Permasalahan pengendalian penggunaan gadget telah dilihat oleh rekan-rekan startup digital dari Bandung. Mereka mendevelop satu aplikasi yang diberi nama 'kakatu', aplikasi yang memungkinkan orang tua mengendalikan penggunaan smartphone anak-anak mereka. Mungkin ini bisa jadi salah satu solusi. Aplikasi lain yang direkomendasikan untuk dimiliki oleh suatu keluarga adalah 'family locator', aplikasi yang memungkinkan untuk memantau keberadaan anggota keluarga.
Kemudian menyoroti masalah daya saing bangsa maka harus melihat kualitas pendidikan, survey PISA pertengah 2015 yang menempatkan kualitas pendidikan Indonesia sama dengan kualitas negara miskin di benua Afrika. Tes / survey ini dilakukan terhadap anak2 yang berusia 15 tahun. Bayangkan 10 tahun lagi mereka jadi apa? Madesu, karena 10-15 tahun lagi orang-orang luar akan semakin mudah masuk ke Indonesia dan itu akan mengancam mereka yang kompetensinya rendah.
Meski begitu roadmap pendidikan Indonesia seperti belum punya arah. Contohnya, karena ambisi untuk masuk Top University, Menristekdikti mau mengimpor rektor dari luar negeri. Pimpinan-pimpinan institusi yang tidak punya visi yang jelas dan tidak memahami permasalahan ini hanya akan memperburuk kondisi pendidikan itu sendiri.
Sistem pendidikan Indonesia pun perlu dikritisi, siswa yang hampir 100% lulus pada tiap jenjang pendidikannya di setiap tahunnya sebenarnya tidak menjamin kualitas mereka. Sistem pendidikan kita tidak jujur dan terlalu munafik. Hal Ini terlihat pada nilai UN yang begitu fantastis, siswa begitu mudah mendapatkan nilai, bagaimana bisa nilai rata2 UN siswa SD yang di atas delapan tapi saat ditanya menghitung keliling persegi panjang tidak bisa jawab. Aneh kan. Jadi apa yang dihasilkan dari institusi pendidikan? Banyak sampahnya!!!
Tanda2 bencana demografi bisa dilihat dari semakin maraknya kriminalitas, terutama makin nekatnya para begal, dulu waktu saya kecil, begal ini hanya ada di daerah tertentu dan sepi tapi sekarang begal sudah masuk kota bahkan menantang polisi. Kemudian fenomena pemerkosaan yang disertai pembunuhan yang keji merupakan puncak gunung es bukti rusaknya moral anak bangsa.
Di kalangan kaum berpendidikan pun tidak terlalu membanggakan, terutama dari para sarjana. Di dunia kerja banyak yang hanya menjadi seperti robot pekerja, menjalani rutinitas, tapi miskin pemikiran dan kepedulian. Jarang sekali terbangun interaksi/ diskusi intelektual di antara mereka, kebanyakan hanya omongan kosong semata, canda gurau, jika pun berisi tapi levelnya masih copypaste informasi atau berbagi informasi. Miskinnya kebiasaan diskusi/ debat ini menyebabkan miskinnya keberanian dan pendapat dari para sarjana ini. Sehingga tak jarang kualitas pemikiran para sarjana itu tak jauh berbeda dengan kualitas lulusan SMA.
Kenyataan-kenyataan di atas bukan permasalahan yang mudah diselesaikan, gagasan revolusi mental dari Presiden Jokowi waktu dulu sangat diperlukan secara nyata tapi kenyataannya program ini hanya sebatas iklan di kementerian, bahkan beberapa Menteri terimakasih harus direvolusi mentalnya karena terlalu egosektoral.
Akumulasi dari tidak tertangani masalah di atas bisa menyebabkan keadaan yang semakin tidak terkendali di masyarakat. Dan ketika negara sudah tidak bisa lagi mengendalikan masyarakat maka bencana demografi.
Tapi harapan saya semoga semua apa yang saya tulis di atas salah semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H