Mohon tunggu...
Salman
Salman Mohon Tunggu... Administrasi - Warga Negara Indonesia yang baik hati

Presiden Golput Indonesia, pendudukan Indonesia yang terus menjaga kewarasan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Indonesia dalam Ancaman Bencana Demografi

15 Februari 2016   08:37 Diperbarui: 15 Februari 2016   08:52 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber gambar : Indonesiareview.com"][/caption]Terhitung dari 31 Desember 2015, satu bulan setengah sudah  Masyarkat Ekonomi ASEAN atau MEA berjalan, belum terasa memang dampaknya, terutama bagi masyarakat kecil. Memang sebelumnya pemerintah Indonesia telah melakukan publikasi melalui media-media tentang MEA ini dan pemerintah pun memperlihatkan keoptimisannya atas kesiapan menghadapi MEA.

MEA diharapkan bisa menjadi penggabungan kegiatan ekonomi di wilayah Asia Tenggara. Konsep MEA membawa empat karakteristik, yaitu  (a) Pasar tunggal dan pusat produksi tunggal, (b) Wilayah dengan persaingan ekonomi yang tinggi, (c) Wilayah dengan perkembangan ekonomi setara, (d) Wilayah yang benar-benar terintegrasi untuk menuju persaingan ekonomi global.

Sebagai pasar dan pusat produksi  tunggal ASEAN meliputi  lima unsur utama yaitu (1) Aliran barang yang bebas, (2) Aliran jasa yang bebas,  (3)  Aliran investasi yang bebas, (4)  Aliran modal yang lebih bebas, (5) Aliran tenaga kerja ahli yang bebas.

Secara ekonomi MEA memang menyajikan pasar yang besar, penggabungan 10 negara ASEAN tadi secara otomatis membuka akses pasar ke lebih 620 juta  penduduk yang siap dijajakan berbagai produk dan jasa.  Ini juga berarti bahwa persaingan orang Indonesia akan semakin keras, yang sebelumnya hanya sebatas sesama orang Indonesia, kini pekeraja-pekerja Indonesia akan bersaing juga  dengan pekerja-pekerja yang berasal dari  negara-negara ASEAN. Kemudian yang menjadi pertanyaan, seberapa tinggikah daya saing Indonesia?

Tingkat daya saing merupakan kunci utama untuk memenangkan persaingan, karena mau tidak mau bahwa kita harus bersaing mendapatkan sumber ekonomi yang terbatas dan persaingan itu semakin keras setelah pemerintah Indonesia menyatakan diri tergabung dalam MEA dengan segala konsekuensinya.

Pertanyaannya kemudian bagaimana daya saing Indonesia saat ini dan yang akan datang? Untuk  menjawab pertanyaan ini mari kita lihat beberapa laporan yang penting untuk kita telaah sebagai dasar infromasi dalam membenahi permasalahan di awal era MEA ini. Data dari World Economic Forum (WEF) yang didasarkan pada Global Competitiveness Report 2014-2015,  Indonesia berada di peringkat ke-34 ( naik 4 peringkat dari total 144 negara yang diteliti di seluruh dunia).  

Untuk mendefinisikan level daya saing sebuah bangsa, WEF menggunakan 12 pilar, yaitu pengelolaan institusi yang baik, infrastruktur, kondisi dan situasi makroekonomi, kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan tingkat atas dan pelatihan, efisiensi pasar tenaga kerja, pengembangan pasar finansial, kesiapan teknologi, ukuran pasar, lingkungan bisnis, dan inovasi.

Dalam laporannya WEF menyatakan bahwa performa keseluruhan Indonesia dalam indeks ini tidak berimbang. Infrastruktur dan konektivitas mengalami kenaikkan peringkat, naik lima peringkat dibandingkan tahun sebelumnya, sementara kualitas tata kelola publik dan swasta negara  juga menguat, Indonesia naik 14 peringkat menjadi peringkat 53 sebagai hasil dari perbaikan dalam 18 dari 21 indikator yang membentuk pilar ini. Yang agak mengagumkan, Indonesia berada dalam peringkat 36 untuk efisiensi Pemerintah. Sementara itu, korupsi tetap berlanjut (peringkat 87) namun fenomena negatif ini telah menurun di beberapa tahun terakhir.

Meski demikian, situasi pasar tenaga kerja Indonesia mengalami penurunan tujuh peringkat ke peringkat 110. Dan ini adalah aspek yang terlemah, karena kekakuan dalam konteks penetapan gaji dan juga prosedur kontrak dan pemecatan. Lebih lanjut lagi, partisipasi perempuan dalam tenaga kerja tetap sangat rendah, di peringkat 112. Masalah lain yang menjadi kekuatiran adalah kesehatan umum di Indonesia yang berada peringkat 99.  Beralih ke pendorong-pendorong yang lebih rumit dari daya saing, kesiapan teknologi Indonesia berada di belakang, di peringkat 77. Terutama, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi oleh penduduk pada umumnya masih rendah dibandingkan negara-negara lainnya u=yaitu di peringkat 94, turun 10 peringkat.

Dalam laporan lain yang dirilis oleh  Institute of Management Development (IMD) yang merupakan lembaga pendidikan bisnis terkemuka di Swiss melaporkan hasil penelitiannya berjudul IMD World Talent Report 2015. Penelitian ini berbasis survei yang menghasilkan peringkat tenaga berbakat dan terampil di dunia tahun pada tahun 2015.

Tujuan dari diadakannya pemeringkatan oleh IMD adalah untuk menilai sejauh mana negara tersebut menarik dan mampu mempertahankan tenaga berbakat dan terampil yang tersedia di negaranya untuk ikut berpartisipasi dalam perekonomian di suatu negara. Laporan ini spesial karena Indonesia termasuk dalam salah satu dari 61 negara di dunia yang di survei. Namun demikian, dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa peringkat Indonesia turun 16 peringkat dari peringkat ke-25 pada tahun 2014 menjadi peringkat ke-41 pada tahun 2015. Posisi Indonesia berada jauh di bawah posisi negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, bahkan Thailand. Posisi Indonesia juga hanya sedikit lebih baik dari Filipina. Peringkat ini dihitung dengan bobot tertentu dengan mempertimbangkan tiga faktor yaitu faktor pengembangan dan investasi, faktor daya tarik suatu negara, dan faktor kesiapan sumber daya manusia. Masing masing faktor terbagi lagi ke dalam beberapa rincian lainnya.

Dua faktor pertama Indonesia mempunyai peringkat yang relatif sama dengan tahun sebelumnya. Akan tetapi untuk faktor ketiga yaitu kesiapan sumber daya manusia merupakan hal yang paling dominan menyumbang angka penurunan peringkat Indonesia di tahun 2015. Pada tahun 2014, Indonesia masih menduduki peringkat ke-19 untuk faktor ini. Di tahun 2015, peringkat kesiapan tenaga kerja Indonesia terjerembab ke peringkat 42. Faktor kesiapan tenaga kerja Indonesia dirasa masih kurang bersaing dari negara lain di tahun 2015. Untuk faktor ini, Indonesia hanya unggul dalam pertumbuhan angkatan kerja saja di mana Indonesia menduduki peringkat kelima. Indikator lainnya seperti pengalaman internasional, kompetensi senior manajer, sistem pendidikan, pendidikan manajerial, dan pada keterampilan bahasa berada pada peringkat di atas 30. Bahkan untuk keterampilan keuangan, Indonesia berada pada peringkat ke-44.

Merujuk pada data dari dalam negeri, berdasarkan data BPS pada tahun 2014 Indonesia memiliki hampir 122 juta angkatan kerja. Dari data tersebut 63 persen lebih tenaga kerja Indonesia berpendidikan SMP ke bawah dan jika digabung dengan yang bependidikan SMA jumlahnya mencapai lebih dari 80 persen. Kita ketahui bahwa jenis pendidikan SD-SMP-SMA tidak mengajarkan skill khusus untuk menjadi seorang pekerja, ini artinya 80 persen pekerja Indonesia tidak memiliki skill handal sebagai pekerja . Berbeda dengan anak SMK, berdasarkan data BPS 2014, jumlah lulusan SMK yang bekerja hampir mencapai 10 persen dari angkatan kerja sedangkan yang berpendidikan hingga sarjana baru sekitar  7 persen dari angkatan kerja.

Kondisi ini tentu akan menghambat program ekonomi dan pembangunan pemerintahan Jokowi. Permasalahan ini sudah terlihat bagaimana dari keluhan para investor Jepang, investor dari  Jepang merupakan Investor yang penting bagi Indonesia karena salah satu negara yang banyak menanamkan modalnya di Indonesia.  Ada tiga hal yang dikeluhkan investor  dari Jepang mengenai investasi di Indonesia, pertama masalah pembebasan lahan, kedua masalah pembatasan impor bahan baku dan ketiga adalah masalah tenaga kerja asing. Padahal investasi merupakan instrumen penting untuk membangun ekonomi dalam menghadapi MEA saat ini. Namun dengan kondisi  kualitas tenaga kerja yang belum mumpuni maka dampak investasi bagi peningkatan kesejahteraan akan terancam. Tenaga kerja Indonesia bisa terancam oleh tenaga kerja dari negara ASEAN lainnya seperti Thailand, Vietnam, Malaysia bahkan Filipina.

Ancaman  Bencana Demografi

Bonus demografi didefinisikan sebagai suatu kondisi  jumlah pendudukan usia produktif (15 – 65 tahun) mencapai 70 persen dari  total jumlah penduduk sehingga produktivitas ekonomi dalam kondisi yang optimal.  Berdasarkan data prediksi  BKKBN, Indonesia akan menikmati bonus demografi pada rentang tahun 2020-2030, dengan syarat pemerintah menyiapkan angkatan ini dengan baik. Namun jika yang terjadi sebaliknya akan terjadi bencana demografi, yang ditandai dengan tingkat kejahatan yang tinggi.

Berdasarkan data-data tentang daya saing yang telah diurai di atas, bonus demografi Indonesia dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Kemudian yang menjadi pertanyaan selanjutnya, bagaimana kondisi  Indonesia di tahun 2020 hingga 2030 nanti? Untuk melihat hal ini kita perlu melihat kondisi pendidikan Indonesia melalui hasil survey kualitas pendidikan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir .

Pada akhir tahun 2013 sebuah lembaga nirlaba OECD (Organization for Ecanomic Co-operation and Development) yang bergerak dengan nama program for international Student Assesment atau PISA merilis hasil survey mereka terhadap 65 negara, termasuk Indonesia.  Survey mengukur tingkat literasi membaca, matematika dan sains pada anak usia 15 tahun.  Dari 65 negara yang disurvey Indonesia menempati urutan 64. Dan pada pertengahan 2015 lalu OECD kembali merilis hasil surve yang serupa, tapi survey melibatkan lebih banyak negara, 76 negara. Dari 76 negara yang disurvey Indonesia menempati urutan ke 69 yang hampir sama nilainya dengan kualitas pendidikan negara-negara miskin di Benua Afrika.

Survey yang dilakukan oleh OECD ini menggambarkan kualitas pendidikan dan potensi kemajuan ekonomi yang akan dicapai suatu negara.  Yang mengejutkan ketika Vietnam disertakan dalam surveydi 2015, Vietnam menempati urutan ke 12, sedangkan urutan ke satu ditempati oleh Singapura.  Vietnam perlu diwaspadai sebagai kekuatan ekonomi baru di kawasan ASEAN. Seperti yang diketahui bahwa Samsung lebih memilih membangun pabrik di Vietnam dibandingkan di Indonesia meski secara pasar Indonesia lebih besar. Hal ini sudah bisa menunjukkan keunggulan daya saing Vietnam terhadap Indonesia.

Sungguh ironis kondisi kualitas pendidikan Indonesia saat ini jika dibandingkan negara-negara lain. Meski sudah 70 tahun Indonesia merdeka, harapan terwujudnya masyarakat unggul, berkemajuan, dan beradab yang diharapkan lahir dari institusi pendidikan sepertinya masih jauh dari harapan. Masalah pendidikan yang multidimensial dengan tuntutan yang semakin tinggi membuat  pendidikan Indonesia  seperti orang tua yang mengalami sakit komplikasi akut. Bukan hanya sistem pendidikan yang harus diperbaiki tapi para pendidik (guru) yang sebagian besar berada dibawah standar kualitas harus diganti. Sedangkan mengganti guru ini bukanlah persoalan kecil, namun mempertahankan mereka dengan memberi mereka serangkaian pelatihan tidak akan optimal  karena ‘bibitnya’ berkualitas rendah.

Di tingkat perguruan tinggi pun, kualitas Perguruan Tinggi di Indonesia mengalami kemerosotan di level dunia. Data  daftar Wold University Ranking 2015-2016, PTN Indonesia sudah terdepak dari 500 besar, Indonesia hanya menyisakan satu PTN yaitu Universitas Indonesia sebagai  kampus yang masuk dalam 800 Wold Class University namun itu pun berada di urutan 600an.  Dalam hal ini Indonesia kalah oleh Malaysia yang memiliki hingga lima perguruan tinggi di dalam daftar Worl Class University.

Pendidikan merupakan aspek vital bagi suatu bangsa  namun jika tidak bisa mengelolanya maka akan menjadi ancaman. Dalam hal ini, pemerintah sebagai penyelenggara dan pengelola pendidikan sebenarnya sudah gagal. Kegagalan itu bisa dilihat dari kualitas SDM dan kualitas pendidikan Indonesia saat ini, padahal kita sudah 70 tahun merdeka. 

Pertanyaannya, selama 70 tahun apa yang dilakukan pemerintah? Pembangunan pendidikan hanya baru sejauh fisik dan yang kini sudah  rapuh.  Permasalahan yang sesungguhnya terletak pada birokrat atau pegawai pemerintah yang tidak bekerja sepenuh hati memajukan pendidikan Indonesia. Birokrasi-birokrasi di dunia pendidikan dipenuhi dengan pegawai (PNS) yang  bermental sempit, yang hanya memikirkan bagaimana saya mendapat uang sebanyak mungkin, bagaimana melakukan perjalanan dinas sebanyak mungkin atau  bagaimana agar bisa dapat proyek.  Contoh kasus Taman Fly Over Klender yang terbengkalai yang membuat Ahok  mengganti Kasudin Pertamanan Jakarta Timur ini bisa menjadi  gambaran bagaimana PNS-PNS itu bekerja, mereka  bekerja ala kadarnya.

Penilaian yang lebih objektif mengenai kualitas birokrat-birokrat di pemerintahan bisa dilihat dari data Worldwide Governance Indicator atau WGI . Melalui data WGI tahun 2014 kita coba bandingkan, bagaimana kinerja Pemerintah Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN Big Five yaitu Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura.

WGI merupakan laporan yang mengukur kualitas kinerja pemerintahan berdasarkan beberapa indikator, mulai dari pemerintah dipilih, dipantau dan digantikan, kapasitas pemerintah untuk secara efektif merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang sehat, serta rasa hormat dari warga negara dan negara itu sendiri terhadap lembaga yang mengatur interaksi ekonomi-sosial antara mereka.

WGI sendiri terdiri atas enam dimensi tata kelola, yaitu kebebasan bersuara dan akuntabilitas, stabilitas politik dan ketiadaan kekerasan, efektivitas pemerintahan, kualitas regulasi, peraturan hukum, dan kontrol terhadap korupsi. Pengukuran dilakukan dari skor -2,5 (yang menunjukkan kinerja pemerintahan sangat buruk) sampai 2,5 (yang menunjukkan kinerja pemerintahan yang sangat baik).

[caption caption="sumber gambar : http://govindicators.org/"]

[/caption]Di antara negara-negara ASEAN Big Five, kualitas pemerintahan di Indonesia pada tahun 2014 termasuk rendah, terutama dalam hampir semua aspek. Bahkan, kontrol terhadap korupsi di Indonesia adalah yang paling buruk. Namun Indonesia dan Filipina memiliki skor paling baik dalam aspek kebebasan bersuara dan akuntabilitas. Secara keseluruhan Singapura adalah negara yang kualitas pemerintahannya paling bagus di antara negara-negara ASEAN Big Five.

Rendahnya kualitas pemerintahan tentu menjadi penghambat dalam pembangunan dunia pendidikan. Rekam jejak setelah 70 tahun Indonesia merdeka, kualitas pendidikan Indonesia yang semakin tertinggal menjadi bukti bahwa para pengambil kebijakan (pemerintah) dan operator pelaksana (institusi sekolah) gagal membangun institusi yang berkualitas untuk melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Dengan kondisi seperti ini hampir dipastikan bahwa peningkan kualitas pendidikan tidak bisa dilakukan oleh para birokrat-birokrat yang ada dipemerintahan saat ini. Ini artinya ancaman serius bagi demografi Indonesia, terlebih di era MEA saat ini. 

Tanda-tanda ancaman bencana demografi itu sudah terlihat bagaimana semakin maraknya begal di kota-kota besar bahkan di Jakarta. Orang-orang semakin nekat dalam berbuat kejahatan, bahkan polisi pun ada yang pernah dibegal. Berita begal terakhir yang menjadi perhatian media online adalah  pengandara ojek online’Go-jek’  yang dibegal di daerah kemang, Jakarta selatan . Fenomena begal yang kini kerap terjadi di kota besar merupakan fenomena serius dari masalah demografi,  setahu saya tahun 90-an dulu begal itu  hanya terjadi di jalanan sepi yang jauh dari perkotaan, saya ketahui itu karena saya kecilnya tumbuh di kampong di daerah Sumatera Selatan.

Dengan memperhatikan daya saing, kualitas anak usia sekolah, kualitas Perguruan Tinggi dan kualitas birokrat di atas maka kemungkinan besar Indonesia akan mengalami bencana demografi karena kegagalan pemerintah dalam menyiapkan sumber daya manusia yang unggul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun