Mohon tunggu...
Indyka SeptianaPutri
Indyka SeptianaPutri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya merupakan mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan S-1 Departemen Sosiologi Universitas Brawijaya.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Efek Kemacetan bagi Kesehatan

6 Desember 2022   12:34 Diperbarui: 6 Desember 2022   12:38 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

DKI Jakarta merupakan ibukota Indonesia dan memiliki enam kota yang meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Kepulauan Seribu. Jakarta menjadi kota metropolitan terbesar di dunia dengan pusat pemerintahan di Jakarta Pusat, pusat bisnis di Jakarta Selatan, dan pusat industri di Jakarta Timur tepatnya kawasan Pulo Gadung. Meskipun demikian, padatnya kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian tidak sebanding dengan luasnya. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), DKI Jakarta hanya memiliki luas 664,01 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2021 sebesar 10,6 juta. Dengan demikian, kepadatan penduduk Jakarta mencapai 15.978 jiwa/km2 dengan kota Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Jakarta Pusat yang memiliki kepadatan tertinggi.

Kota pertama dengan kepadatan penduduk tertinggi adalah Jakarta Pusat. Sebagai pusat pemerintahan, Jakarta pusat menarik minat pendatang untuk bermukim di daerah ini terlepas dari luasnya sebesar 52,38 km2 berarti kepadatan penduduk kota ini sebesar 20.360 jiwa/km2. Kota berikutnya disusul oleh Jakarta Barat dengan kepadatan penduduk 19.608 jiwa/km2 lalu Jakarta Timur dengan kepadatan 16.729 jiwa/km2. Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan karena begitu banyak penduduk yang bermukim di satu tempat. Hal ini mengganggu privasi dan kondisi kesehatan masyarakat terlebih terdapat banyak masyarakat yang tinggal di slum area, pinggiran kota, dan di dekat pusat industri.

Banyaknya penduduk Jakarta juga diiringi dengan arus mobilitas yang tinggi dan hal ini terbukti dari munculnya titik kemacetan di jam tertentu. Mobilitas tidak hanya dilakukan masyarakat yang tinggal di Jakarta saja, tetapi masyarakat commuter atau masyarakat yang tinggal di sekitar Jakarta. Akibatnya, titik kemacetan muncul di jam-jam padat, seperti pada pukul 06.00 - 09.00 WIB dan pada pukul 15.00 - 21.00 WIB. Kemacetan ini muncul karena banyak penduduk Jakarta yang menggunakan kendaraan pribadi terutama kendaraan roda empat. Kendaraan pribadi memakan lebih banyak ruang daripada kendaraan umum jika dibandingkan 1 bus dapat menampung sebanyak 50 penumpang, sedangkan ketika 50 individu mengendarai mobil berarti terdapat 33 mobil di jalan.

Dampak Kemacetan

Kemacetan ini menghadirkan masalah bagi masyarakat, mulai dari masalah sosial sampai masalah lingkungan. Pertama, masalah sosial yang timbul dari kemacetan adalah terganggunya aktivitas masyarakat. Hal ini terjadi karena volume kendaraan tidak sebanding dengan lebar jalan yang tersedia. Kemacetan ini seharusnya mendorong masyarakat untuk menggunakan kendaraan umum karena kemacetan cenderung membuang waktu yang tidak sesuai dengan cara kerja orang-orang kota yang serba cepat. Kedua, masalah lingkungan, semakin banyak kendaraan maka semakin besar juga emisi gas yang dikeluarkan kendaraan. Hal ini menimbulkan polusi udara yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat yang berada di sekitar titik-titik kemacetan tersebut.

Polusi udara tidak hanya berasal dari gas emisi kendaraan, tetapi juga berasal dari pabrik industri. Pabrik menghasilkan asap yang dapat mempengaruhi kualitas udara sehingga dapat memperburuk polusi udara yang terjadi. Meskipun demikian, kendaraan bermotor memberikan angka pencemaran udara lebih tinggi karena volume kendaraan yang juga tinggi. Pencemaran udara terjadi karena proses pembakaran kendaraan tidak berlangsung sempurna sehingga kendaraan bermotor mengeluarkan emisi gas buang. Emisi gas buang mengandung polutan berupa Karbon monoksida (CO), Karbon dioksida (CO2), Sulfur dioksida (SO2), Nitrogen dioksida (NO2), dan Timbal (Tb). Polutan tersebut ada yang memiliki bau dan tidak memiliki bau. Namun, polutan yang tidak memiliki bau jauh lebih berbahaya daripada polutan yang memiliki bau. Hal ini terjadi karena manusia bisa tanpa sadar menghirup polutan yang seharusnya dapat mereka hindari.

Berdasarkan penjelasan di atas, masyarakat yang terkena dampak pencemaran udara adalah masyarakat yang bermukim di pinggir jalan dan masyarakat yang tinggal di sekitar daerah industri. Kondisi ini diperburuk dengan letak warung, pedagang kaki lima, dan tempat makan yang berada di pinggir jalan yang lebih rentan terkena asap-asap beracun yang berasal dari gas emisi kendaraan. Makanan yang sudah terkontaminasi asap beracun akan menghadirkan masalah baru, seperti terkena penyakit pencernaan. Selain itu, penjual yang tinggal di pinggir jalan secara langsung juga menghirup gas buang yang dihasilkan kendaraan. Asap beracun yang dihirup semakin meningkatkan kemungkinan masyarakat terkena penyakit gangguan pernapasan, seperti bronkitis, pneumonia, bahkan memperparah penyakit asma.

Masyarakat nyatanya lebih dekat dengan pencemaran udara dari gas buang kendaraan daripada pencemaran udara yang berasal dari sisa-sisa industri. Hal ini terjadi karena masyarakat umum melakukan interaksi, mobilisasi, atau dengan kata lain berada di jalan yang meningkatkan kemungkinan terkena penyakit gangguan pernapasan. Kondisi ini diperjelas dengan penelitian yang menyatakan bahwa emisi gas buang kendaraan menyumbang 75% pencemaran udara. Dengan demikian, kondisi lingkungan di mana masyarakat tinggal dapat mempengaruhi penyakit-penyakit yang menyerang mereka. Kondisi lingkungan yang buruk akan meningkatkan kemungkinan masyarakat terkena penyakit tertentu yang dalam kasus ini adalah penyakit gangguan pernapasan akibat emisi gas buang kendaraan.

Berdasarkan perspektif struktural fungsionalis, sakit memiliki peran bagi individu yang merasakan hal tersebut, tetapi hilangnya peran sementara individu yang sakit dapat mengganggu kestabilan struktur yang sudah ada. Hal ini tentunya terjadi dengan penyakit-penyakit yang ditimbulkan dari emisi gas buang kendaraan bermotor. Emisi kendaraan bermotor dapat menyebabkan pergerakan silia untuk menyaring polutan menjadi lambat bahkan terhenti sehingga penyaringan udara tidak berjalan maksimal bahkan polutan dapat merusak sel-sel yang dapat membunuh bakteri. Dengan demikian, masyarakat yang sering terpapar emisi gas buang kendaraan lebih rentan terkena penyakit-penyakit saluran pernapasan sehingga menurunkan angka harapan hidupnya atau life expectancy.

Gangguan kesehatan yang muncul akibat emisi gas buang kendaraan adalah gangguan pernapasan, ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), TBC (Tuberkulosis), asma, bronkitis, dan pneumonia. Penyakit tersebut merupakan penyakit mematikan yang dapat menurunkan angka harapan hidup masyarakat terlebih beberapa penyakit memiliki resiko penularan yang sangat tinggi jika individu yang terpapar melakukan interaksi secara intens dengan individu lainnya (penyakit TBC). Asap kendaraan bermotor juga semakin memperburuk kesehatan masyarakat yang terkena penyakit asma. Kondisi ini dapat mempengaruhi produktivitas masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan, dan tentunya kesehatan. Pemerintah perlu melakukan upaya untuk menekan bertambahnya gangguan kesehatan yang terjadi karena emisi gas buang kendaraan.

Pencemaran udara tentunya dialami kota-kota besar, salah satunya adalah Jakarta. Terdapat banyak faktor yang membuat kondisi udara Jakarta tercemar, salah satunya adalah gaya hidup masyarakat Jakarta. Gaya hidup serba modern, efektif, dan efisien di Jakarta mempunyai korelasi positif dengan pencemaran udara yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan masyarakat sehingga meningkatkan daya beli masyarakat terhadap kendaraan bermotor. Udara sebagai komponen penting dalam keberlangsungan kehidupan akan semakin tercemar jika bertambahnya jumlah kendaraan bermotor semakin tidak terkendali. Pencemaran udara akan menimbulkan efek domino bagi kehidupan sosial masyarakat, seperti penyakit-penyakit yang timbul sehingga mengganggu produktivitas masyarakat.

Hubungan antara Persebaran Penyakit di Jakarta dengan Kemacetan

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta, tiga jenis penyakit dengan jumlah kasus tertinggi adalah TB paru, IMS (Infeksi Menular Seksual), dan pneumonia. Pada tahun 2021, penyakit TB paru menjadi penyakit dengan jumlah kasus tertinggi sebesar 26,854 kasus, lalu IMS dengan 20.853 kasus, dan pneumonia dengan 19.973 kasus. Dua jumlah kasus penyakit tertinggi dapat disebabkan oleh pencemaran udara, yaitu TB paru dan pneumonia. Secara tidak langsung pencemaran udara dapat meningkatkan resiko penyebaran percikan lendir individu yang terpapar TB paru. Selanjutnya, pneumonia merupakan peradangan paru yang disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak memadai dan polusi udara.

Berdasarkan persebaran penyakit Jakarta, kondisi lingkungan memiliki korelasi positif dengan jumlah penyakit tertinggi yang dialami masyarakat Jakarta. Pada tahun 2021 terdapat 4.111.231 jumlah kendaraan roda empat dan 16.519.197 jumlah kendaraan roda dua (BPS 2020). Terlebih masyarakat Jakarta cenderung sering melakukan mobilitas yang membuat mereka menghirup polusi dari asap kendaraan. Kondisi ini diperparah dengan pembangunan-pembangunan Jakarta yang menggerus ruang terbuka hijau dan menebang pohon-pohon di pinggir jalan. Bahkan pembangunan transportasi umum yang dinilai mengurangi polusi malah berakhir sebaliknya karena menebang pohon-pohon di pinggir jalan. Penebangan pohon-pohon tersebut kurang tepat karena pohon melakukan proses fotosintesis tumbuhan memerlukan Karbon dioksida (CO2) dan hal ini dapat mengurangi polusi udara.

Indeks Polusi Jakarta?

Jika melihat indeks polusi di Jakarta, maka kita akan mengacu pada data yang diberikan oleh IQAir. IQAir sendiri adalah lembaga teknologi kualitas udara yang berbasis di Swiss. Mereka juga merupakan lembaga yang memfokuskan terkait juga perlindungan kualitas udara, pengembangan produk pemantauan kualitas udara serta pembersih udara. Data yang diberikan oleh IQAir sendiri berkata bahwa jumlah konsentrasi polutan PM 2.5 mencapai 100 g/m. Tentu saja angka tersebut tidak sedikit melihat bahwa konsentrasi polutan tersebut lebih banyak dari yang dibatasi oleh paduan WHO (World Health Organization) sebanyak 20 kali. Hal tersebut seharusnya menjadi sebuah permasalahan utama melihat bahwa PM 2.5 merupakan polutan yang cukup berbahaya bila terus-terusan dihirup oleh manusia. Dengan adanya jumlah polutan ini yang mengakibatkan kondisi suhu serta kelembaban udara mencapai angka yang juga mengenaskan. Di siang hari, suhu udara di Jakarta bisa mencapai 29 derajat celcius dan juga kelembaban yang mencapai 74%. Jakarta juga menjadi salah satu kota di Indonesia yang memiliki kondisi udara yang paling buruk menurut IQAir.

Polusi Udara Jakarta vs Seoul

Kondisi udara Jakarta memang sudah dibilang buruk, bahkan dengan jumlah polutan sebesar itu apakah masih ada negara dengan kondisi yang lebih buruk? Faktanya, Korea Selatan menjadi salah satu negara dengan kondisi udara yang juga cukup buruk. Korea Selatan mungkin terlihat indah dan memiliki teknologi yang begitu modern, tetapi salah satu permasalahan utamanya adalah keadaaan polusi yang menjadi poin utama. Bahkan kualitas udara Jakarta dibilang lebih baik daripada kondisi udara di Seoul dengan AQI sebesar 83. Kondisi Korea Selatan sendiri seringkali dipenuhi dengan kabut yang membuat kesan Korea Selatan dipenuhi dengan asap. Bahkan kondisi debu yang ada di Korea Selatan bisa memenuhi udara yang menjadikan langitnya terlihat abu-abu.

Melihat fakta yang telah diberikan maka bagaimana dengan kondisi kesehatan serta penyakit yang diidap oleh orang-orang yang tinggal di Jakarta serta Seoul? Menurut data yang disajikan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) di Jakarta, posisi penyakit paling tinggi yang diidap oleh orang-orang Jakarta adalah TB Paru dengan jumlah 26.854 di tahun 2021. Tentu saja menjadi penyakit yang menjadi poin utama, melihat dengan kondisi polutan di Jakarta yang ditempatkan dalam kondisi buruk. Menjadi wajar bila penyakit yang berhubungan dengan pernapasan menjadi penyakit mayoritas di masyarakat. Bahkan bila melihat data BPS di Jakarta, penyakit ketiga yang cukup banyak adalah Pneumonia. Kembali lagi dengan kondisi penyakit yang juga berhubungan dengan pernapasan, tentunya harus diperhatikan lagi bahwa kondisi polutan di Jakarta memiliki benang merah dengan penyakit yang menjangkit masyarakat di Jakarta.

Jika melihat lagi kondisi penyakit di Jakarta yang juga dipengaruhi oleh polusi yang ada di udara, apakah akhirnya memiliki kesamaan? Melihat juga kondisi polusi di Seoul juga sama dengan Jakarta, bahkan lebih buruk dari kondisi di Jakarta. Penyakit kanker menjadi salah satu penyakit penyebab kematian paling tinggi di Seoul, terkhusus lagi kanker paru-paru. Jika melihat kanker paru-paru menjadi salah satu penyakit yang paling tinggi penderitanya di Seoul maka apakah bisa diberi kesimpulan bahwa kondisi udara yang ada di Seoul mampu mempengaruhi kenaikan angka kanker paru-paru tersebut? Selain kanker paru-paru, penyakit jantung juga menjadi penyakit yang cukup sering diidap oleh orang-orang. Melihat banyaknya penyakit yang berhubungan dengan pernapasan atau respiratory dapat disimpulkan bahwa memang adanya jumlah polutan yang berada di atas batas wajar mempengaruhi dengan penyakit apa yang berhubungan dengan anggota tubuh tertentu.

Kondisi Jakarta yang sudah dalam kondisi gawat terkait dengan polutannya, apakah dari segi infrastruktur berupa Ruang Terbuka Hijau (RTH) sudah terpenuhi dengan baik? Bagaimana dengan kondisi penempatan RTH itu sendiri? Kita sendiri sudah mengetahui bahwa kebutuhan RTH harus memenuhi setidaknya 30% di suatu daerah. Realitanya, kondisi RTH di Jakarta baru terealisasikan sebesar 9% yang menjadi sebuah permasalahan padahal kondisi RTH yang kurang akan memperparah kondisi polusi yang terjadi di Jakarta. Sedikitnya jumlah RTH disebabkan oleh mahalnya harga tanah di Jakarta yang mempengaruhi pembuatan RTH. Jakarta juga merupakan kota yang padat, menjadikan proses pembuatan RTH mampu mengancam kepadatan yang ada di Jakarta, misalhnya adanya kemacetan yang ditimbulkan dengan adanya pembuatan RTH.

Kesimpulan

Lalu, apa sebenarnya kegunaan RTH yang paling utama untuk mengatasi permasalahan polusi yang ada di Jakarta? Kita sudah mengetahui bahwa dengan adanya RTH merupakan salah satu ruang sendiri yang memiliki isi banyaknya tanaman hijau yang juga bisa dialihkan sebagai salah satu lahan konservasi, tentunya juga tanaman hijau bisa mengurangi efek polusi yang diakibatkan akhir-akhir ini. Dengan adanya RTH yang mencukupi batas minimal, pastinya ada penekanan kenaikan angka polusi di suatu daerah. Selain menekan kenaikan angka polusi, RTH juga menjadi salah satu fasilitas umum yang bisa digunakan oleh warga setempat untuk sekedar bersantai-santai ataupun melakukan aktivitas harian mereka. Sebagai bagian dari masyarakat yang tentunya juga ikut mengalami kejadian saat-saat ini (dalam konteks ini kondisi polusi) apa yang sekiranya bisa kita lakukan untuk menghindari penyakit-penyakit yang sekiranya ditimbulkan oleh polusi tersebut? Tentunya tidak bosan-bosan untuk mengingatkan bahwa memang kita sebagai individu harus menjaga kesehatan sendiri terlebih dahulu sebelum memperhatikan kesehatan yang lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun