“Alhamdulillah, Gapoktan Sumber Makmur dua kali musim panen produktivitas padi meningkat tajam dan bahkan tertinggi di Cilacap, kini setiap satu hektar bisa mencapai 9,5 ton dibandingan tiga tahun yang lalu paling 4,5 Ton/HA.” ungkap Darjo dengan bangga. Tentu keberhasilan ini tidak lepas dari adanya Rubuha dalam jumlah yang ideal di areal persawahan hingga aman dari serangan hama tikus.
Keberhasilan tersebut menjadi kebanggaan tersendiri bagi KPw BI Purwokerto sebagai Team Pengendali Inflasi Daera (TPID) turut memberi dukungan serta membantu Rubuha, tidaklah sia-sia. Dengan kenaikan produktivitas padi petani turut serta mengendalikan inflasi daerah, sebagaimana diungkapkan Kepala Unit Komunikasi dan Koordinasi Kebijakan KPw BI Purwokerto, Djoko Juniwarto dalam setiap kesempatan “Program Rubuha Tyto Alba predator alami hama Tikus, jelas sangat membantu pemerintah dalam mengendalikan inflasi dari sektor pertanian terutama komponen beras yang memiliki andil cukup besar, bahkan sudah kami reduplikasi di berbagai desa di Banyumas,” ungkapnya.
Namun, setelah Rubuha terpasang ternyata tidak serta merta si Tyto Alba mau menempati sarangnya, burung unik ini sebelum menempati sarangnya beserta pasangan setianya, terlebih dahulu mengamati dan menjadikan tempat singgah dahulu. Proses alami ini perlu waktu agak lama.
“Tak ada jalan lain untuk mempercepat proses penghunianya kami memindahkan sepasang indukan sekaligus beserta anaknya,” ungkap Darjo. Lebih lanjut Darjo mengungkapkan ternyata lebih efektif karena mau tidak mau sepasang indukan akan kembali ke Rubuha untuk memberi makan anaknya dalam kurun waktu 4 bulan, akhirnya secara alami terbiasa dengan sarang barunya.
Ternyata persoalannya belum tuntas, mengingat setiap tahun masa kawin dan bertelor si Tyto Alba pada bulan April dan September, setelah itu anaknya dirawat hingga usia 4 bulan. Persoalan baru timbul, setelah anaknya pandai terbang oleh induknya diusir dari kandangnya supaya mandiri, namun yang terjadi sering dijumpai anak Tyto Alba muda jatuh di bawah kandang. Lalu rekan petani yang mengetahui, menangkap mereka dan menyerahkan anakan Tyto Albanya, sebagaimana didukung dengan adanya Peraturan Desa (PERDES) Maos Kidul, berupa larangan berburu dan menangkap Tyto Alba yang ditemukan.
“Lagi-lagi hal ini menginspirasi kami dan dibantu KPw BI Purwokerto untuk membuat penangkaran guna menampung anakan Tyto Alba yang terlantar, sebelum mereka mampu berburu secara mandiri,” ujar Darjo yang berpegang pada ‘Komunikasi – Koordinasi – Solusi’ dalam mengatasi masalah, membawa berkah, gayung pun bersambut KPw BI Purwokerto menyalurkan bantuan sebesar Rp 50 juta tunai guna membangun penangkaran tersebut.
Keberhasilan Darjo dan kawan-kawan, menarik berbagai kalangan dari berbagai daerah, mereka pada datang bertamu mulai dari kelompok tani, perguruan tinggi, Mahasiwa serta anak-anak SMA dan SMK Pertanian. Kini banyak desa yang meminta Darjo membuatkan Rubuha dengan isinya.
Bahkan keberhasilan Tyto Alba sebagai salah satu ‘pasukan’ pengendali inflasi, mendorong KPw BI Purwokerto untuk mereduplikasi serupa di wilayah lainnya, “Kami mereplikasi di Enam Desa di Banyumas, dengan jumlah rata-rata 12 unit di setiap desa,” ungkap Djoko, dan salah satu realisasi sudah saya tulis klik disini.