Penulis: Indri Ramadani, Fricilia Maeliani Jasmine, Rachel Griselda Gunawan, Salsa Nazwadila Sakri
Akses Publik terhadap Informasi menurut Komunikasi Pembangunan dan Perubahan Sosial
Akses publik terhadap informasi merupakan suatu hak dasar yang mendapat pengakuan baik pengakuan dalam negeri hingga pengakuan internasional atau yang biasa disebut sebagai kesepakatan internasional. Akses publik terhadap informasi diartikan sebagai suatu kebebasan individu untuk mendapatkan informasi yang relevan dari berbagai sumber seperti instansi pemerintahan ataupun instansi publik lainnya sesuai dengan prinsip keterbukaan dan transparansi yang harus dijamin pengaksesannya oleh setiap individu. Adanya perlindungan terhadap kebebasan mendasar ini mencakup kebebasan/hak untuk mengetahui dan kebebasan untuk berekspresi, yang dimana hal tersebut diatur oleh undang-undang dari dalam negeri maupun undang-undang internasional seperti adanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menegaskan bahwa hak atas informasi diakui sebagai bagian dari kebebasan berekspresi setiap individu (United Nations, 1948). Selain adanya undang-undang internasional terdapat juga undang-undang nasional yang didalamnya mengatur tentang bagaimana pemerintah harus memberikan transparansi dalam informasi yang mampu diakses oleh setiap orang agar mengetahui perkembangan pemerintahan di negara tersebut. Upaya yang dilakukan agar dapat memastikan akses terhadap informasi yang akurat dan tidak adanya keberpihakan sangatlah penting untuk memperkuat akuntabilitas, demokrasi, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik dan menjamin setiap orang mengetahui informasi yang memberikan pengaruh terhadap kehidupan mereka seperti adanya kebijakan-kebijakan mengenai lingkungan, publik, ataupun kebijakan yang membahas masalah lainnya (Banisar, 2006).
Urgensi dibahasnya tema ini berkaitan dengan peran informasi itu sendiri dalam komunikasi pembangunan. Karena komunikasi pembangunan merupakan suatu konsep yang memiliki fokus terhadap penggunaan komunikasi sebagai suatu alat untuk mampu memfasilitasi perubahan sosial dengan memastikan bahwa setiap informasi dapat mengalir secara transparan antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi. Dimana informasi yang ada bersifat terbuka dan dapat secara mudah diakses oleh setiap individu untuk memahami berbagai isu pembangunan, menuntut akuntabilitas dari pemerintah ataupun lembaga lainnya, dan membuat masyarakat berpartisipasi secara aktif dalam memahami isu-isu terkait dengan pemerintahan yang ada. Dalam konteks komunikasi pembangunan, akses terhadap informasi sendiri mendorong percepatan proses perubahan sosial, mendorong keterlibatan masyarakat dalam memberikan kebijakan yang lebih berkelanjutan dan inklusif, dan mengurangi kesenjangan pengetahuan antar individu (Servaes, 2008). Oleh sebab itu adanya akses terhadap informasi bukan hanya berkaitan dengan hak asasi manusia belaka, melainkan juga memiliki kaitan penting dalam proses pembangunan yang berkelanjutan.
Swedia dan Korea Utara
Perbandingan akses informasi di Swedia dan Korea Utara memperlihatkan dua kutub berlawanan dalam pengelolaan transparansi dan kebebasan informasi publik. Swedia, yang dikenal sebagai salah satu negara paling terbuka di dunia, menerapkan kebijakan akses informasi publik yang didukung oleh regulasi kuat. Freedom of the Press Act dan Public Access to Information and Secrecy Act memungkinkan warga negara serta media untuk mengakses data pemerintah secara luas. Transparansi ini tidak hanya meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, tetapi juga mendorong akuntabilitas dan partisipasi warga dalam proses pemerintahan. Data dari Transparency International (2022) menunjukkan bahwa Swedia memiliki skor 85 dari 100 pada Indeks Persepsi Korupsi, menandakan rendahnya tingkat korupsi dan tingginya pengawasan publik. Selain itu, survei dari European Union Agency for Fundamental Rights (2021) mengungkap bahwa 87% warga Swedia merasa mudah mengakses informasi publik, yang secara langsung mempengaruhi keterlibatan mereka dalam aktivitas sosial dan politik. Di sisi lain, Korea Utara menempati posisi yang berlawanan. Negara ini mengontrol seluruh aspek informasi dan media melalui pemerintah, membatasi warga dari akses terhadap berita maupun data yang tidak disetujui oleh negara. Menurut Reporters Without Borders (2022), Korea Utara berada di peringkat 180 dari 180 dalam Indeks Kebebasan Pers, menjadikannya salah satu negara dengan kebebasan media yang paling rendah. Tidak ada ruang bagi informasi independen untuk berkembang, dan warga negara dibatasi hanya untuk menerima informasi yang mendukung narasi pemerintah. Penindasan terhadap kebebasan informasi di Korea Utara juga tercermin dalam skor rendah kebebasan politik dan sipil. Freedom House (2023) memberikan skor 3 dari 100, menandakan bahwa warga negara hampir tidak memiliki hak untuk terlibat dalam proses politik secara mandiri atau mengakses informasi yang tidak dimoderasi oleh negara.
Dari segi masyarakat, keterbukaan informasi di Swedia berkontribusi pada kemajuan pendidikan dan keterlibatan sosial yang signifikan. Sebagai negara dengan tingkat pendidikan yang tinggi, sebanyak 41% warga Swedia berusia 25-64 tahun telah menyelesaikan pendidikan tinggi (OECD, 2021). Ini menunjukkan bahwa kebebasan informasi mendukung masyarakat yang lebih terdidik dan partisipatif. Partisipasi politik juga tinggi, sejalan dengan akses luas terhadap data yang memungkinkan warga untuk membuat keputusan berdasarkan informasi. Di wilayah perkotaan seperti Stockholm dan Gothenburg, keterlibatan dalam proses politik, sosial, dan ekonomi semakin diperkuat oleh akses mudah terhadap teknologi dan informasi digital. Keterbukaan ini membentuk karakter masyarakat yang berorientasi pada demokrasi, transparansi, dan tanggung jawab publik, di mana warga secara aktif memantau kinerja pemerintah dan menyuarakan pendapat mereka. Sebaliknya, meskipun tingkat pendidikan formal di Korea Utara sangat tinggi, dengan angka partisipasi sekolah mencapai 99,9% menurut data UN, hal ini tidak mencerminkan kebebasan informasi atau kritisisme dalam pendidikan. Kurikulum pendidikan dikontrol secara ketat oleh pemerintah dan tidak memberikan ruang bagi pandangan kritis atau perspektif internasional. Informasi yang disampaikan di sekolah hanya terbatas pada ideologi negara, sehingga warga negara tumbuh dalam lingkungan yang sangat terbatas dalam hal pengetahuan global dan kebebasan intelektual. Daerah di luar Pyongyang cenderung memiliki akses yang lebih minim terhadap informasi dan sumber daya, menciptakan kesenjangan informasi yang semakin memperdalam kontrol pemerintah atas masyarakat.
Penulisan artikel ini menggunakan metode literatur review, dengan merujuk pada sumber-sumber sekunder yang mencakup laporan dan data dari organisasi internasional seperti Transparency International, Reporters Without Borders, European Union Agency for Fundamental Rights, dan Freedom House. Data ini dianalisis untuk membandingkan akses informasi dan kebebasan mendasar di Swedia dan Korea Utara, serta mengevaluasi dampak kebijakan pemerintah masing-masing negara terhadap hak-hak warga negara. Metode ini bertujuan untuk memahami konteks sosial, politik, dan hukum yang mempengaruhi transparansi serta kebebasan informasi di kedua negara.
Peraturan Nasional dan Kesepakatan Internasional
Perlindungan kebebasan dasar dan akses publik terhadap informasi dijamin oleh peraturan nasional dan kesepakatan internasional. Swedia adalah negara pertama yang mengadopsi hak atas informasi publik. Freedom of the Press Act—juga dikenal sebagai Tryckfrihetsförordningen—diadopsi pada tahun 1766 dan merupakan salah satu undang-undang keterbukaan informasi tertua di dunia. Dalam undang-undang ini, semua orang memiliki hak untuk mengakses dokumen resmi pemerintah. Ini dijamin oleh "prinsip keterbukaan", atau prinsip keterbukaan, yang memastikan bahwa dokumen dan catatan publik dapat diakses oleh publik kecuali ada alasan yang kuat untuk merahasiakannya, seperti untuk keamanan nasional atau privasi. Selain itu, hak dasar warga negara dijamin oleh Instrument of Government (Regeringsformen), yang merupakan bagian dari konstitusi Swedia, termasuk kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan hak untuk memperoleh informasi (Sharing Sweden, 2016). Swedia melindungi kebebasan dasar dan akses ke informasi melalui berbagai kesepakatan internasional. Swedia berkomitmen pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Pasal 19) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang keduanya menjamin kebebasan berpendapat, berbicara, dan mendapatkan informasi. Selain itu, Swedia adalah anggota Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (ECHR), yang dalam Pasal 10 menetapkan hak atas kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan untuk mendapatkan dan memberikan informasi kepada orang lain tanpa terpengaruh oleh otoritas. Swedia juga mendukung Agenda 2030 PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan, yang menekankan akses terhadap informasi tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama Tujuan 16, yang berkaitan dengan institusi yang inklusif, transparan, dan akuntabel. Swedia menunjukkan komitmennya untuk menjaga keterbukaan informasi dan melindungi kebebasan dasar sebagai bagian penting dari demokrasi yang kuat dengan menerapkan peraturan nasional yang ketat dan berpartisipasi dalam kesepakatan internasional (Government Offices of Sweden, 2016).
Kasus Pelanggaran Hak Informasi di Korea Utara dan Swedia
Kontrol informasi di Korea Utara terus menjadi pusat perhatian global, terutama dengan insiden yang melibatkan seorang remaja yang ditangkap pada tahun 2022 karena menyebarkan konten drama Korea Selatan (K-drama). Remaja tersebut dilaporkan mendistribusikan salinan K-drama melalui perangkat USB kepada teman-temannya, yang dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap undang-undang ketat Korea Utara yang melarang konsumsi media asing, terutama dari Korea Selatan. Pemerintah Korea Utara melihat konten luar negeri sebagai ancaman terhadap stabilitas ideologis negara dan menggunakan kontrol informasi sebagai alat untuk mempertahankan hegemoni politik. Hukuman berat yang dijatuhkan kepada pelanggar semacam ini, termasuk kerja paksa, menunjukkan bagaimana rezim menekan akses warga terhadap informasi alternatif. Kasus ini juga menggambarkan betapa kontrol informasi yang ekstrem menghalangi perubahan sosial di masyarakat Korea Utara, di mana warga tidak memiliki akses bebas untuk memperoleh perspektif lain di luar narasi resmi pemerintah.
Sebaliknya, di Swedia, tantangan yang dihadapi dalam konteks informasi muncul selama pemilu 2018, di mana disinformasi yang disebarkan oleh aktor asing berusaha mempengaruhi hasil pemilihan dengan menargetkan isu-isu sensitif seperti imigrasi dan keamanan. Melalui platform media sosial dan situs berita palsu, berita yang menyesatkan terkait peningkatan kriminalitas akibat kebijakan imigrasi menyebar luas, menciptakan keresahan di kalangan pemilih. Sebagai tanggapan, pemerintah Swedia memperkuat program literasi digital dan memperkenalkan pendidikan media di sekolah-sekolah, dengan tujuan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya disinformasi. Upaya ini menekankan pentingnya komunikasi pembangunan yang terstruktur dalam melindungi proses demokrasi dari ancaman informasi palsu. Inisiatif literasi digital Swedia menciptakan perubahan sosial dengan memberdayakan warga untuk menjadi lebih kritis terhadap sumber informasi mereka, serta membangun ketahanan nasional terhadap pengaruh disinformasi yang bisa merusak tatanan politik dan sosial.
Good Governance & Human Basic Needs Theory sebagai Model Komunikasi Pembangunan dan Perubahan Sosial
Model Komunikasi Pembangunan dan Perubahan Sosial yang tepat untuk mengatasi permasalahan akses informasi publik dan kebebasan mendasar, berdasarkan karakteristik Swedia dan Korea Utara, adalah Good Governance Theory. Teori ini, seperti yang dijelaskan oleh Grindle (2004), menekankan pentingnya pengaturan yang baik dan transparan dalam akses informasi, serta perlindungan terhadap hak-hak dasar seperti kebebasan berbicara dan privasi. Pendekatan ini mencakup beberapa elemen kunci: transparansi, di mana informasi harus mudah diakses dan dipahami oleh masyarakat; akuntabilitas, di mana pemerintah harus bertanggung jawab atas keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan akses informasi; partisipasi publik, di mana masyarakat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan informasi; dan rule of law, yang menekankan penerapan hukum yang konsisten untuk melindungi kebebasan mendasar.
Selain itu, Human Basic Needs Theory yang dikemukakan oleh Maslow (1943) juga relevan dalam konteks akses informasi. Teori ini menekankan bahwa informasi merupakan komponen penting yang berhubungan langsung dengan beberapa kebutuhan dasar manusia. Pertama, partisipasi; manusia membutuhkan informasi untuk dapat berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Kedua, identitas dan pengakuan; kebebasan berekspresi membantu individu dalam menegaskan identitas mereka dan mendapatkan pengakuan dari orang lain. Ketiga, keamanan; akses terhadap informasi yang akurat dan terbuka dapat memberikan rasa aman dan stabilitas, serta mencegah penyalahgunaan kekuasaan atau kontrol berlebihan oleh negara.
SDG 16 Sebagai Dasar Tumpuan Kebijakan
Rekomendasi kebijakan ini berkaitan dengan program Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 16 yang berfokus pada Perdamaian, Keadilan, dan Institusi yang Kuat, serta menekankan pentingnya akses informasi dan kebebasan mendasar. Berdasarkan target SDG 16.10 (ICCROM, n.d.), dua area utama perlu diperhatikan. Pertama, perlu mengadopsi dan menerapkan jaminan konstitusional, undang-undang, dan kebijakan untuk akses publik terhadap informasi. Program yang sudah berjalan di Swedia, seperti Freedom of the Press Act yang diberlakukan sejak 1766, menunjukkan komitmen negara dalam hal ini. Rencana yang bisa diterapkan adalah pengembangan Swedish Government Open Data Portal, yang menyediakan akses informasi pemerintah secara terbuka. Kedua, mendukung kebebasan fundamental sejalan dengan hak asasi manusia, perjanjian, dan perundang-undangan nasional dan internasional. Swedia menjadi anggota aktif dari European Convention on Human Rights (ECHR), dan rencana yang bisa diterapkan termasuk peran Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA) dalam memfasilitasi dukungan akses informasi di negara lain.
Proses untuk meningkatkan akses publik terhadap informasi dan melindungi kebebasan mendasar di Swedia melibatkan berbagai langkah yang terintegrasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan lembaga internasional. Pertama, penerapan undang-undang yang memastikan akses informasi, seperti Freedom of the Press Act, memerlukan koordinasi antara pemerintah pusat dan lembaga legislatif. Keterlibatan kementerian terkait, seperti Kementerian Kehakiman Swedia, sangat penting dalam mengawasi implementasi regulasi tersebut dan memastikan bahwa semua departemen pemerintah mematuhi standar transparansi. Kedua, lembaga non-pemerintah seperti Transparency International dan Swedish International Development Cooperation Agency (SIDA) berperan dalam memastikan bahwa informasi terbuka tidak hanya dapat diakses, tetapi juga dimanfaatkan secara efektif oleh warga negara dan masyarakat internasional. Pihak lain yang terlibat termasuk media dan jurnalis, yang berfungsi sebagai pengawas independen terhadap transparansi pemerintah. Di tingkat internasional, Swedia juga bekerja sama dengan organisasi seperti European Convention on Human Rights (ECHR) untuk memastikan bahwa kebijakan keterbukaan informasi mereka selaras dengan standar internasional. Adanya mekanisme pengaduan yang efektif juga menunjukkan adanya kolaborasi antara lembaga pemerintah dan lembaga pengawas independen untuk memastikan akuntabilitas yang tinggi.
Evaluasi program keterbukaan informasi di Swedia menunjukkan hasil yang sangat positif, seperti kecepatan respons permintaan informasi publik yang umumnya diproses dalam waktu yang cepat, dengan mayoritas permintaan dipenuhi dalam hitungan hari. Selain itu, kepuasan publik yang tinggi terlihat dari peringkat Swedia sebagai salah satu negara teratas dalam World Press Freedom Index, yang mencerminkan kepercayaan publik terhadap pemerintah yang tinggi akibat transparansi. Mekanisme pengaduan terkait akses informasi juga efektif dan cepat dalam menyelesaikan sengketa, memastikan akuntabilitas pemerintah. Untuk mengkomunikasikan program keterbukaan informasi, pemerintah Swedia memanfaatkan berbagai metode, seperti penggunaan media sosial dan platform daring melalui Swedish Government Open Data Portal, serta laporan tahunan yang memberikan ringkasan kinerja dalam akses informasi. Selain itu, pemerintah juga berkolaborasi dengan media dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk mempromosikan transparansi dan menyelenggarakan diskusi publik. Dalam konteks negara dengan tata kelola yang baik seperti Swedia, teori Good Governance lebih efektif karena fokusnya pada transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Sebaliknya, untuk negara otoriter seperti Korea Utara, teori Human Basic Needs menawarkan solusi yang lebih pragmatis untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, termasuk akses informasi sebagai bagian dari hak asasi.
Kesimpulan
Akses terhadap informasi dan kebebasan berekspresi adalah fondasi penting bagi masyarakat yang transparan dan demokratis. Perbandingan antara Swedia dan Korea Utara menggambarkan dua pendekatan yang sangat berbeda dalam hal pengelolaan akses informasi publik. Swedia, dengan sistem keterbukaan informasinya yang kuat seperti Freedom of the Press Act, memastikan bahwa warganya dapat dengan mudah mengakses informasi pemerintah. Ini berkontribusi pada pengawasan publik yang efektif, akuntabilitas, serta partisipasi masyarakat dalam proses politik dan sosial. Tingkat pendidikan dan partisipasi politik yang tinggi di Swedia juga mencerminkan bagaimana keterbukaan informasi mendukung perkembangan masyarakat yang lebih terdidik dan kritis. Sebaliknya, Korea Utara menerapkan kontrol ketat atas informasi, membatasi akses warganya terhadap media asing dan informasi yang tidak sejalan dengan narasi pemerintah. Penindasan terhadap kebebasan informasi ini memperkuat kontrol negara atas masyarakat, menciptakan isolasi intelektual dan keterbatasan pengetahuan bagi warganya. Dalam konteks komunikasi pembangunan, akses informasi yang terbuka memainkan peran penting dalam mendorong perubahan sosial. Di Swedia, informasi yang bebas mengalir mendorong partisipasi aktif warga dalam pengambilan keputusan publik, mempercepat proses pembangunan, dan memperkuat demokrasi. Sebaliknya, di Korea Utara, kontrol informasi yang ketat menghambat perubahan sosial dan memperkuat status quo, menghalangi warga untuk memperoleh perspektif yang lebih luas. Perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan akses informasi, sebagaimana diatur oleh perjanjian nasional dan internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, menjadi kunci untuk menjaga keseimbangan antara keamanan nasional dan kebebasan individu.
Kaitan erat dengan Sustainable Development Goal (SDG) 16, terutama target 16.10, sangat jelas dalam konteks ini. SDG 16 berfokus pada menciptakan perdamaian, keadilan, dan institusi yang kuat, yang salah satu aspeknya adalah memastikan akses publik terhadap informasi serta melindungi kebebasan mendasar. Swedia, dengan kebijakan keterbukaan informasinya yang sudah lama diterapkan, menjadi contoh negara yang berhasil mencapai target ini, di mana kebebasan informasi berkontribusi pada institusi yang transparan dan inklusif. Ini tidak hanya mendukung pembangunan berkelanjutan, tetapi juga memperkuat kepercayaan antara pemerintah dan warganya. Di sisi lain, Korea Utara, yang secara sistematis membatasi akses informasi dan kebebasan berekspresi, menunjukkan bagaimana pelanggaran terhadap prinsip ini berdampak negatif pada institusi negara dan partisipasi warga. Institusi yang tertutup dan represif seperti di Korea Utara bertentangan dengan tujuan SDG 16, karena mereka tidak menyediakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan sosial dan politik.
Daftar Pustaka
Banisar, D. (2006). Freedom of Information around the World: A Global Survey of Access to Government Information Laws. Privacy International.
BBC News.North Korea: “Rare footage shows teens sentenced to hard labour over K-drama.”https://www.bbc.com/news/world-asia-68015652
European Union Agency for Fundamental Rights. (2021). Fundamental Rights Report 2021.
Freedom House. (2023). Freedom in the World 2023. https://freedomhouse.org/country/sweden/freedom-world/2023
Grindle, M. S. (2004). Good enough governance: Poverty reduction and reform in developing countries. Governance, 17(4), 525-548. https://doi.org/10.1111/j.0952-1895.2004.00256.x
ICCROM. (n.d.). SDG 16.10: Ensure public access to information and protect fundamental Freedoms | ICCROM | Our collections matter. Retrieved October 10, 2024, from https://ocm.iccrom.org/sdgs/sdg-16-peace-justice-and-strong-institutions/sdg-1610-ensure-public-access-information-and
La Forge, Gordon. GL Sweden Election FINAL 12 23 20 V1.0._ (Case Study Drafted Based on Interviews Conducted in October-November 2020). Published December 2020. Available at:https://successfulsocieties.princeton.edu/sites/g/files/toruqf5601/files/GL_Swedena_Election
Maslow, A. H. (1943). A theory of human motivation. Psychological Review, 50(4), 370-396. https://doi.org/10.1037/h0054346
OECD (2021), Education at a Glance 2021: OECD Indicators, OECD Publishing, Paris, https://doi.org/10.1787/b35a14e5-en
Pemerintah Swedia. (2016). The Swedish Press Act: 250 years of freedom of the press. https://www.government.se/articles/2016/12/the-swedish-press-act-250-years-of-freedom-of-the-press/:contentReference[oaicite:0]{index=0}
Reporters Without Borders. (2024). World Press Freedom Index. https://rsf.org/en/index
Servaes, J. (2008). Communication for Development and Social Change. SAGE Publications.
Swedish Institute. (2016). Memory of the world: Freedom of the Press Act. Sharing Sweden. https://sharingsweden.se/materials/memory-of-the-world-freedom-of-the-press-act/
Transparency International. (2023). Corruption Perceptions Index. https://rsf.org/en/2024-world-press-freedom-index-journalism-under-political-pressure
United Nations. (1948). The Universal Declaration of Human Rights.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H