Mohon tunggu...
indriyas
indriyas Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

ibu rumah tangga, blogger, content writter, freelancer http://www.indriariadna.com http://meubelmart.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Edukasi dan Kreativitas untuk Raih Masa Depan Cemerlang

29 Agustus 2016   23:27 Diperbarui: 30 Agustus 2016   00:27 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: www.borongaja.com

Ayah dan ibu saya menikah saat usia mereka masih sangat muda, di bawah 20 tahun. Pernikahan yang hanya seumur jagung, karena saat saya berumur 1 tahun [ bahkan sebelum 1 tahun] kedua orang tua saya memutuskan untuk bercerai. Mereka kemudian masing-masing menikah lagi, dan hingga saat ini saya masih bertanya-tanya, apakah ada yang salah ? Apakah ada yang salah dengan pernikahan mereka? Atau adakah yang salah dengan kelahiran saya ? 

Bahkan hingga saya dewasa, saat mereka bertemu dalam beberapa kesempatan, pasti pertengkaran yang terjadi.

Menjadi anak dari orangtua yang bercerai tidaklah mudah. Saya merasa terlalu di kasihani banyak orang. Saat saya kecil dulu sering di rasani [mereka berbicara di belakang saya tetapi saya mendengar]  banyak tetangga saat saya kebetulan berjalan di dekat mereka.

"Eh, ini loh yang namanya X [nama saya], kasihan ya bapak dan ibunya bercerai, kemudian ibunya dapat pak T."

Demikian mereka bilang. Saya tentu saja sedih mendengarnya, bagaimanapun saya masih kecil saat itu dan saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dan apa yang harus saya katakan kepada mereka, tetangga-tetangga saya itu.

Betapapun, saya mendapat pelajaran yang sangat berharga dengan semua kejadian yang pernah saya alami. Perceraian orantg tua, bagaimanapun mempengaruhi saya sedemikian sehingga saya tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri, introvert dan tertutup, cenderung menjadi cuek tetapi perasaan saya sangat peka dan mempunyai daya imajinasi tinggi.

Salah satu kabar buruknya, dampak dari perceraian tersebut membuat saya tidak pernah mengenal saudara-saudara dari keluarga bapak saya. Sehingga dulu saat saya pulang kampung [rumah kakek nenek] kemudian ada tetangga yang membicarakan Pak B begitu begini dan kemudian menunjuk saya dan bilang, "Pak B kan pakdhemu to ndhuk ?"

"Hah, masak iya? Lha mana saya tahu" jawab saya

Konyol sekaligus menyakitkan.

Saat ini setelah saya dewasa dan sudah berkeluarga, saya dapat merasakan bagaimana beratnya perjuangan untuk berkomitmen seumur hidup dengan satu orang yang saya nikahi.

Saya menikah di umur 24 tahun sedangkan suami saat itu berusia 26 tahun. Sebelum menikah, saya sudah kurang lebih 4 tahun bekerja dan terus melanjutkan bekerja bahkan setelah menikah. Mungkin karena tingkat kemandirian dan kepribadian saya yang agak berbeda dengan cara pandang suami menyebabkan kami seringkali berbenturan pendapat.

Dengan melihat pengalaman orang tua saya yang bercerai, ternyata tidak membuat saya antipati atau takut dengan kata perceraian. Bahkan saya cenderung berani, selalu menantang untuk bercerai. Aneh ya atau mungkin trauma saya kurang tahu. Sudah pernah saya berniat bercerai, beberapa kali, dengan berbagai problema dan permasalahan keluarga kecil kami yang ada saat itu.

Menoleh ke belakang, akibat dari perceraian orangtua saya, saya tumbuh menjadi seseorang yang sangat keras kepala, cuek akan segala hal terlebih lagi dari omongan orang lain, dan sangat sombong. Saya seringkali merasa dan berpikir bahwa saya bisa melakukan segala sesuatu sendiri, bahkan tanpa bantuan suami saya.

Berdasar kepada pengalaman dari orangtua dan saya sendiri, saya menyadari betapa untuk menikah dan berkeluarga, bukan hanya kita butuh umur yang dewasa yang berupa angka, tetapi juga kita sudah harus mempunyai pemikiran dan sikap hidup yang benar-benar dewasa.

Dewasa dalam artian siap berkomitmen seumur hidup. Menanggung segala sesuatu yang terjadi berdua tanpamelibatkan orang lain. Ibarat kata, ada persoalan di kamar, ya kita berusaha atasi sendiri berdua.

Saya membayangkan apabila kita menikah hanya karena dia [pasangan] kita itu cantik atau tampan. Kalau sudah umur bertambah, sudah tidak cantik dan tidak tampan lagi, lalu bagaimana ? Cari yang lebih muda ? Jangan lah ya.

Bagaimana kalau kita menikah hanya karena pasangan kita kaya ? Pernah terbayang apabila pasangan kita mengalami kebangkrutan, apakah kita sudah siap?

Saya pernah mendengar perkataan Pak James Gwee di sebuah tayangan televisi nasional, yang mengatakan bahwa sebenarnya problem atau masalah itu tidak ada. Yang ada adalah, kita tidak atau belum mempunyai problem solving atau jalan keluar, sehingga kita memandang sebuah persoalan sebagai masalah.

Saya pikir, benar juga. Apabila kita terbiasa menemukan cara atau jalan keluar untuk setiap masalah kita, sama dengan kita tidak mempunyai masalah.

Satu hal yang kita perlukan untuk meraih masa depan yang cemerlang, yang saya pikir penting adalah mempunyai pemikiran yang kreatif untuk memecahkan persoalan. Lebih bagus lagi apabila berpikir kreatif mulai dilatih sejak dini, sejak masa kanak-kanak.

Meraih masa depan cemerlang bukan hanya soal kita menikah di usia ideal, mempunyai pekerjaan tetap, mempunyai gaji tetap, mempunyai rumah sendiri. Menurut saya yang lebih penting lagi adalah mempersiapkan diri untuk berpikir dan menemukan solusi kreatif yang mungkin akan kita hadapi kelak.

Meskipun umur ideal untuk menikah di tetapkan untuk wanita berusia 20 tahun dan laki-laki 25 tahun, akan lebih baik lagi apabila  dari keluarga juga sudah menyiapkan anak perempuan dan anak lelakinya supaya saat mereka berumah tangga dan berkeluarga tidak akan kaget atau shock menemukan setiap masalah rumah tangga yang mungkin timbul.

Contoh kehidupan dari orang tua juga sangat penting. Misalnya orang tua yang kehidupan rumah tangganya harmonis, pasti akan menginspirasi anak-anaknya untuk meniru kehidupan yang harmonis dan langgeng seperti orang tua mereka.

Selain itu, pendapatan orangtua atau jumlah pendapatan/penghasilan dalam sebuah keluarga yang cukup  akan memperbesar kemungkinan anak-anak dari keluarga tersebut bersekolah ke jenjang pendidikan yang setinggi mungkin. Pengapatan keluarga juga berperan sangat penting.

Tingkat pendidikan yang rendah berpotensi bagi anak-anak, khususnya anak-anak perempuan untuk lebih memilih menikah di usia yang relatif sangat muda. Dengan anggapan untuk mengurangi biaya atau mulut yang harus di beri makan sehingga mereka berkorban untuk menikah.

Apabila anak-anak perempuan menikah di usia yang masih sangat muda, mengurus diri sendiri pun mereka belum tahu caranya, bagaimana mereka akan mengurus suami dan anak-anaknya? Bukankah akan lebih banyak lagi lahir generasi yang kurang berkualitas di masa depan ?

Tingkat pendidikan yang rendah juga berpotensi untuk ibu hamil dan bayi mengalami gizi buruk. Mereka kurang paham dan mungkin tidak tahu seperti apa makanan yang mengandung vitamin dan gizi yang baik. Yang penting perut kenyang. 

Tingkat pendidikan yang rendah juga menyebabkan mereka mendapatkan pekerjaan dan gaji yang kurang layak. Pendapatan yang kurang layak, sekali lagi, berimbas terhadap kesehatan dan juga kecukupan terpenuhinya edukasi bagi keluarga.

Saat kita menginginkan dan mengangankan generasi masa depan kita membaik, membaik secara ekonomi, membaik secara moral, hendaklah kita memulainya dari sekarang, dari keluarga kita sendiri.

Agar supaya anak-anak kita kelak mendapatkan contoh dan bukti hidup bahwa masa depan cemerlang itu memang ada dan layak untuk di perjuangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun