi muda, yang kedua penyelesai masalah yang tidak bisa menyelesaikan masalah. Menutup google dan youtube tidak akan menyelesaikan masalah, masih ada mesin pencari lain yang bisa jadi lebih bahaya dari google. Sebenarnya google dan youtube sudah melakukan pemfilteran terhadap konten pornografi.

ICMI seharusnya paham bahwa sekarang sudah era internet, dunia memasuki peradaban digital, peradaban yang liar, tanpa jarak, tanpa batas. ICMI seharusnya hadir untuk merumuskan etika dan adab pergaulan dan interaksi digital yang liar tersebut. Dapat kita lihat saat ini selain konten pornografi yang marak, fitnah-fitnah pun mudah bertebaran di medsos tanpa kontrol.

Ancaman bencana demografi akan semakin nyata jika institusi-institusi keagaaman kehilangan fungsinya. Filter moral masyarakat yang tidak berfungsi ini bisa disebabkan oleh pemuka-pemuka agama yang salah memberikan solusi atau karena tindakan mereka yang membuat masyarakat kehilangan kepercayaan dan harapan. Contoh yang paling aktual adalah bagaimana penertiban warung makan Ibu Suhaeni yang didukung MUI namun ditentang oleh para netizen bahkan mendapatkan simpati dari Presiden Jokowi. Ini sebuah preseden yang buruk bagi institusi keagaaman. Untuk kasus ini, seharusnya MUI lebih fokus merazia dan membina muslim yang tidak berpuasa namun makan dan merokok sembarangan.

Tapi permasalahan sesungguhnya ada di dalam keluarga. Banyak orang menikah tanpa bekal pengetahuan yang memadai terutama dalam hal mengurus dan mendidik anak. Banyak yang menikah karena usia atau kesiapan materi semata. Celakanya ilmu membina rumah tangga yang penting itu tidak ada di dalam kurikulum pendidikan Indonesia. Sehingga orang-orang belajar berdasarkan yang mereka lihat, berdasarkan cara orang tuanya dulu membesarkan anak atau berdasarkan nalurinya semata. Hampir sama dengan hewan.

Seharusnya para pasangan yang akan menikah diberi diklat pranikah agar menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis dan mampu menangani permasalahan yang butuh penanganan khusus, seperti masalah kenakalan anak/remaja, atau manajemen konflik. Mungkin perlu juga dibuat sebentuk sertifikat izin menikah atau SIM.

Permasalahan di era digital saat ini adalah banyak orang tua yang gagap teknologi, mereka bukan hanya berasal dari kalangan yang lemah ekonominya tapi juga kalangan menengah atas. Banyak yang memanjakan anak-anaknya dengan memberikan gadget termutakhir begitu saja tanpa mengawasi penggunaannya, di sinilah sumber permasalahan itu.

Anak-anak yang tidak diajarkan menggunakan teknologi (gadget) secara positif, ia akan liar, meski secara fisik ia berada di rumah. Tapi internet membuat dunianya tanpa batas yang memungkinkanya melakukan hal yang 'liar' yang bisa merusak dirinya sendiri.

Permasalahan pengendalian penggunaan gadget telah dilihat oleh rekan-rekan startup digital dari Bandung. Mereka mendevelop satu aplikasi yang diberi nama 'kakatu', aplikasi yang memungkinkan orang tua mengendalikan penggunaan smartphone anak-anak mereka. Mungkin ini bisa jadi salah satu solusi. Aplikasi lain yang direkomendasikan untuk dimiliki oleh suatu keluarga adalah 'family locator', aplikasi yang memungkinkan untuk memantau keberadaan anggota keluarga.

Kemudian menyoroti masalah daya saing bangsa maka harus melihat kualitas pendidikan, survey PISA pertengah 2015 yang menempatkan kualitas pendidikan Indonesia sama dengan kualitas negara miskin di benua Afrika. Tes / survey ini dilakukan terhadap anak2 yang berusia 15 tahun. Bayangkan 10 tahun lagi mereka jadi apa? Madesu, karena 10-15 tahun lagi orang-orang luar akan semakin mudah masuk ke Indonesia dan itu akan mengancam mereka yang kompetensinya rendah.

Meski begitu roadmap pendidikan Indonesia seperti belum punya arah. Contohnya, karena ambisi untuk masuk Top University, Menristekdikti mau mengimpor rektor dari luar negeri. Pimpinan-pimpinan institusi yang tidak punya visi yang jelas dan tidak memahami permasalahan ini hanya akan memperburuk kondisi pendidikan itu sendiri.

Sistem pendidikan Indonesia pun perlu dikritisi, siswa yang hampir 100% lulus pada tiap jenjang pendidikannya di setiap tahunnya sebenarnya tidak menjamin kualitas mereka. Sistem pendidikan kita tidak jujur dan terlalu munafik. Hal Ini terlihat pada nilai UN yang begitu fantastis, siswa begitu mudah mendapatkan nilai, bagaimana bisa nilai rata2 UN siswa SD yang di atas delapan tapi saat ditanya menghitung keliling persegi panjang tidak bisa jawab. Aneh kan. Jadi apa yang dihasilkan dari institusi pendidikan? Banyak sampahnya!!!

Tanda2 bencana demografi bisa dilihat dari semakin maraknya kriminalitas, terutama makin nekatnya para begal, dulu waktu saya kecil, begal ini hanya ada di daerah tertentu dan sepi tapi sekarang begal sudah masuk kota bahkan menantang polisi. Kemudian fenomena pemerkosaan yang disertai pembunuhan yang keji merupakan puncak gunung es bukti rusaknya moral anak bangsa.

Di kalangan kaum berpendidikan pun tidak terlalu membanggakan, terutama dari para sarjana. Di dunia kerja banyak yang hanya menjadi seperti robot pekerja, menjalani rutinitas, tapi miskin pemikiran dan kepedulian. Jarang sekali terbangun interaksi/ diskusi intelektual di antara mereka, kebanyakan hanya omongan kosong semata, canda gurau, jika pun berisi tapi levelnya masih copypaste informasi atau berbagi informasi. Miskinnya kebiasaan diskusi/ debat ini menyebabkan miskinnya keberanian dan pendapat dari para sarjana ini. Sehingga tak jarang kualitas pemikiran para sarjana itu tak jauh berbeda dengan kualitas lulusan SMA.

Kenyataan-kenyataan di atas bukan permasalahan yang mudah diselesaikan, gagasan revolusi mental dari Presiden Jokowi waktu dulu sangat diperlukan secara nyata tapi kenyataannya program ini hanya sebatas iklan di kementerian, bahkan beberapa Menteri terimakasih harus direvolusi mentalnya karena terlalu egosektoral.

Akumulasi dari tidak tertangani masalah di atas bisa menyebabkan keadaan yang semakin tidak terkendali di masyarakat. Dan ketika negara sudah tidak bisa lagi mengendalikan masyarakat maka bencana demografi.

Tapi harapan saya semoga semua apa yang saya tulis di atas salah semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun