Mohon tunggu...
Aditya Anugrah
Aditya Anugrah Mohon Tunggu... -

Penulis adalah mahasiswa teknik industri Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Nature

TDL & Insentif Untuk Industri Hemat Energi

21 September 2011   13:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:45 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Masalah harga listrik sebagai sumber energi kembali menjadi pusat perhatian masyarakat, termasuk dunia usaha. Kenaikan tarif dasar listrik (TDL) terhitung mulai Juli menjadi pemicu peningkatan biaya produksi industri barang dan jasa serta bahan kebutuhan pokok masyarakat.

Dalam hitungan pemerintah dan PLN, rata-rata kenaikan TDL hanya sebesar 10% dan khusus untuk industri 15%. Akan tetapi dalam kenyataannya dunia usaha menanggung beban kenaikan mencapai 40%. Bahkan untuk sektor tertentu beban kenaikannya mencapai 60%.

Perbedaan beban kenaikan antara kebijakan pemerintah yang disetujui DPR dengan kenyataan lapangan terkait dengan cara perhitungan PLN untuk dunia usaha atau industri yang tidak hanya berdasarkan TDL, namun juga menggunakan (perhitungan kompensasi) tarif multiguna dan daya maksimum serta ada tambahan pajak pertambahan nilai yang dibebankan pada setiap faktur penjualan.

Bagi industri, kenaikan beban listrik yang memicu peningkatan biaya produksi, dapat mengubah peta persaingan pasar antara produk lokal dan impor. Pada sisi lain, tanpa peningkatan daya beli masyarakat, kenaikan biaya listrik itu semakin memberatkan konsumen rumah tangga dan juga dunia usaha.

Sebelum ada kenaikan tarif listrik saja, dunia usaha terutama sektor industri manufaktur sudah mengalami persoalan daya saing dan kewalahan melawan serbuan produk impor yang kian membanjir dengan harga murah.

Apalagi dengan berlakunya Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) sejak Januari, persaingan semakin sukar dimenangi industri di dalam negeri.

Produk industri nasional yang dikembangkan dan dibuat dalam kawasan industri atau wilayah Indonesia akan semakin sulit bersaing dengan produk yang lahir dan dikembangkan di China, yang biaya produksinya lebih murah karena adanya berbagai insentif mulai dari suku bunga rendah, insentif perpajakan dan biaya listrik yang lebih murah.

Untuk produk yang sama, aple to aple, barang buatan China bisa lebih murah 10%-15% dibandingkan dengan buatan Indonesia. Kini, dengan adanya kenaikan beban listrik, daya saing produk industri nasional akan semakin melorot akibat membengkaknya biaya produksi.

Kenaikan tarif dasar listrik juga dapat memacu laju inflasi, dan secara otomatis akan membuat daya beli masyarakat semakin melemah dan daya serap pasar cenderung mengecil. Karena itu, pemerintah dan PLN perlu lakukan kaji ulang atas dampak kenaikan tarif listrik secara lebih komprehensif.

Meskipun pemerintah dan PLN dikabarkan akan merevisi kenaikan beban biaya listrik untuk sektor industri menjadi maksimal 18%, angka tersebut masih tetap terasa cukup tinggi.

Dengan struktur suku bunga bank, kondisi infrastruktur seperti sekarang ini, kemampuan dunia usaha untuk menerima beban kenaikan listrik rata-rata hanya 10%.

Jika angka kenaikannya lebih dari itu, bisa dipastikan akan terjadi penurunan pangsa pasar akibat peningkatan biaya produksi.

Langkah efisiensi yang dilaksanakan oleh kalangan industri pada gilirannya akan sampai pada opsi untuk mengurangi biaya tenaga kerja yang memicu PHK, dan ini bertentangan dengan tujuan kebijakan pro jobs pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Banyak pakar yang memprediksi akan banyak UMKM yang tutup karena tidak dapat menanggung kerugian akibat beban persaingan harga yang harus dijaga agar tidak kalah dengan produk impor, sementara biaya produksi meningkat tajam dan tidak dapat ditutupi oleh margin keuntungan yang diperoleh.

Kenaikan biaya listrik lebih dari angka 10% akan membuat UMKM segera kolaps dan jika itu terjadi sia-sialah langkah serta visi Presiden SBY yang telah bersusah payah membangun dengan pelbagai inisiatif seperti kredit lunak KUR.

Inti persoalan kelistrikan nasional yang sudah bertahun-tahun tidak bisa diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah dan PLN adalah akibat struktur biaya produksi dan jaringan listrik yang tidak efisien serta pasokan yang tidak memadai.

Dari sisi struktur biaya, peranan pembangkit PLN yang menggunakan energi primer berupa bahan bakar minyak (BBM) masih tergolong besar. Sekitar 20% dari listrik yang dihasilkan PLN berasal dari pembangkit BBM. Akibatnya, sekitar 60% biaya operasi PLN adalah untuk bahan bakar dan sekitar 75% di antaranya untuk pembelian BBM.

Dengan komposisi tersebut, menjadi sangat penting bagi pemerintah dan PLN untuk mempercepat konversi penggunaan energi primer BBM ke energi primer lain seperti batu bara, panas bumi dan gas.

Untuk mendapatkan TDL yang murah dan terjangkau, pemerintah perlu dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan penggunaan pembangkit listrik tenaga nuklir dengan teknologi yang aman. Selain itu, pemerintah dan PLN juga harus meningkatkan efisiensi distribusi dan menciptakan iklim yang lebih kondusif bagi pembangunan pembangkit baru. Rasio kelistrikan nasional yang kini baru sekitar 67,5% harus segera ditingkatkan agar jumlah penduduk Indonesia yang bisa menikmati listrik dapat bertambah.

Gerakan hemat energi

Polemik penetapan TDL yang terus muncul selama ini antara lain juga disebabkan tidak efektifnya upaya pemerintah dan PLN dalam mendorong perilaku hemat energi, terutama bagi sektor industri, melalui mekanisme tarif khusus dalam bentuk tarif multiguna dan daya maksimum (dayamax). Melalui kebijakan ini, pemerintah dan PLN memberikan insentif dan disinsentif dan berharap kalangan industri terstimulasi untuk menekan penggunaan listrik.

Secara teori, pola pikir tersebut memang tidak ada salahnya. Namun dalam praktiknya sangat sulit dilakukan. Dunia usaha mempunyai siklus produksi sendiri, yang sulit bahkan terkadang tidak mungkin untuk mengikuti cara pandang pemerintah dan PLN itu.

Kenyataan menunjukkan bahwa pemberlakuan tarif khusus itu telah menimbulkan masalah, bahkan menimbulkan rasa ketidakadilan untuk bebarapa sektor industri.

Demi kepentingan produksi nasional dan penyerapan lapangan kerja, kekacauan penghitungan TDL ini harus segera diakhiri, termasuk dengan mengubah kebijakan penghematan listrik melalui tarif multiguna dan dayamax yang selama ini bersifat temporer, yaitu sepanjang pasokan daya PLN tidak mencukupi.

Pemerintah perlu mencari solusi lain untuk mendorong penghematan penggunaan energi. Agar efektif, kebijakan tersebut harus bisa langsung menyentuh biaya produksi bagi dunia usaha, termasuk dalam pengeluaran rumah tangga.

Pengalaman sejumlah negara menunjukkan insentif langsung jauh lebih efektif mendorong dunia usaha dan rumah tangga dalam menghemat konsumsi energi. Kebijakan ini sangat penting, tidak hanya untuk mendorong perilaku hemat energi, tetapi juga sekaligus untuk meningkatkan daya saing nasional secara keseluruhan.

Berdasarkan Rencana Induk Konversi Energi Nasional (RIKEN), peluang penghematan energi di industri bisa mencapai sekitar 15%-30%, sektor transportasi 25% dan setor rumah tangga dan bangunan komersial 10%-30%. Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk mencapai hal ini adalah dengan menggunakan mesin-mesin dan produk elektronik hemat energi.

Untuk itu, perlu segera disusun langkah aksi implementasi kebijakan secara luas dan masif dalam penggunaan moda transportasi , mesin-mesin dan peralatan industri serta peralatan rumah tangga yang hemat energi.

Pemberian insentif, baik dalam bentuk fiskal dan suku bunga, guna mendorong sektor industri melakukan rekonstruksi proses produksi dengan menggunakan wahana transportasi, mesin-mesin dan peralatan produksi hemat energi, tentu akan lebih efektif dari pada memberlakukan tarif khusus seperti sekarang ini.

Pemberian insentif ini dapat lebih nyata dirasakan sektor industri karena akan langsung memengaruhi struktur biaya produksi.

Pengalaman di banyak negara juga menunjukkan pemberian insentif bagi penggunaan produk dan peralatan produksi hemat energi ini sangat efektif. Insentif itu bisa diberikan melalui kemudahan bagi industri yang memproduksi peralatan hemat energi.

Memang dalam tahap awal, proses modernisasi dan penggantian mesin dengan peralatan yang lebih hemat energi terasa mahal, namun dalam jangka panjang akan sangat mengguntungkan. Kebijakan ini juga sejalan dengan upaya membangun daya saing perekonomian Indonesia di masa depan yang berbasis teknologi hijau ramah lingkungan hemat energi.

Pemerintah harus dapat memanfaatkan momentum saat ini untuk mendorong industri-industri boros energi agar memperbaiki operasionalnya sehingga menjadi lebih hemat, efisien dan produktif dengan memberikan berbagai insentif.

Pemerintah sebaiknya tidak lagi hanya berpikir bagaimana menyalurkan subsidi energi (listrik) melalui PLN, tetapi juga melalui sektor industri yang memproduksi peralatan hemat energi.

Dan hal yang tidak kalah penting, pemberian insentif hemat energi melalui mekanisme tersebut juga akan mendorong dunia usaha untuk mengembangkan produk berbasis ramah lingkungan (ecoproduct) di samping penerapan teknologi hijau (green technology), yang pada gilirannya akan menciptakan perilaku hemat energi di tengah masyarakat.

Kondisi ini sangat diperlukan untuk mewujudkan komitmen pemerintah dalam mengurangi emisi karbon sebesar 26% sampai 2020, seperti yang disampaikan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan G-20 di Pitsburg pada tahun lalu.

Sumber:www.INAplas.org

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun