Mohon tunggu...
Singgih S
Singgih S Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Tani Kebun di Desa Cimayasari, Subang.

Omo Sanza Lettere Disini http/www.kompasiana.com/satejamur

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Sudarjo Pawang Tyto Alba si Pengendali Inflasi Daerah

11 Agustus 2016   13:09 Diperbarui: 11 Agustus 2016   14:18 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Depan Rumah Darjo (tengah) rimbun pohon Pare, 9/8/2016 (dokpri)

Sudarjo (65) perawakannya kecil tinggi dengan kulit coklat tua, ramah dan berprofesi petani, merangkap Pawang Tyto Alba dan seabreg aktivitas dengan menjabat Ketua di 12 (dua belas) kegiatan kemasyarakatan, seperti Ketua Gapoktan Sumber Makmur, Ketua Pertanian Desa dan Kecamatan, Ketua Irigasi Kecamatan, Ketua RW dan lainnya di lingkup Kecamatan Maos Kidul.

Darjo, demikian ia dipanggil, tinggal di Desa Maos Kidul, di mana warganya bisa dikatakan 90% petani turun-temurun dan letak areal persawahan mereka sangat ideal di tepian irigasi Sungai Serayu. Namun, letak ideal tersebut tidak menjamin kesejahteraan petaninya, salah satu penyebab dikarenakan hama tikus atau Ratus agentiventer hantu paling menakutkan bagi para petani. Betapa tidak, satu musim tanam padi bila terserang dapat turun hingga 40%–60% bahkan bisa tidak panen.

Tentu, berbagai upaya para petani mengatasi hama tikus sejak jaman dahulu kala tidak pernah membuahkan hasil, seperti gropyokan, menggunakan belerang, racun, dan mercon selalu tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Bahkan sering terjadi serangannya malah semakin ganas. Pun demikian dengan irigasi yang baik, benih unggul, dan metode tanam yang baik ternyata tidak juga menjamin hasil panen, sering kali ludes diserang tikus

“Awal mula saya tahu ada Tyto Alba pemburu dan pemakan tikus secara tidak sengaja, ketika saya ‘lalar’ kontrol ke sawah selepas Magrib, sering mendengar suara wuzzz... diikuti suara cicit tikus ketakutan dan pada pagi hari di bawah tower listrik ditemukan bangkai tikus, lantas pada saat pertemuan rutin Kelompok tani saya usulkan membuat kandang ala kadarnya, sampai akhirnya kami mendapatkan pelatihan dan informasi cara memelihara Tyto Alba jenis Serak Jawa predator alami hama tikus,” ungkap Darjo mengenang awal mula ‘ngopeni’ menangkar Tyto Alba, tiga tahun yang lalu dan burung hantu selalu ia panggil Tyto Alba.

Tyto Alba jenis serak jawa dikenal juga dengan nama burung Hantu Barn termasuk hewan nocturnal yang sangat setiap dengan pasangannya serta tempat tinggalnya, namun tak bisa membuat sarang sendiri, mereka bersarang di rumah-rumah besar yang kosong dan di lubang-lubang yang tak jauh dari lokasi persawahan.

Semenjak saat itulah, Darjo dan kawan-kawannya membuat kandang ala kadarnya agar mereka dapat bersarang dekat persawahan, maka dibuatlah kadang yang sederhana terbuat dari bambu dan kotak kayu bekas di tengah persawahan, yang dikenal dengan nama Rumah Burung Hantu (Rubuha)

“Dikarenakan rubuha tidak permanen, belum genap satu tahun sudah mulai rusak terkena hujan dan panas serta diterpa angin, sehingga Tyto Alba kembali bersarang di rumah-rumah gedung yang kosong yang jaraknya cukup jauh dari lahan sawah, Tikus-tikus mulai mengganjang kembali tanaman padi,” keluh Darjo.

Membuat sarang burung Hantu (Rubuha) tidak semudah dibayangkan, Darjo beserta kawan-kawan mencari referensi ke sana-sini agar rubuha efektif dan si Tyto Alba betah tinggal di dalamnya. Tiang harus terbuat dari beton dan pondasi cakar ayam, mengingat tanah sawah yang lembek. Tinggi tiang 4 meter dari permukaan tanah. Kandang terbuat dari kayu dilapis kawat streaming dan disemen agar tidak panas di siang hari.

“Saat kami sedang dipusingkan dana guna membuat Rubuha secara permanen, tiba-tiba datang utusan dari Kantor Perwakilan (KPw) BI Purwokerto, kami diberi bantuan 40 unit Rubuha permanen di tengah sawah dan tidak lama kemudian giliran Pertamina Cilacap ikut membantu membuatkan Rubuha,” ujar Darjo Ketua Gapoktan Sumber Makmur, sembari tersenyum.

“Tyto Alba ini satwa malam hari, yang istirahat pada siang hari dan tidak senang terpapar sinar Matahari, maka pintu masuknya harus menghadap ke utara atau selatan, ditempatkan di tempat strategis di tengah sawah, guna menghindari gangguan manusia dan kebisingan, jarak antar rubuha antara 50 – 70 meter sehingga daerah teritorial perburuannya terbagi rata,” ungkapnya.

Saat ini, total ada sekitar 70 unit Rubuha permanen yang menjadi sarang sekitar 140 Tyto Alba guna mengamankan hamparan sawah petani dari serangan hama tikus. Mengingat seekor Tyto Alba mampu mengontrol lebih kurang 3 hektare sawah. Ini berarti kurang lebih 300 HA dapat terbebas dari serangan hama tikus.

“Alhamdulillah, Gapoktan Sumber Makmur dua kali musim panen produktivitas padi meningkat tajam dan bahkan tertinggi di Cilacap, kini setiap satu hektar bisa mencapai 9,5 ton dibandingan tiga tahun yang lalu paling 4,5 Ton/HA.” ungkap Darjo dengan bangga. Tentu keberhasilan ini tidak lepas dari adanya Rubuha dalam jumlah yang ideal di areal persawahan hingga aman dari serangan hama tikus.

Keberhasilan tersebut menjadi kebanggaan tersendiri bagi KPw BI Purwokerto sebagai Team Pengendali Inflasi Daera (TPID) turut memberi dukungan serta membantu Rubuha, tidaklah sia-sia. Dengan kenaikan produktivitas padi petani turut serta mengendalikan inflasi daerah, sebagaimana diungkapkan Kepala Unit Komunikasi dan Koordinasi Kebijakan KPw BI Purwokerto, Djoko Juniwarto dalam setiap kesempatan “Program Rubuha Tyto Alba predator alami hama Tikus, jelas sangat membantu pemerintah dalam mengendalikan inflasi dari sektor pertanian terutama komponen beras yang memiliki andil cukup besar, bahkan sudah kami reduplikasi di berbagai desa di Banyumas,” ungkapnya.

Namun, setelah Rubuha terpasang ternyata tidak serta merta si Tyto Alba mau menempati sarangnya, burung unik ini sebelum menempati sarangnya beserta pasangan setianya, terlebih dahulu mengamati dan menjadikan tempat singgah dahulu. Proses alami ini perlu waktu agak lama.

“Tak ada jalan lain untuk mempercepat proses penghunianya kami memindahkan sepasang indukan sekaligus beserta anaknya,” ungkap Darjo. Lebih lanjut Darjo mengungkapkan ternyata lebih efektif karena mau tidak mau sepasang indukan akan kembali ke Rubuha untuk memberi makan anaknya dalam kurun waktu 4 bulan, akhirnya secara alami terbiasa dengan sarang barunya.

Ternyata persoalannya belum tuntas, mengingat setiap tahun masa kawin dan bertelor si Tyto Alba pada bulan April dan September, setelah itu anaknya dirawat hingga usia 4 bulan. Persoalan baru timbul, setelah anaknya pandai terbang oleh induknya diusir dari kandangnya supaya mandiri, namun yang terjadi sering dijumpai anak Tyto Alba muda jatuh di bawah kandang. Lalu rekan petani yang mengetahui, menangkap mereka dan menyerahkan anakan Tyto Albanya, sebagaimana didukung dengan adanya Peraturan Desa (PERDES) Maos Kidul, berupa larangan berburu dan menangkap Tyto Alba yang ditemukan.

“Lagi-lagi hal ini menginspirasi kami dan dibantu KPw BI Purwokerto untuk membuat penangkaran guna menampung anakan Tyto Alba yang terlantar, sebelum mereka mampu berburu secara mandiri,” ujar Darjo yang berpegang pada ‘Komunikasi – Koordinasi – Solusi’ dalam mengatasi masalah, membawa berkah, gayung pun bersambut KPw BI Purwokerto menyalurkan bantuan sebesar Rp 50 juta tunai guna membangun penangkaran tersebut.

Penangkaran Alba Tyto di Maos Kidul, Selasa 9/8/2016 (dokpri)
Penangkaran Alba Tyto di Maos Kidul, Selasa 9/8/2016 (dokpri)
Kini penangkaran berdiri dengan megah di belakang balai desa Maos Kidul, luas 6 x 9 meter, tinggi 7 meter dan dilengkapi pula dengan tempat logistik/persediaan berupa tikus hidup makanan Tyto Alba muda sebelum mereka mampu mandiri berburu, mengingat sifat mereka yang kanibal bila kekurangan persediaan makanannya.

Darjo sedang menunjukkan lobang memasukkan Tikus di tempat logistik (dokpri)
Darjo sedang menunjukkan lobang memasukkan Tikus di tempat logistik (dokpri)
Dalam kandang ada 8 ekor Tyto Alba, yang terlihat 3 ekor berumur 2,5 bulan sedang lima ekor ada di kandang atas. Mereka sedang ditangani oleh Darjo bertindak sebagai pawangnya hingga tiba saatnya siap mereka akan dilepas mengawal areal sawah dari serangan hama tikus untuk ketahanan pangan.

Darjo menunjukkan 3 ekor Tyto Alba muda calon predator tikus (dokpri)
Darjo menunjukkan 3 ekor Tyto Alba muda calon predator tikus (dokpri)
Gapoktan Sumber Makmur mengelola Rubuha sebagai predator alami hama tikus dan penangkaran Tyto Alba menjadikan Desa Maos Kidul, Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap ini mulai terkenal sebagai sentra Tyto Alba jenis Serak Jawa.

Keberhasilan Darjo dan kawan-kawan, menarik berbagai kalangan dari berbagai daerah, mereka pada datang bertamu mulai dari kelompok tani, perguruan tinggi, Mahasiwa serta anak-anak SMA dan SMK Pertanian. Kini banyak desa yang meminta Darjo membuatkan Rubuha dengan isinya.

Bahkan keberhasilan Tyto Alba sebagai salah satu ‘pasukan’ pengendali inflasi, mendorong KPw BI Purwokerto untuk mereduplikasi serupa di wilayah lainnya, “Kami mereplikasi di Enam Desa di Banyumas, dengan jumlah rata-rata 12 unit di setiap desa,” ungkap Djoko, dan salah satu realisasi sudah saya tulis klik disini.

Lebi lanjut Djoko menginformasikan dalam waktu dekan akan ada Rubuha baru di Desa Pegalongan, Kecamatan Patikraja, “Di Pegalongan tanggal 23 Agustus 2016, pukul 09.00 WIB akan panen raya padi metode Hazton seluas 10 HA dan sekaligus peletakan batu pertama RUBUHA,” pungkasnya. Purwokerto, 11/8/2016 (SS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun