Mohon tunggu...
Inez Miriam Nurul Hikmah
Inez Miriam Nurul Hikmah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya memiliki passion dalam menulis dan mengedukasi seputar kesehatan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Abainya Pemerintah Terhadap Hak Sehat, Akibat Lesunya Kebijakan Cegah Diabetes

20 Desember 2024   14:22 Diperbarui: 20 Desember 2024   14:22 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Aisyah Rizqi Iqbal, Inez Miriam Nurul Hikmah, Livian Chessa Evangelista, Marzalyla Putri Hendriansyah, Muhammad Khotibul Fahmi, Syahrani Tri Buwana Putri Kusumawardani, Tiara Zakirah

Gula telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kita, tetapi di balik manisnya, ancaman serius mengintai. Diabetes, terutama tipe 2, telah menjelma menjadi krisis kesehatan global, dengan jumlah penderita melonjak dari 200 juta pada 1990 menjadi 830 juta di 2022. Di Indonesia, situasinya tidak kalah memprihatinkan---lebih dari 800 ribu anggota JKN terdiagnosis diabetes, dan sebagian besar mengalami komplikasi serius seperti penyakit kardiovaskular yang menggandakan biaya pengobatan. Penyebab utamanya? Pola makan tinggi gula, obesitas, dan gaya hidup sedentari. Padahal, diabetes dapat dicegah dengan deteksi dini, pola hidup sehat, dan akses pengobatan yang memadai. Jika dibiarkan tanpa upaya serius, jumlah penderita global diperkirakan melonjak hingga 1,31 miliar pada 2050, menjadikan diabetes ancaman kesehatan yang pahit untuk kita semua yang bermula dari hal-hal manis yang kerap kita anggap remeh.

Hak Sehat: Janji Pemerintah di Atas Kertas, Tidak Sampai ke Rakyatnya yang Cemas

Hak hidup sehat adalah hak fundamental yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan terkait langsung dengan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya dalam menjamin kehidupan yang sehat dan mendukung kesejahteraan untuk semua usia. Sebagai negara yang menjamin hak hidup sehat warganya, pemerintah berperan penting dalam menciptakan regulasi yang mendukung akses terhadap pangan bergizi, peningkatan kesehatan masyarakat, serta pencegahan penyakit. Dalam hal ini, prinsip etika beneficence---di mana tindakan pemerintah harus dilakukan untuk kebaikan bersama dan mencegah bahaya bagi masyarakat---harus menjadi acuan utama dalam merumuskan kebijakan untuk mengurangi prevalensi diabetes dan kerugian serta disabilitas yang dirasakan masyarakat akibat penyakit tersebut. Pemerintah harus melakukan lebih banyak untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang dibuat dapat mempromosikan kesehatan, bukan justru merugikan masyarakat.

Pemerintah ingkar pada peraturan yang ia ciptakan sendiri. Tertuang pada UU Nomor 17 Tahun 2023 dan pasal 28 H ayat 1 Undang-Undang Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak hidup sehat dan negara wajib hadir untuk memenuhi hak masyarakat. Namun, pada realitanya kambing hitam selanjutnya sudah nampak di depan mata. Cukai MBDK. Peraturan yang diinisiasi sejak lama, tetapi masih saja belum dieksekusi. Padahal faktanya, apabila kebijakan ini disahkan akan sangat berdampak baik bagi kesehatan masyarakat. Angka kasus diabetes, dan segala penyakit yang diakibatkan karena minuman manis yang berlebihan akan sangat bisa ditekan kasusnya. Dan pada akhirnya, pemerintah sendiri yang akan merasakan nikmatnya karena sedikit anggaran untuk pelayanan kuratif.

Langkah Berani yang Harus Diambil: Cukai Minuman Manis hingga Perencanaan Kota yang Pro-Kesehatan

Mulai tahun 2025 mendatang, pemerintah Indonesia akan menerapkan kebijakan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) untuk menekan konsumsi gula berlebih dan mengurangi risiko penyakit diabetes. Cukai MBDK merupakan kebijakan yang dinilai hemat biaya (cost-effective) dan telah terbukti berhasil di negara lain, seperti Meksiko dan Perancis, dalam menurunkan konsumsi minuman berpemanis. Menurut penelitian CISDI, kenaikan harga MBDK sebesar 20% dapat mengurangi konsumsi gula harian rata-rata hingga 5,4 gram untuk laki-laki dan 4,09 gram untuk perempuan, serta mencegah 253.527 kasus overweight dan 502.576 kasus obesitas hingga 2033. Selain itu, pemerintah juga memperkuat kebijakan food labeling melalui BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) dan Kementerian Kesehatan. Label makanan ini mencakup informasi kadar gula, garam, lemak, dan kalori, dengan upaya menuju penggunaan label berbasis warna atau simbol untuk memudahkan masyarakat dalam memilih produk yang lebih sehat. Langkah ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat dan mendorong pola makan yang lebih baik.

Selain kebijakan cukai dan food labelling, langkah berani yang perlu diambil adalah mengutamakan keberadaan ruang hijau dalam perencanaan kota (urban planning). Ruang-ruang hijau ini bukan hanya sekedar elemen estetika, tetapi juga kunci untuk melawan masalah kesehatan seperti diabetes, obesitas, dan gaya hidup kurang aktif. Dengan menyediakan taman, hutan kota, atau jalur hijau yang dapat diakses oleh semua orang. Pemerintah dapat mendorong masyarakat untuk lebih sering bergerak, mengurangi stres, dan menjaga keseimbangan tubuh serta pikiran. Yang penting, ruang hijau harus tersebar secara merata, agar semua orang, termasuk mereka yang tinggal di area padat dan kurang mampu, bisa merasakan manfaatnya. Selain itu, kebijakan kota juga harus melindungi ruang hijau dari pengembangan yang mengabaikan pentingnya manfaat kesehatan bagi masyarakat.

Diabetes Membunuh Diam-diam, Kok Pemerintah Juga Ikut Diam?

Diabetes kini menjelma menjadi pembunuh tanpa suara, menyelinap di antara masyarakat yang tidak sadar bahwa hidup mereka sedang dipertaruhkan. Ironisnya, pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung, malah terbalut ragu. Beberapa kebijakan strategis, seperti cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan (MBDK), food labelling, dan urban planning yang terbukti efektif di negara tetangga, menjadi tiga regulasi utama yang berpotensi besar untuk menjadi tameng melawan diabetes di Indonesia. Sayangnya, implementasi kebijakan ini terus saja tersendat. Alih-alih bertindak tegas, pemerintah justru terjebak dalam kompromi yang lebih menguntungkan kantong industri daripada kesehatan rakyat. Tekanan dari masyarakat? Nihil. Edukasi publik yang setengah hati membuat suara rakyat terlalu lemah untuk melawan lobi industri yang penuh uang dan kuasa. Lobi industri yang kuat dan prioritas ekonomi seringkali mengesampingkan kesehatan masyarakat. Pemerintah terjebak antara melindungi masyarakat dan menjaga stabilitas ekonomi. Pemerintah harus menyadari bahwa kesehatan masyarakat adalah prioritas utama yang mendukung hak hidup sehat bagi semua orang, sekaligus menjadi pondasi penting bagi pertumbuhan ekonomi dan sektor industri lainnya. Tanpa rakyat yang sehat, mimpi pertumbuhan ekonomi hanyalah omong kosong.

Jika Tidak Sekarang, Lalu Kapan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun