Mohon tunggu...
indry septiarani
indry septiarani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorarang Mahasiwa Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang ingin terjun di dunia literasi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Apa Itu Pasal Karet? dan Apa Permasalahannya?

12 Desember 2022   15:36 Diperbarui: 12 Desember 2022   15:42 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : shutterstock

Undang-undang harus memiliki penafsiran yang tegas dan jelas. Akan tetapi pada faktanya,  banyak pasal dalam undang-undang yang memiliki penafsiran tidak tegas dan cenderung multitasfir. Pasal multitasfir tersebut dikatakan sebagai pasal karet. Pasal karet adalah pasal pidana yang dapat mudah disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk keuntungan mereka sendiri. Pasal karet terdapat pada Undang-Undang Infromasi dan Transaksi Elektronik ("UU ITE") yang sudah disahkan sejak tahun 2008. 

UU ITE memang melewati dinamika cukup lama setelah masa reformasi. Walaupun  belum atau sudah direvisi, Pasal tertentu dalam UU ITE sering kali menimbulkan kontroversial. Alasan UU ITE dicap sebagai pasal karet, yaitu karena pasal-pasal ini tidak mempunyai tolak ukur yang jelas dan dapat mengancam kebebasan berekspresi, khususnya masyarakat sipil dan pers. Padahal secara umum, definisi kebebasan berhubungan dengan tidak adanya pembatasan, pengikatan, dan pemaksaan. Hak kebebasan berekspresi merupakan bagian dari setiap hak asasi manusia.

Pembenaran dari tujuan pemerintah Indonesia untuk menciptakan UU ITE disebabkan oleh perkembangan teknologi dan informasi yang terlampau sangat cepat. Oleh karenanya, pemerintah wajib mendukung pengembangan teknologi informasi melalui landasan hukum dan peraturan perundang-undangan serta memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia sehingga penggunaan teknologi informasi aman dan dicegah penyalahgunaannya. 

Namun, faktanya banyak pasal dari UU ITE yang memiliki masalah didalamnya,  diantaranya adalah Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29. Pasal-pasal tersebut mengatur enam hal: ujaran kebencian, penyebaran berita bohong, perjudian, asusila, pelecehan publik, dan pencemaran nama baik. Bunyi dari pasal-pasal kontroversial tersebut, yaitu:

  1. Pasal 27 ayat (1), "Setiap  Orang  dengan  sengaja  dan  tanpa  hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan."
  2. Pasal 27 ayat (3), "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik."
  3. Pasal 28 ayat (2), "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)."
  4. Pasal 29, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi."

Pasal 27 ayat (2) ini mengatur tentang tindak kesusilaan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kejahatan pornografi kepada masyarakat dan juga menjadi landasan hukum yang berguna untuk pemblokiran atau penutupan situs-situs tersebut.[1] Kasus yang sudah kita ketahui sebelum ini adalah kasus penyebaran video artis lokal Indonesia, Gisella Anastasia yang tersebar video syur bersama Michael Yokonobu de Fretes.

[2] Jika dilihat secara sekilas, pasal ini tidak terdapat masalah dalam penafsiraanya, tetapi kita bisa menemukan kejanggalan dari kalimat, "Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan," apabila dianalisa lebih dalam lagi. Kalimat tersebut cenderung kabur karena tidak ada penjelasan mengenai penafsiran kategori perilaku-perilaku pelanggran norma kesusialan.

Selanjutnya, Pasal 27 ayat (3) berbicara tentang ujaran kebencian. Pasal ini memiliki istilah maupun klausa tidak jelas sehingga sulit untuk ditelan oleh kepala, bahkan Pasal 27 ayat (3) merupakan salah satu pasal yang tidak menerapkan asas-asas pembentukan undang-undang yang baik dan benar. Walaupun sudah direvisi, pasal tersebut justru menimbulkan berbagai perspektif dari banyak pihak. Batasan dalam pasal tersebut yang cenderung kabur, yaitu tentang pengaduan, kesusialaan, pencemaran nama baik, dan juga penghinaan. 

Dengan demikian, pasal ini akan berbahaya apabila diterapkan pada pihak-pihak yang tak paham soal dunia maya sehingga mudah untuk menjerat orang-orang yang tidak bersalah dengan tujuan untuk menutupi kritis-kritis dan juga fakta.

Kemudian Pasal 28 ayat (2) membahas tentang kebencian berdasarkan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan ("SARA"). Direvsisi atau tidak, pasal ini tidak menegaskan secara konkit informasi apa saja yang memuat rasa kebencian atau pemecahan individu atau kelompok masyarakat berdasarkan SARA. 

Bukan hanya itu, Pasal 28 ayat (2) tidak menjelaskan apakah delik tersebut merupakan delik aduan atau hanya delik biasa. Pasal ini juga dapat disalahgunakan oleh individu atau kelompok manapun terhadap siapa pun yang menggunggah kata-kata atau informasi yang mengandung kebencian di media sosial. Kasus Buni Yani yang menyampaikan ujaran kebencian dan mengedit video pidato Basuki Tjahaja Puranama adalah contoh nyata dari Pasal 28 ayat (2).

Pasal terakhir yang saya analisis adalah Pasal 29 UU ITE. Pasal ini membahas tentang ancaman kekerasan serta menakut-nakuti. Jika dilihat sekilas, pasal ini tidak berbau kontroversial. Akan tetapi, kata "menakut-nakuti" merupakan bagian kontroversial yang orang-orang tidak banyak temukan dalam Pasal 29 UU ITE. 

Istilah maupun klausa ini tidak mendapati penafsiran dan juga penjelasan secara rinci sehingga akan berdampak pada penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan pribadi.[3] Kita dapat melihat contohnya dari kasus seorang pengusaha yang bernama Hary Tanoesoedibjo dalam kasus ancaman kepada jaksa yang bernama Yulianto. 

Sudah jelas bahwa pasal-pasal di atas merupakan pasal kontroversial yang harus diubah atau direvisi kembali agar penafsiran pasal tersebut tidak multitasfir. Kita tidak dapat menyalahkan penyalahgunaan pasal tersebut terhadap pelaku. Pelaku memanfaatkan lubang hitam yang ada dalam Pasal karet karena ketidakjelasan beberapa kata, istilah, maupun klausa pada pembentukan pasal tertentu UU ITE . Maka dari itu, pasal karet tidak akan terjadi apabila pemerintah pembuat undang-undang lebih mengedepakan pemakaian klausa yang kebih rinci, jelas, dan konrit agar tolak ukur dari undang-undang tersebut menjadi tidak asbtrak. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun