Hari ini seperti biasa, aku pergi ke kantor usai salat subuh dan bermacet ria di jalanan menuju kantor. Mataku masih sembab akibat menangis semalam. Beberapa teman kantor menanyakan kenapa mataku sembab dengan dalih kurang tidur aku menjawab pertanyaan teman-temanku ini. Kantor seperti mesin waktu yang menguras sebagian waktu disana. Kerjaan semakin berpacu dengan waktu yang tak mengenal lelah. Akhirnya, aku pun pulang ke rumah dan sesampainya dirumah badanku terasa  sakit. Kemudian aku meminum segelas teh hangat berharap air yang ku minum bisa mengobati rasa lelahku ini.
Usai salat isya aku masuk ke dalam kamar, lalu tiba-tiba ibuku marah karena hal-hal sepele yang tak ku kerjakan. Kesabaranku mulai diuji tak kala badan yang masih terasa sakit itu dihantam omelan ibuku yang tak henti dari tadi.
"Harusah aku keluar dari rumah ini?" dalam hatiku yang terus saja bergerutu.
Padahal sepulang kerja aku merasa ada laki-laki yang berani menempelkan kepunyaannya ke tasku dan entahlah. Aku benar-benar kesal tapi aku pasrah, di bus terlalu sesak sampai-sampai bergerakpun susah. Aku hanya banyak-banyak beristigfar di dalam bus berharap segera turun dan berlari dari kerumunan orang-orang.
Ku senderkan punggungku di atas kasur berharap ibuku diam. Dalam hatiku menjerit.
"Ibu tolong aku..."
Aku sebenarnya tidak ingin pertikaian ini terjadi apalagi dengan ibu yang sangat aku cintai. Tapi kami hanyalah manusia yang saling mempertahankan ego masing-masing. Aku hanya bisa bersabar sampai akhirnya ku curhatkan semuanya pada ayah. Ayahku hanya bisa terdiam menatapku, aku tau beliau begitu menyayangiku sehingga belum bisa melepasku untuk tinggal di kostan. Apalagi beliau tau aku paling susah makan. Beliau hanya bilang "Sabar nak, ibumu hanya emosi..."
Kemarahan ibuku memuncak saat aku pergi kerja keesokan harinya. Sampai akhirnya aku benar-benar kalang kabut dan kemanakah aku harus mengadu? Kuingat satu per satu temanku, namun tak satupun dari mereka yang peduli. Ku ceritakan masalah ini pada seorang rekan kerja ia memberi sedikit solusi, tapi kami tak bisa lama-lama mengobrol karena terlalu banyak orang halu lalang di ruangan kami.
Aku kembali duduk di atas bus memikirkan nasibku yang sudah diusir dari rumah oleh ibuku dan harus kemana aku mengadu. Ku ingat, aku memiliki banyak sekali teman ketika aku kuliah dulu dari sabang sampai marauke bahkan luar negeri, tapi tak satupun dari mereka yang bisa ku ajak curhat. Jangankan curhat, sekadar menanyakan kabarpun itu sangat jarang dilakukan. Aku bertanya pada diriku sendiri "Apakah memang teman hanyalah sekadar teman di waktu kami masih bersama, tapi disaat kami berpisah kami akan mulai melupakan satu sama lain? atau karena memang aku yang tidak bisa menjaga hubungan silahturahmi? Ah HPku sering rusak dan hilang jadi aku bukannya tak ingin menghubungi mereka"
Ku coba menelpon dan SMS sahabatku, tapi diapun tak menjawab. Malam ini sesampainya di rumah, kumatikan AC kamar dan lampu dan bergegas tidur berharap esok hari aku pergi tanpa ada seorang rumah yang melihat. Disaat pikiran lagi kacau balau seperti ini susah rasanya memejamkan mata. Otakku masih terus berpikir "Kenapa Tuhan, tak ada satupun yang mengerti akan keadaanku ini bahkan orang tuaku sendiri?"
Jumat pagi ini aku bergegas pergi ke kantor tanpa bermake up, aku berharap ada seorang teman kuliahku dulu membalas message di twitter untuk memberikan nomernya kepadaku. Rekan kerjaku memberikan aku kesempatan untuk meliput sebuah acara tausiyah yang diadakan kantor di daerah Pegangsaan. Akhirnya aku mengikuti tausiyah. Mungkin sudah menjadi takdir Allah aku diberi tausiyah yang isi dakwahnya persis dengan apa yang aku alami. Dalam tausyiahnya Ustadzah Febri berkata,