Selain itu, Human Basic Needs Theory yang dikemukakan oleh Maslow (1943) juga relevan dalam konteks akses informasi. Teori ini menekankan bahwa informasi merupakan komponen penting yang berhubungan langsung dengan beberapa kebutuhan dasar manusia. Pertama, partisipasi; manusia membutuhkan informasi untuk dapat berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Kedua, identitas dan pengakuan; kebebasan berekspresi membantu individu dalam menegaskan identitas mereka dan mendapatkan pengakuan dari orang lain. Ketiga, keamanan; akses terhadap informasi yang akurat dan terbuka dapat memberikan rasa aman dan stabilitas, serta mencegah penyalahgunaan kekuasaan atau kontrol berlebihan oleh negara.
SDG 16 Sebagai Dasar Tumpuan Kebijakan
Rekomendasi kebijakan ini berkaitan dengan program Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 16 yang berfokus pada Perdamaian, Keadilan, dan Institusi yang Kuat, serta menekankan pentingnya akses informasi dan kebebasan mendasar. Berdasarkan target SDG 16.10 (ICCROM, n.d.), dua area utama perlu diperhatikan. Pertama, perlu mengadopsi dan menerapkan jaminan konstitusional, undang-undang, dan kebijakan untuk akses publik terhadap informasi. Program yang sudah berjalan di Swedia, seperti Freedom of the Press Act yang diberlakukan sejak 1766, menunjukkan komitmen negara dalam hal ini. Rencana yang bisa diterapkan adalah pengembangan Swedish Government Open Data Portal, yang menyediakan akses informasi pemerintah secara terbuka. Kedua, mendukung kebebasan fundamental sejalan dengan hak asasi manusia, perjanjian, dan perundang-undangan nasional dan internasional. Swedia menjadi anggota aktif dari European Convention on Human Rights (ECHR), dan rencana yang bisa diterapkan termasuk peran Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA) dalam memfasilitasi dukungan akses informasi di negara lain.
Proses untuk meningkatkan akses publik terhadap informasi dan melindungi kebebasan mendasar di Swedia melibatkan berbagai langkah yang terintegrasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan lembaga internasional. Pertama, penerapan undang-undang yang memastikan akses informasi, seperti Freedom of the Press Act, memerlukan koordinasi antara pemerintah pusat dan lembaga legislatif. Keterlibatan kementerian terkait, seperti Kementerian Kehakiman Swedia, sangat penting dalam mengawasi implementasi regulasi tersebut dan memastikan bahwa semua departemen pemerintah mematuhi standar transparansi. Kedua, lembaga non-pemerintah seperti Transparency International dan Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA) berperan dalam memastikan bahwa informasi terbuka tidak hanya dapat diakses, tetapi juga dimanfaatkan secara efektif oleh warga negara dan masyarakat internasional. Pihak lain yang terlibat termasuk media dan jurnalis, yang berfungsi sebagai pengawas independen terhadap transparansi pemerintah. Di tingkat internasional, Swedia juga bekerja sama dengan organisasi seperti European Convention on Human Rights (ECHR) untuk memastikan bahwa kebijakan keterbukaan informasi mereka selaras dengan standar internasional. Adanya mekanisme pengaduan yang efektif juga menunjukkan adanya kolaborasi antara lembaga pemerintah dan lembaga pengawas independen untuk memastikan akuntabilitas yang tinggi.
Evaluasi program keterbukaan informasi di Swedia menunjukkan hasil yang sangat positif, seperti kecepatan respons permintaan informasi publik yang umumnya diproses dalam waktu yang cepat, dengan mayoritas permintaan dipenuhi dalam hitungan hari. Selain itu, kepuasan publik yang tinggi terlihat dari peringkat Swedia sebagai salah satu negara teratas dalam World Press Freedom Index, yang mencerminkan kepercayaan publik terhadap pemerintah yang tinggi akibat transparansi. Mekanisme pengaduan terkait akses informasi juga efektif dan cepat dalam menyelesaikan sengketa, memastikan akuntabilitas pemerintah. Untuk mengkomunikasikan program keterbukaan informasi, pemerintah Swedia memanfaatkan berbagai metode, seperti penggunaan media sosial dan platform daring melalui Swedish Government Open Data Portal, serta laporan tahunan yang memberikan ringkasan kinerja dalam akses informasi. Selain itu, pemerintah juga berkolaborasi dengan media dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk mempromosikan transparansi dan menyelenggarakan diskusi publik. Dalam konteks negara dengan tata kelola yang baik seperti Swedia, teori Good Governance lebih efektif karena fokusnya pada transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Sebaliknya, untuk negara otoriter seperti Korea Utara, teori Human Basic Needs menawarkan solusi yang lebih pragmatis untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, termasuk akses informasi sebagai bagian dari hak asasi.
Kesimpulan
Akses terhadap informasi dan kebebasan berekspresi adalah fondasi penting bagi masyarakat yang transparan dan demokratis. Perbandingan antara Swedia dan Korea Utara menggambarkan dua pendekatan yang sangat berbeda dalam hal pengelolaan akses informasi publik. Swedia, dengan sistem keterbukaan informasinya yang kuat seperti Freedom of the Press Act, memastikan bahwa warganya dapat dengan mudah mengakses informasi pemerintah. Ini berkontribusi pada pengawasan publik yang efektif, akuntabilitas, serta partisipasi masyarakat dalam proses politik dan sosial. Tingkat pendidikan dan partisipasi politik yang tinggi di Swedia juga mencerminkan bagaimana keterbukaan informasi mendukung perkembangan masyarakat yang lebih terdidik dan kritis. Sebaliknya, Korea Utara menerapkan kontrol ketat atas informasi, membatasi akses warganya terhadap media asing dan informasi yang tidak sejalan dengan narasi pemerintah. Penindasan terhadap kebebasan informasi ini memperkuat kontrol negara atas masyarakat, menciptakan isolasi intelektual dan keterbatasan pengetahuan bagi warganya. Dalam konteks komunikasi pembangunan, akses informasi yang terbuka memainkan peran penting dalam mendorong perubahan sosial. Di Swedia, informasi yang bebas mengalir mendorong partisipasi aktif warga dalam pengambilan keputusan publik, mempercepat proses pembangunan, dan memperkuat demokrasi. Sebaliknya, di Korea Utara, kontrol informasi yang ketat menghambat perubahan sosial dan memperkuat status quo, menghalangi warga untuk memperoleh perspektif yang lebih luas. Perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan akses informasi, sebagaimana diatur oleh perjanjian nasional dan internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, menjadi kunci untuk menjaga keseimbangan antara keamanan nasional dan kebebasan individu.
Kaitan erat dengan Sustainable Development Goal (SDG) 16, terutama target 16.10, sangat jelas dalam konteks ini. SDG 16 berfokus pada menciptakan perdamaian, keadilan, dan institusi yang kuat, yang salah satu aspeknya adalah memastikan akses publik terhadap informasi serta melindungi kebebasan mendasar. Swedia, dengan kebijakan keterbukaan informasinya yang sudah lama diterapkan, menjadi contoh negara yang berhasil mencapai target ini, di mana kebebasan informasi berkontribusi pada institusi yang transparan dan inklusif. Ini tidak hanya mendukung pembangunan berkelanjutan, tetapi juga memperkuat kepercayaan antara pemerintah dan warganya. Di sisi lain, Korea Utara, yang secara sistematis membatasi akses informasi dan kebebasan berekspresi, menunjukkan bagaimana pelanggaran terhadap prinsip ini berdampak negatif pada institusi negara dan partisipasi warga. Institusi yang tertutup dan represif seperti di Korea Utara bertentangan dengan tujuan SDG 16, karena mereka tidak menyediakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan sosial dan politik.
Daftar Pustaka
Banisar, D. (2006). Freedom of Information around the World: A Global Survey of Access to Government Information Laws. Privacy International.
BBC News.North Korea: “Rare footage shows teens sentenced to hard labour over K-drama.”https://www.bbc.com/news/world-asia-68015652
European Union Agency for Fundamental Rights. (2021). Fundamental Rights Report 2021.
Freedom House. (2023). Freedom in the World 2023. https://freedomhouse.org/country/sweden/freedom-world/2023