Pembangunan suatu bangsa dapat ditilik dari suatu kepemilikan sumber daya baik sumber daya alam, maupun sumber daya manusia. Kedua sumber daya ini amatlah penting dalam menunjukan keberhasilan suatu bangsa. Akan tetapi, kualitas sumber daya manusia memiliki peranan yang amat penting dalam pembangunan suatu bangsa. Salah satu usaha dalam memperbaiki kualitas sumber daya manusia ini, dapat dilaksanakan pada sektor pendidikan.
Pendidikan adalah suatu usaha sistematis serta sadar dalam mengembangkan kecakapan setiap individu. Selain itu, pendidikan memberika pelatihan yang dapat mempersiapkan setiap individu untuk bertindak dalam mengetahui perannya pada wilayah masyarakat (Pratomo, Imam Catur. & Herlambang, 2021). Jika melihat pendapat (Darman, 2017) Pendidikan sangat penting bagi setiap individu, pendidikan mampu menciptakan manusia yang berintelek, cendekiawan, serta mampu berpikir secara ilmiah juga memupuk pengembangan karakter kerohaniannya.
Menilik kapasitasnya pendidikan merupakan aspek krusial untuk perseorangan ataupun kelompok dalam mengoptimalkan Sumber Daya Manusia (SDM) sebab, pendidikan dapat memberikan otoritas penuh dalam pertumbuhan bangsa dan negara, selain mempengaruhi produktivitas pendidikan pula dapat mempengaruhi institusi publisitas, menurut penuturan (Arwildayanto, 2018). Maka dari itu, pendidikan adalah salah satu aspek fundamental ketika membangun peradaban bangsa kearah yang lebih baik dan pada pengaplikasiannya perlu dimaksimalkan dalam manifestasi serta ekskalasi mutu kualitasnya.
Hal ini pula, telah diatur dalam konstitusi negara yang berbunyi, bahwasanya setiap warga negara Indonesia memiliki hak dalam mengakses pendidikan. Selain itu, mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan salah satu hajat Indonesia yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Dalam membangun peradaban bangsa serta menggapai kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, pemerataan pendidikan sepatutnya menjadi tonggak utama dalam pembangunan nasional. Pemerataan pendidikan serta segala aspek penunjang menjadi sebuah perkara yang perlu dioptimalkan oleh pemerintah. Namun, selain pemerataan pendidikan. Kualitas pada suatu pendidikan sepatutnya menjadi sorot perhatian. Karena, pendidikan yang berkualitas dapat menjadi tumpuan dalam kemajuan bangsa, pendidikan bukan hanya semata - mata sebagai ‘agent of change’ akan tetapi ikut berpartisipasi aktif dalam menyukseskan bangsa, serta menjadi ‘agent of producer’ yang nantinya akan melaksanakan perubahan serta melahirkan transfigurasi nyata. Pendidikan tidak hanya mengacu pada pendidikan formal, akan tetapi ada pula pendidikan non formal yang dapat membentuk kerangka berpikir serta karakteristik individu agar menjadi seseorang yang inovatif dan berkualitas juga mendorong kreativitas.
Akan tetapi, jika menilik kenyataan yang kini tengah terjadi sangat berbanding terbalik dengan hajat bangsa Indonesia. Dimana ketimpangan pendidikan terjadi diberbagai daerah di Indonesia. Salah satunya yakni, ketimpangan pendidikan di tanah Papua. Ketimpangan ini dapat terjadi akibat tidak meratanya kondisi pendidikan antar daerah di Indonesia khususnya pada daerah Papua. Ketimpangan pendidikan pula terjadi disetiap tingkatan yakni tingkat SD, SMP, SMA, SMK dan Perguruan Tinggi. Ketimpangan tersebut dapat kita amati bahwa pembangunan serta kualitas pendidikan lebih difokuskan pada satu titik yakni Pulau Jawa. Terdapat banyak sekali fenomena yang menunjukan ketimpangan pendidikan yang amat besar antara Pulau Jawa dan Pulau Papua. Apabila dilihat dari berbagai aspek ketimpangan pendidikan, dapat diamati bahwasannya mutu pendidikan di Pulau Jawa lebih unggul karena ditunjang dengan berbagai faktor diantaranya seperti fasilitas pendidikan serta keterbukaan akses informasi dan tenaga pendidik yang mumpuni juga kompeten dibidangnya. Hal ini berbanding terbalik dengan kualitas pendidikan di Pulau Papua, dimana fasilitas pendidikan serta keterbukaan akses informasi sangat sulit untuk didapatkan serta kurangnya tenaga pendidikan yang berkompeten dibidangnya pada setiap tingkatan pendidikan di Papua. Padahal Papua sendiri adalah pulau yang wilayahnya memiliki Sumber Daya Alam yang amat melimpah dan sepatutnya dapat dipergunakan oleh masyarakatnya dalam mengoptimalkan martabat hidup kearah yang lebih baik. Tetapi, hal tersebut tidak mampu dilaksanakan oleh masyarakatnya diakibatkan kualitas pendidikan yang kurang baik. Serta dapat disaksikan pada tingkat keikutsertaan sekolah yang masih rendah. Disisi lain, masyarakat mengalami berbagai persoalan dalam mengakses pendidikan yang layak, jika meninjau dari kondisi tipologi wilayah Papua yang masih berupa pengunungan serta hutan belantara, guru yang terdapat di Papua banyak yang belum memiliki standar kapabilitas pendidikan yang sepatutnya, hal tersebut mengakibatkan pendidikan tersebut belum berkualitas.
Menurut data pada BPS Provinsi Papua tahun 2021, penduduk Papua yang tidak mempunyai ijazah sekolah pada rentang usia 15 tahun ke atas sejumlah 33,58%. APK pada jenjang SD di Papua menduduki kedudukan paling rendah dengan persentase 94,69%. Selanjutnya APK SMP sebanyak 80,66%. Dan disusul dengan APK jenjang SMA sebesar 63,81%. Rendahnya keikutsertaan masyarakat dapat diakibatkan pada sejumlah persoalan, salah satunya yakni aspek ketidakcocokan pola pendidikan juga pemahaman masyarakat. Masyarakat Papua sukar dalam memaknai faedah belajar serta berhitung di sekolah. Cara berfikir mengenai Pendidikan di Papua hanya mengacu pada perolehan gelar yang nantinya akan bekerja sebagai PNS belaka. Wahana Visi Indonesia menyatakan bahwa angka pernikahan anak masih melambung tinggi di Papua, yakni menyetuh angka 24,71%. Pernikahan merupakan suatu hambatan kebudayaan serta menjadi pemicu tingginya angka putus sekolah pada masyarakat Papua. Selain itu, terdapat beberapa daerah yang memiliki budaya dimana, anak – anak harus membantu orang tuanya berburu dan mengumpulkan hasil bumi. Hal tersebut telah menjadi tradisi secara turun-temurun.
Selain faktor internal yang dapat mempengaruhi ketimpangan serta kualitas pendidikan di Papua. Faktor eksternal pula memiliki peranan yang cukup penting dalam pembangunan kualitas pendidikan di Papua, beberapa faktor ekternal yang dapat menjadi barikade pendidikan di Papua yakni kurangnya daya tampung persiapan, penganggaran, pemeriksaan, dan pemeringkatan pemerintah pada pendidikan, kelangkaan guru serta fasilitas pembelajaran yang berkualitas, kawasan belajar yang tidak menyokong, dan transfer tenaga pendidik yang kurang merata juga kesukaran guru supaya dapat hadir secara penuh (Bappeda Papua Barat, 2015).
Selain itu, sesuai pada mandat Konstitusi Amandemen UUD 1945 serta dinyatakan pula pada UU NO. 20 Tahun 2003 Pasal 49 Ayat (1), yakni dana pendidikan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN dan minimal 20 persen dari APBD. Dengan kata lain, pemerintah memfokuskan pertumbuhan raihan pendidikan di Papua, yang kedepannya dapat menjadi jembatan pada kesenjangan budaya pada masyarakat melalui budaya belajar di sekolah.
Pendidikan
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 pasal 1, butir 1, ditetapkan bahwasanya pendidikan merupakan upaya sadar secara sistematis dalam memanifestasikan situasi serta proses pembelajaran supaya siswa dapat berperan aktif dalam mengembangkan dan mengoptimalkan kecakapan dirinya agar mempunyai vitalitas spiritual keagamaan, otoritas atas dirinya sendiri, persona, akhlak mulia, serta keahlian yang nantinya akan dibutuhkan dirinya, penduduk, bangsa, dan negara. Apabila menilik titah dari UU No. 20 Tahun 2003. Siswa diminta untuk memiliki peranan yang aktif dalam mengoptimalkan potensi agar mempunyai kapasitas spiritual keagamaan, sanggup mengendalikan diri, memiliki karakter yang kuat, akhlak yang mulia dan keahlian yang digunakan yang memiliki keterlibatan terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Pribadi.2017: 922).
Persoalan Ketimpangan Pendidikan di tanah Papua
Salah satu persoalan yang kini menjadi sorotan pada bangsa ini yakni ketimpangan serta perbedaan kualitas pendidikan di beberapa wilayah Indonesia. Capaian kualitas pendidikan saat ini hanya dapat dinikmati oleh segelintir masyarakat Indonesia yakni masyarakat kalangan atas, masyarakat kota, dan masyarakat yang menduduki daerah pusat pemerintahan. Sebaliknya, masyarakat kalangan bawah, masyarakat daerah pelosok, dan masyarakat yang kurang diperhatikan dari segi pembangunannya tidak dapat menikmati akses Pendidikan yang layak. Hal ini amat dirasakan oleh masyarakat Papua. Didukung dengan data yang diambil dari BPS pada tahun 2020 bahwa sekitar 21,1% pemuda di Papua tidak bersekolah dan mendapatkan akses pendidikan yang layak dan menimbulkan ketimpangan pendidikan di Papua serta menjadi barikade pembangunan kualitas pendidikan di tanah Papua sendiri.
Ketimpangan pendidikan merupakan persoalan yang akan terus terjadi jika tidak segera diantisipasi. Ketimpangan Pendidikan dapat berdampak dengan jangka waktu cukup panjang karena Pendidikan adalah salah satu perspektif dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Jika hal tersebut berlarut - larut serta tidak segera diantisipasi maka taraf kehidupan masyarakat Papua akan semakin menurun.
Ketimpangan pendidikan ini dapat disebabkan oleh berbagai persoalan diantaranya: pertama; fasilitas pendidikan yang kurang memadai di papua yang dapat mempengaruhi proses belajar dan mengajar. Selain itu jika melihat dari aspek psikologi, sarana dan prasarana yang memadai dapat menjadi pemicu motivasi bagi para pelajar dalam melaksanakan kegiatan pendidikan. Kedua; jika diamati dari segi geografis baik dari letak maupun luas wilayahnya maka mutu pendidikan di Papua akan sangat heterogen antara wilayah kota, desa, pesisir, serta pedalaman di tanah Papua. Ketiga; sukarnya akses untuk mendapatkan pendidikan baik dari segi fasilitas di sekolah maupun segi infrastruktur wilayah karena pembangunan infrastruktur di wilayah Papua sendiri masih belum merata serta belum terlalu diperhatikan oleh pemerintah pusat. Berkaca pada kenyataan akses untuk masyarakat Papua dalam menempuh perjalanan dari rumahnya ke sekolah membutuhkan waktu yang lama serta melalui jalan yang sulit dijangkau. Hal ini dapat berdampak pada psikologi masyarakat Papua terhadap motivasi belajar, karena untuk berangkat sekolah saja masyarakat Papua memerlukan waktu yang cukup lama serta terkendala oleh akses infrastruktur wilayahnya Keempat; heterogennya etnis serta latar belakang yang yang banyak dapat berdampak terhadap kultural masyarakat yang dapat mempengaruhi masyarakat untuk menjadi seseorang yang berpendidikan. Kelima kurangnya tenaga pendidik di tanah Papua dari sisi kualitas ataupun kuantitas yang mampu mempengaruhi pembangunan kualitas pendidikan di Papua itu sendiri. Ketujuh; tuntutan pemerintah pusat dalam melaksanakan kurikulum secara nasional akan tetapi tuntutan tersebut tidak disesuaikan dengan kemampuan masyarakat Papua itu sendiri Kedelapan; pengalokasian dana pendidikan dari pemerintah yang kurang merata dan banyak yang tidak tepat sasaran serta masih banyak lagi beberapa faktor yang menyebabkan ketimpangan pendidikan di tanah Papua dalam upaya pembangunan kualitas pendidikan tersebut.
Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No. 20 tahun 2003 tentang mengenai Pendidikan Nasional Pasal 45 menyatakan bahwasanya setiap unit pendidikan menyiapkan sarana dan prasarana yang dapat mencukupi kebutuhan pendidikan yang setara dengan pertumbuhan serta perkembangan kecakapan fisik, kecerdikan intelektual, sosial, sentimental, dan psikologi siswa. Sarana dan prasarana pendidikan adalah salah satu aspek krusial yang mempengaruhi kualitas pendidikan. Hadirnya lingkungan yang menyokong pada proses pembelajaran dapat menghasilkan output baik yang diberikan oleh peserta didik. Namun pada kenyataannya, UU ini belum terlaksanakan dengan baik di Papua, jika merunut pada data Kemendikbud mengenai sarana dan prasarana pendidikan di Papua kurang dari 30% kondisi ruang kelas TA 20/21 di setiap tingkatan pendidikan mengalami kerusakan baik rusak ringan/sedang dan rusak berat. Dengan spesifikasi kerusakan tingkatan yang berbeda. Pada tingkat Sekolah Dasar kondisi ruang kelas TA 20/21 yang mengalami kerusakan baik rusak ringan/sedang menyentuh angka 8,11 persen, dilanjut pada jenjang SMP kondisi ruang kelas TA 20/21 yang mengalami kerusakan baik rusak ringan/sedang dengan persentase 16,29%. Tingkat SMApun tidak luput dari ketidalayakkan fasilitas pendidikan dengan kerusakan ruang kelas TA 20/21 yang rusak ringan/sedang sebesar terdapat pada angka 28,08%. Disusul dengan kerusakan ruang kelas pada tingkat SMK mengalami kerusakan ruang kelas TA 20/21 baik rusak ringan/sedang sebesar 16,67%.
Partisipasi masyarakat Papua dalam meningkatkan kualitas Pendidikan
Jika melihat dari faktor – faktor ketimpangan pendidikan di Papua. Terdapat pula faktor internal yang menjadi barikade pembangunan kualitas pendidikan pendidikan. Partisipasi serta peranan masyarakat dicantumkam dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 mengenai Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 atas Standar Nasional Pendidikan yang mengutarakan bahwasanya penyelengaraan unit pendidikan pada tingkatan pendidikan dasar dan menengah mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah (MBS) dengan adanya indikasi kebebasan, keadilan, transparansi, kemitraan, keikutsertaan, keefektifan, dan akuntabilitas (pertanggung jawaban). Akan tetapi, hingga saat ini penerapan tujuh aspek MBS pada setiap jenjang unit pendidikan, terutama partisipasi masyarakat (khususnya orang tua peserta didik) pada pengelolaan pendidikan masih sangat terbatas. Sementara keikutsertaan masyarakat umumnya terbatas pada sokongan keuangan, sedangkan sokongan lain semacam gagasan, moral, serta barang atau jasa sedikit mendapat atensi. Maka dari itu, sepatutya dilaksanakan usaha yang lebih bersunguh – sungguh dalam memperbaikinya, salah satunya yakni peninjauan kembali pada pengelolaan pendidikan dengan menyertakan kapasitas masyarakat melalui manajemen pengembangan mutu berbasis sekolah. Dengan kata lain, masyarakat dapat memberi dan melakukan banyak hal agar mendorong terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, mulai dari menggunakan layanan pendidikan yang ada.
Selain itu, mengubah paradigma berpikir pun harus segera dibenahi. Pembenahan dalam mengubah paradigma berpikir dapat laksanakan melalui peran guru, dengan cara menarik minat siswa dengan metode belajar yang menyenangkan serta mampu menciptakan budaya belajar yang kritis, inovatif, otonom, dan menyenangkan. Metode pendidikan secara menyenangkan ini dapat diawali dengan menciptakan suasa belajar yang positif baik secara fisik maupun sosial, lalu lebih menekankan praktik pedagogi dalam kegiatan pendidikan dimana metode Pendidikan yang membantu menyokong para siswa untuk mengekplorasi, berefleksi, dan berpikir kritis. Selanjutnya, membangun karakter siswa yang dilaksanakan melalui lingkungan ataupun media pembelajarannya dan yang terakhir melibatkan semua pihak supaya membantu menyukseskan skema serta proses pendidikan.
Gerakan ini merupakan salah satu gerakan dalam membangun kesadaran serta mengubah paradigma masyarakat menganai manfaat serta pentingnya pendidikan.
Peran Pemerintah dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan di Papua serta Meminimalisir Ketimpangan Pendidikan
Sama halnya dengan faktor internal, faktor ekternal pula turut ikut andil dalam upaya pembangunan kualitas pendidikan serta meminimalisir penyebab ketimpangan pendidikan di Papua. Salah satu faktor ekternal tersebut yakni, peran pemerintah. Mengacu pada Undang - Undang Dasar 1945 tahun 2001 dengan memberikan otonomi khusus kepada Papua. Serta ditegaskan kembali pada UU No. 21 Tahun 2001 menganai Otonomi Khusus untuk Papua pasal 56 mengenai Pendidikan ayat 1: Pemerintah Provinsi Papua memiliki beban mengenai pengelolaan pendidikan terhadap semua tingkatan pendidikan. Ayat 3: setiap penduduk Provinsi Papua mempunyai hak untuk menerima pendidikan yang berkualitas, sampai dengan jenjang pendidikan menengah serta kewajiban masyarakat yang serendah-rendahnya, Ayat 6: perwujudan telah diatur pada Peraturan Daerah Provinsi Papua, pendidikan disokong oleh pasal 36 ayat 2. Dimana 30% dari dana perimbangan di Provinsi Papua, pada tanggal 2 Maret 2009 diterbitkan Peraturan Gubernur No.5 Tahun 2009 (PerGub 5/2009). Peraturan tersebut memiliki hajat menganai pemenuhan biaya pendidikan bagi wajib belajar pendidikan dasar serta pengurangan biaya pendidikan untuk peserta didik orang asli papua pada tingkatan pendidikan menengah. Hal tersebut adalah suatu wujud tanggung jawab pemerintah dalam menumpas ketertinggalan pendidikan di Papua. Akan tetapi jika dilihat dari hasil lapangan mengenai distribusi APBD pada Otonomi Khusus Papua selama periode Otonomi Khusus, tahun 2007, anggaran pendidikan sekolah dasar sejumlah Rp.59,662.58, sedangkan pada tahun 2008 sejumlah Rp. 61.321,27. Anggaran - anggaran ini digunakan melaksanakan aktivitas - aktivitas yang telah ditetapkan dalam Perda 5/2006 serta Pergub 5/2009. Namun, terdapat beberapa skema aktivitas yang tidak menerima dana di tahun 2008 contohnya pembangunan gedung sekolah, penyediaan bantuan operasional sekolah (BOS) SD - SMP, pemerataan dan sosialisasi informasi pendidikan dasar, Penyediaan dan peredaran Blanko ijazah SD. Terdapatnya Peraturan Gubernur No 5/2009, berupa Program Wajib Belajar 9 Tahun. Pada Tahun 2009 dihibahkan kuota sebanyak Rp.83.883,838 miliar dari besaran anggaran yang ada hanya terpakai Rp.23.838,838 miliar sedangkan rasio dana yang ada belum dipublikasikan pembiaayaannya. Serupa dengan itu, pada tahun 2010, anggaran pendiikan dasar sebanyak 91.380,524 miliar. Anggaran tersebut habis digunakan dalam beberapa skema yang telah ditetapkan oleh pemerintah Papua. Jika ditotalkan maka penggunaan anggaran pendidikan dasar sebelum sampai sesudah Peraturan Gubernur berlaku dirasa belum optimal, karena terdapat anggaran yang belum jelas pengalokasiannya alibatnya terdapat kebutuhan yang tidak tepat sasarannya.
Selain peranan pemerintah dalam memberikan pengalokasian dana pendidikan, peran pemerintah dalam membangun infrastruktur yang dapat memudahkan akses masyarakat Papua untuk memperoleh pendidikan pula harus diperhatikan serta membuat kebijakan - kebijakan yang dapat mengurangi ketimpangan dan meningkatkan kualitas pendidikan di Papua, seperti memberikan bantuan pendidikan pada guru yang berada di papua untuk meningkatkan kompetensinya, mengirimkan tenaga pendidik yang berkompeten dan berkualitas ke papua, serta masih banyak lagi kebijakan pemerintah yang dapat membantu meningkatkan Pendidikan di Papua.
Ketimpangan Pendidikan di Papua terjadi akibat tidak meratanya akses Pendidikan pada beberapa wilayah di Indonesia. Ketimpangan ini harus segera diatasi, karena hal tersebut dapat berdampak terhadap kualitas pendidikan Papua itu sendiri. Selain itu, ketimpangan serta sukarnya akses pendidikan mempengaruhi motivasi belajar pada siswa Papua. Selanjutnya, peranan aktif masyarakat dan pemerintah dalam membangun kualitas pendidikan pula merupakan salah satu kunci penting agar jarak ketimpangan pendidikan semakin berkurang serta semakin meningkatnya kualitas pendidikan di Papua.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, pemerintah harus lebih berfokus atas penanggulangan ketimpangan tersebut karena, jika segera ditanggulangi maka akan menimbulkan efek terhadap kualitas Pendidikan SDM di Papua, selain itu dana alokasi yang diberikan harus lebih dipantau pengelolaannya serta membuat kebijakan - kebijakan yang mampu mengurangi potensi ketimpangan pendidikan di Papua.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistika. 2021. Indikator Pendidikan Provinsi Papua Tahun 2021. Papua: BPS
Hartati, Y.S. (2022). Analisis Ketimpangan Ekonomi Di Provinsi Papua. Jurnal Ekonomi dan Bisnis 14(2): 19 – 29.
Aldho Faruqi Tutukansa, A.F. dkk. (2022). Optimalisasi Peningkatan Kualitas Mutu Pendidikan Provinsi Papua Sebagai Daerah 3T di Indonesia. Jurnal Khazanah 14(2): 1 – 8.
Utama, Bakti. dkk. 2018. Peningkatan Akses dan Mutu Pendidikan Tingkat Sekolah Dasar di Provinsi Papua dan Papua Barat. Jakarta: Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sumber lain
Undang – Undang Dasar 1945.
Undang – Undang Republik Indonesia (UU RI).
No. 20 tahun 2003 tentang mengenai Pendidikan Nasional Pasal 45.
Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 mengenai Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 atas Standar Nasional Pendidikan.
UU No. 21 Tahun 2001 menganai Otonomi Khusus untuk Papua.
UU NO. 20 Tahun 2003 Pasal 49 Ayat (1) tentang APBN.
Peraturan Gubernur No.5 Tahun 2009.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H