Siapa yang tidak tahu Garuda Wisnu Kencana? Patung berukuran "mega" dengan warna biru kehijauan yang terletak di bagian selatan pulau Bali ini berdiri kokoh sejak September 2018, sepertinya sudah menjadi ikon 'Pulau Dewata', dikenal oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Tapi, apa saja yang kalian ketahui mengenai destinasi wisata ini? Apa saja yang ada di dalamnya? Saya akan mengulasnya dalam artikel ini.
Dua minggu lalu saya berkesempatan mengunjungi taman budaya ini, tepat sehari setelah Garuda Wisnu Kencana Cultural Park (GWK) akhirnya "memberanikan diri" untuk beroperasi setiap hari, dimana sebelumnya akibat pandemi Covid-19, GWK sempat tutup cukup lama, dari bulan Februari 2020 (tutup sementara), sempat buka untuk wisatawan di penghujung tahun 2020 namun kembali tutup akibat lonjakan kasus Covid-19 hingga akhirnya di bulan Oktober 2021 mulai beroperasi lagi meskipun hanya di akhir pekan.
Sebagai "anak rantau" yang tinggal di Bali, sejujurnya ini kali pertama saya mengunjungi GWK dalam rangka "berwisata". Sebenarnya berwisata di era pandemi penuh dilema. Di satu sisi, kebutuhan untuk "liburan" sudah sangat mendesak tetapi di sisi lain masih ada kekhawatiran apakah destinasi wisata ini aman atau tidak.Â
Namun dengan pertimbangan bahwa GWK ini adalah area terbuka, dekat dengan tempat tinggal saya di Nusadua, berbekal rasa penasaran untuk melihat apa isi dari tempat wisata ini, dan juga keinginan untuk refreshing setelah back-to-back meeting seminggu penuh, berangkatlah saya menuju GWK.
Fasilitas GWK
Fasilitas parkir dikelola sendiri oleh GWK, tempatnya cukup luas dan rapi, tarifnya juga terbilang murah. Pengunjung dengan kendaraan roda empat hanya perlu membayar Rp 10.000 per kendaraan (sekali masuk) dan Rp 20.000 untuk bus.Â
Di loket masuk area parkir, petugas akan melakukan pencatatan jumlah pengunjung dan menuliskannya di Kartu Pemesanan Tiket yang nantinya ditukar di ticketing area. Pengunjung dapat menggunakan shuttle service dari tempat parkir menuju ticketing area di Plaza Bhagawan, gratis.
Di jalur ini juga terdapat banyak papan informasi untuk mengingatkan pengunjung agar menerapkan protokol kesehatan selama melakukan kunjungan di GWK seperti menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan sebagainya.
Pengadaan jumlah armada yang memadai tentu akan mengurangi banyak orang dalam antrian, ditambah juga pengurangan kapasitas shuttle bus sendiri, saya jadi tidak perlu berdesakan dengan pengunjung lainnya.
Rupanya tiket masuk GWK ini dapat dibeli secara online melalui website yang terhubung ke aplikasi Traveloka, jadi pengunjung hanya perlu menukarkan kode pesanan dengan tiket masuk.Â
Selain itu tersedia dua cara untuk membeli tiket di tempat, cara konvensional melalui loket yang dilayani petugas, cara lainnya terdapat self-kiosk yang bisa digunakan mandiri oleh pengunjung untuk membeli dan mencetak tiket. Karena saat itu uang tunai saya terbatas dan lumayan banyak antrian di loket, saya memilih self-kiosk agar transaksi lebih cepat dan saya bisa segera masuk ke dalam.
Petualangan dimulai...
Dari loket penjualan tiket hingga ke pintu masuk ternyata lumayan jauh jaraknya dengan jalur yang agak menanjak. Sepanjang jalan terdapat kios-kios yang disewakan GWK, banyak kios yang terbengkalai karena terpaksa tutup akibat pandemi, sisanya yang beroperasi kebanyakan diisi oleh warung-warung makanan dan penjual souvenir yang dikelola oleh masyarakat setempat.Â
Saya lumayan terperanjat sewaktu melihat harga-harga makanan minuman yang tertulis di papan depan warung. Harganya relatif murah dan sangat terjangkau, ini jauh berbeda dengan pengalaman saya selama ini bahwa makanan minuman di daerah wisata itu "mahal" karena harga yang cenderung tidak masuk akal.
Setelah 10 menit berjalan, tibalah saya di Tirta Amertha, taman air mancur dengan miniatur patung Garuda Wisnu di tengahnya. Lokasinya persis berada di depan gate masuk. Pilar-pilar menuju gate masuk dihiasi oleh patung-patung dari tokoh mitologi Hindu.
Setelah melewati pos pengecekan tas, akhirnya saya berada di "dalam" kawasan GWK dan semakin dekat menuju ke patung raksasa. Area pertama ini adalah Lotus Pond, lahan luas diantara tebing-tebing kapur tinggi.Â
Saya jadi teringat lima tahun lalu, kali pertama saya ke GWK untuk mengikuti festival musik, lautan manusia memenuhi seluruh area GWK. Kondisi yang sangat jauh berbeda pada kunjungan kali ini. Kosong.
Saya baru menyadari ternyata penamaan lokasi-lokasi dalam kawasan GWK ini bermakna cukup dalam. Lotus Pond sendiri diambil dari kata "lotus" atau teratai yang merupakan salah satu bunga yang dianggap suci dalam pandangan spiritual Hindu. Bunga ini melambangkan keabadian, keberuntungan, dan kekayaan, selalu ada dalam genggaman Dewa Wisnu.
Di sisi kiri Lotus Pond, ada tangga naik menuju Plaza Garuda, yaitu taman dengan simbol patung Garuda. Menurut mitologi Hindu, burung Garuda berwujud setengah manusia setengah burung yang mengabdi sebagai wahana Dewa Wisnu. Garuda melambangkan kesetiaan, kepercayaan, dan pengorbanan.
Di sebelah kiri patung Garuda, pengunjung bisa melihat patung Dewa Wisnu dari tampak belakang. Patung ini berukuran sama persis dengan patung Dewa Wisnu yang digabungkan di patung raksasa Garuda Wisnu. Sengaja ditempatkan disini agar pengunjung bisa melihat dan mengagumi dari dekat detail patungnya.
Melewati dinding batu kapur raksasa kedua, saya tiba di lahan luas berikutnya yaitu Festival Park yang saat ini digunakan sebagai area bermain skutis dan segway, salah satu atraksi permainan yang bisa dinikmati dengan biaya tambahan.Â
Terlihat banyak pengunjung yang penasaran ingin mencoba permainan ini, namun saya memilih untuk melanjutkan perjalanan menuju atraksi utama, patung Garuda Wisnu Kencana. Kurang lebih setelah berjalan sejauh 800 meter, akhirnya saya tiba di depan patung raksasa ini.
Garuda Wisnu Kencana
Di lantai dasar bangunan beton setinggi kurang lebih 8 meter yang merupakan "fondasi" patung raksasa Garuda Wisnu, saat ini difungsikan sebagai tempat pameran ogoh-ogoh.Â
Ada sekitar 30-an hasil karya masyarakat yang bukan hanya dipamerkan, tapi ternyata juga bisa dibeli jika ada yang berminat. Masing-masing karya memuat cerita atau kisah mitologi dibaliknya. Ini merupakan edukasi yang menarik bagi para pengunjung untuk dapat lebih mengenal kebudayaan Hindu Bali pada khususnya, sekaligus mengapresiasi hasil karya para seniman.
Tanpa berpikir panjang, saya membeli tiket tambahan ini. Beruntung saya masih bisa masuk ke antrian tur pukul 13.00 WITA sehingga hanya perlu menunggu sekitar 15 menit karena kalau tidak saya harus menunggu kloter berikutnya di jam 13.30 WITA.
Setelah petugas mempersilakan para peserta Statue Tour masuk ke area tunggu depan lift, petugas lainnya mulai membagikan shoe cover dan memberikan instruksi singkat tentang tata cara mengikuti tur di atas nanti, termasuk alasan mengapa pengunjung diharuskan menggunakan shoe cover.Â
Tidak berapa lama, tur dimulai. Dijelaskan bahwa durasi tur memakan waktu sekitar 30 menit dan dibagi kedalam dua kelompok. Saya yang masuk ke kelompok pertama, berkesempatan dibawa naik terlebih dahulu oleh tour guide ke lantai 9.Â
Keluar dari lift, pengunjung disambut dengan sejuknya udara dari pendingin ruangan. Dinding-dinding dipenuhi dengan papan informasi yang berisikan segala hal tentang Garuda Wisnu Kencana.Â
Tour guide dengan fasih menceritakan "perjalanan" patung GWK dari awal perencanaan hingga akhirnya dapat berdiri dan pengunjung bisa berada didalamnya saat ini.Â
Banyak cerita-cerita yang menarik untuk diketahui seperti visi utama GWK sebagai pusat kebudayaan dunia, proses pembangunan yang memakan waktu hingga 25 tahun, latar belakang Nyoman Nuarta sebagai maestro dari karya seni ini, upacara-upacara adat yang dilakukan agar proses pembangunan berjalan lancar dan memang pada akhirnya berhasil selesai tanpa ada kecelakaan kerja satupun.
Di lantai ini pengunjung juga dapat menikmati pemandangan pulau Bali di bagian utara dan bagian selatan melalui lubang-lubang jendela dari dalam patung raksasa.
Teknik berjualan karyawan di toko ini patut diacungi jempol, sebagai anak rantau yang sudah menetap di Bali hampir 8 tahun, bisa-bisanya saya tergiur untuk membeli magnet kulkas buy 1 get 1 free yang ditawarkan. Begitu melihat cuaca mulai membaik, saya kembali bergegas menuju Plaza Bhagawan untuk mengejar shuttle bus ke tempat parkir, menyudahi wisata singkat saya hari itu.
Di luar cuaca ekstrem, sebenarnya saya sangat menikmati jalan-jalan saya ini. Dari segi produk, wisata edukasi budaya yang ditawarkan oleh GWK dikemas dengan sangat menarik.Â
Dari segi fasilitas, GWK bisa dibilang unggul dalam pengadaan dan pengelolaannya seperti pembuatan jalur pejalan kaki yang rapi dan aman, penyediaan kursi roda yang bisa dipinjam oleh pengunjung usia lanjut maupun penyandang disabilitas, jalur kursi roda pun dibuat dengan baik dan rapi di dalam kawasan, kios-kios penjualan makanan dan minuman dengan mudah ditemui di dalam kawasan dengan harga terjangkau, implementasi teknologi dalam layanan juga cukup optimal dibarengi dengan penempatan petugas yang siap membantu pengunjung dalam pengoperasiannya.Â
Dari segi kebersihan, area GWK sangat terkelola dengan baik sehingga pengunjung merasa nyaman. Destinasi wisata biasanya identik dengan toilet yang kotor, namun tidak demikian yang terjadi di dalam GWK. Petugas kebersihan secara berkala memeriksa toilet-toilet untuk memastikan lantai kering dan tidak ada area yang kotor.Â
Dari segi protokol kesehatan, hampir di setiap sudut terdapat tempat cuci tangan lengkap dengan sabun dan hand sanitizer. Petugas juga dapat dengan mudah ditemui di berbagai titik dan tidak segan untuk menegur pengunjung yang melepas masker di dalam kawasan. Praktik-praktik semacam ini yang perlu dicontoh dan diadaptasi oleh destinasi wisata lainnya di Bali.
Ada juga hal yang disayangkan adalah pertunjukan-pertunjukan budaya yang biasanya ada setiap hari namun terpaksa dihentikan selama pandemi untuk mengurangi kerumunan. Sebagai destinasi wisata budaya, tentunya hal ini dapat menurunkan daya tarik wisata karena bisa dibilang atraksi utama saat ini hanyalah patung Garuda Wisnu Kencana saja.Â
Pengelola kawasan GWK perlu untuk terus melakukan inovasi agar dapat menarik minat wisatawan untuk datang berkunjung dan memiliki alasan untuk datang kembali.Â
Akhir kata, menurut saya GWK Cultural Park ini sangat layak untuk dikunjungi, apalagi untuk mereka yang tinggal di daerah "kota" dan enggan pergi terlalu jauh ke bagian utara Bali untuk berwisata, ataupun hanya mengunjungi pantai-pantai di wilayah selatan.Â
Semoga pandemi segera berlalu dan pariwisata Bali dapat kembali pulih.
Terimakasih untuk token of love-nya, Garuda Wisnu Kencana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H