Persoalan Ketimpangan Pendidikan di tanah Papua
Salah satu persoalan yang kini menjadi sorotan pada bangsa ini yakni ketimpangan serta perbedaan kualitas pendidikan di beberapa wilayah Indonesia. Capaian kualitas pendidikan saat ini hanya dapat dinikmati oleh segelintir masyarakat Indonesia yakni masyarakat kalangan atas, masyarakat kota, dan masyarakat yang menduduki daerah pusat pemerintahan. Sebaliknya, masyarakat kalangan bawah, masyarakat daerah pelosok, dan masyarakat yang kurang diperhatikan dari segi pembangunannya tidak dapat menikmati akses Pendidikan yang layak. Hal ini amat dirasakan oleh masyarakat Papua. Didukung dengan data yang diambil dari BPS pada tahun 2020 bahwa sekitar 21,1% pemuda di Papua tidak bersekolah dan mendapatkan akses pendidikan yang layak dan menimbulkan ketimpangan pendidikan di Papua serta menjadi barikade pembangunan kualitas pendidikan di tanah Papua sendiri.
Ketimpangan pendidikan merupakan persoalan yang akan terus terjadi jika tidak segera diantisipasi. Ketimpangan Pendidikan dapat berdampak dengan jangka waktu cukup panjang karena Pendidikan adalah salah satu perspektif dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Jika hal tersebut berlarut - larut serta tidak segera diantisipasi maka taraf kehidupan masyarakat Papua akan semakin menurun.
Ketimpangan pendidikan ini dapat disebabkan oleh berbagai persoalan diantaranya: pertama; fasilitas pendidikan yang kurang memadai di papua yang dapat mempengaruhi proses belajar dan mengajar. Selain itu jika melihat dari aspek psikologi, sarana dan prasarana yang memadai dapat menjadi pemicu motivasi bagi para pelajar dalam melaksanakan kegiatan pendidikan. Kedua; jika diamati dari segi geografis baik dari letak maupun luas wilayahnya maka mutu pendidikan di Papua akan sangat heterogen antara wilayah kota, desa, pesisir, serta pedalaman di tanah Papua. Ketiga; sukarnya akses untuk mendapatkan pendidikan baik dari segi fasilitas di sekolah maupun segi infrastruktur wilayah karena pembangunan infrastruktur di wilayah Papua sendiri masih belum merata serta belum terlalu diperhatikan oleh pemerintah pusat. Berkaca pada kenyataan akses untuk masyarakat Papua dalam menempuh perjalanan dari rumahnya ke sekolah membutuhkan waktu yang lama serta melalui jalan yang sulit dijangkau. Hal ini dapat berdampak pada psikologi masyarakat Papua terhadap motivasi belajar, karena untuk berangkat sekolah saja masyarakat Papua memerlukan waktu yang cukup lama serta terkendala oleh akses infrastruktur wilayahnya Keempat; heterogennya etnis serta latar belakang yang yang banyak dapat berdampak terhadap kultural masyarakat yang dapat mempengaruhi masyarakat untuk menjadi seseorang yang berpendidikan. Kelima kurangnya tenaga pendidik di tanah Papua dari sisi kualitas ataupun kuantitas yang mampu mempengaruhi pembangunan kualitas pendidikan di Papua itu sendiri. Ketujuh; tuntutan pemerintah pusat dalam melaksanakan kurikulum secara nasional akan tetapi tuntutan tersebut tidak disesuaikan dengan kemampuan masyarakat Papua itu sendiri Kedelapan; pengalokasian dana pendidikan dari pemerintah yang kurang merata dan banyak yang tidak tepat sasaran serta masih banyak lagi beberapa faktor yang menyebabkan ketimpangan pendidikan di tanah Papua dalam upaya pembangunan kualitas pendidikan tersebut.
Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No. 20 tahun 2003 tentang mengenai Pendidikan Nasional Pasal 45 menyatakan bahwasanya setiap unit pendidikan menyiapkan sarana dan prasarana yang dapat mencukupi kebutuhan pendidikan yang setara dengan pertumbuhan serta perkembangan kecakapan fisik, kecerdikan intelektual, sosial, sentimental, dan psikologi siswa. Sarana dan prasarana pendidikan adalah salah satu aspek krusial yang mempengaruhi kualitas pendidikan. Hadirnya lingkungan yang menyokong pada proses pembelajaran dapat menghasilkan output baik yang diberikan oleh peserta didik. Namun pada kenyataannya, UU ini belum terlaksanakan dengan baik di Papua, jika merunut pada data Kemendikbud mengenai sarana dan prasarana pendidikan di Papua kurang dari 30% kondisi ruang kelas TA 20/21 di setiap tingkatan pendidikan mengalami kerusakan baik rusak ringan/sedang dan rusak berat. Dengan spesifikasi kerusakan tingkatan yang berbeda. Pada tingkat Sekolah Dasar kondisi ruang kelas TA 20/21 yang mengalami kerusakan baik rusak ringan/sedang menyentuh angka 8,11 persen, dilanjut pada jenjang SMP kondisi ruang kelas TA 20/21 yang mengalami kerusakan baik rusak ringan/sedang dengan persentase 16,29%. Tingkat SMApun tidak luput dari ketidalayakkan fasilitas pendidikan dengan kerusakan ruang kelas TA 20/21 yang rusak ringan/sedang sebesar terdapat pada angka 28,08%. Disusul dengan kerusakan ruang kelas pada tingkat SMK mengalami kerusakan ruang kelas TA 20/21 baik rusak ringan/sedang sebesar 16,67%.
Partisipasi masyarakat Papua dalam meningkatkan kualitas Pendidikan
Jika melihat dari faktor – faktor ketimpangan pendidikan di Papua. Terdapat pula faktor internal yang menjadi barikade pembangunan kualitas pendidikan pendidikan. Partisipasi serta peranan masyarakat dicantumkam dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 mengenai Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 atas Standar Nasional Pendidikan yang mengutarakan bahwasanya penyelengaraan unit pendidikan pada tingkatan pendidikan dasar dan menengah mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah (MBS) dengan adanya indikasi kebebasan, keadilan, transparansi, kemitraan, keikutsertaan, keefektifan, dan akuntabilitas (pertanggung jawaban). Akan tetapi, hingga saat ini penerapan tujuh aspek MBS pada setiap jenjang unit pendidikan, terutama partisipasi masyarakat (khususnya orang tua peserta didik) pada pengelolaan pendidikan masih sangat terbatas. Sementara keikutsertaan masyarakat umumnya terbatas pada sokongan keuangan, sedangkan sokongan lain semacam gagasan, moral, serta barang atau jasa sedikit mendapat atensi. Maka dari itu, sepatutya dilaksanakan usaha yang lebih bersunguh – sungguh dalam memperbaikinya, salah satunya yakni peninjauan kembali pada pengelolaan pendidikan dengan menyertakan kapasitas masyarakat melalui manajemen pengembangan mutu berbasis sekolah. Dengan kata lain, masyarakat dapat memberi dan melakukan banyak hal agar mendorong terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, mulai dari menggunakan layanan pendidikan yang ada.
Selain itu, mengubah paradigma berpikir pun harus segera dibenahi. Pembenahan dalam mengubah paradigma berpikir dapat laksanakan melalui peran guru, dengan cara menarik minat siswa dengan metode belajar yang menyenangkan serta mampu menciptakan budaya belajar yang kritis, inovatif, otonom, dan menyenangkan. Metode pendidikan secara menyenangkan ini dapat diawali dengan menciptakan suasa belajar yang positif baik secara fisik maupun sosial, lalu lebih menekankan praktik pedagogi dalam kegiatan pendidikan dimana metode Pendidikan yang membantu menyokong para siswa untuk mengekplorasi, berefleksi, dan berpikir kritis. Selanjutnya, membangun karakter siswa yang dilaksanakan melalui lingkungan ataupun media pembelajarannya dan yang terakhir melibatkan semua pihak supaya membantu menyukseskan skema serta proses pendidikan.
Gerakan ini merupakan salah satu gerakan dalam membangun kesadaran serta mengubah paradigma masyarakat menganai manfaat serta pentingnya pendidikan.
Peran Pemerintah dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan di Papua serta Meminimalisir Ketimpangan Pendidikan