Perjalanan pagiku seringnya bertentangan dengan arah matahari. Dulu aku selalu memakai kacamata hitam untuk menghindari kesilauan. Aku semakin malas memaksinya begitu pandemi mereda. Sebagai gantinya aku melindungi wajah dengan masker dan topi.
Rute jalan pagi ini melewati lahan hijau yang cukup luas. Aku suka berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan kebun sayur di tengah area perumahan ini.
Di ujung kebun ada lapak tempat sopir ojek pada ngopi atau makan gorengan, atau duduk menunggu orang memakai jasanya.
Lahan ini mungkin sebagian milik seseorang, dan sebagian lain milik pengembang karena ada area yang dipenuhi rumput dan semak liar, persis bersebelahan dengan kebun yang ditanami daun singkong di bagian tengah, kacang tanah di sisi agak pinggir, dan di perbatasan tepi jalan dipagari dengan deretan tanaman sereh. Kadang di sela-sela itu ada tanaman ketela rambat, cabe, atau pepaya.
Hanya ada seorang bapak sepuh yang mengurusi lahan ini -- dari mencangkul, menanam, menyiangi, menyirami, sampai memanen. Mungkin dia juga yang memasarkan serta menjual hasil panenannya.
Pernah aku lewat dan memotret pohon cabe rawit yang sudah menampakkan pesona cabe rawit khas pelengkap tahu sumedang.
Tiba-tiba Si Bapak nyamperin, "Bu, sayang pohon yang cabenya paling lebat nggak sempat kepotret. Pagi subuh tadi saya mau memanennya, hati mencelos melihat pohon itu dicuri orang seakar-akarnya. Biar nggak kesel, saya ikhlaskan sambil mikir mungkin orang itu akan menjual cabe saya buat beli beras," ungkapnya dengan nada datar.
Keadaan pasca pilpres membawaku pada nostalgia, keprihatinan, dan perenungan. Ini bukan sekadar persoalan politik negeri, namun utamanya adalah hal-hal yang bersentuhan dengan keseharianku, keseharian kami sebagai warga negara dan rakyat yang tinggal di bumi Nusantara.
Media sosial dan perbincangan di komunitas, pasar, dan berbagai kumpulan warga pada minggu sesudah coblosan pilpes ini diwarnai oleh status tentang harga beras yang naik tajam. Bersyukur saja saat aku membeli nasi Padang langganan, harga dan rasa tidak, atau belum berubah. Semoga para pedagang dengan pelanggan setia berkantung tipis sepertiku ini mendapat keuntungan wajar, dan tetap bertahan.
Sebagai orang Asia dan Indonesia khususnya, sebagian besar mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok.
Secara pribadi kuakui, nasi dari beras itu yang terenak di antara nasi berbahan lainnya. Nasi putih yang pulen, manis, gurih, dan mengenyangkan masih lebih banyak dibutuhkan dibanding nasi dari beras merah, nasi jagung, atau sumber karbohidrat lainnya. Ini tentu tidak berlaku di wilayah yang sumber makanan pokoknya jagung, atau sagu.
Setiap makanan, dalam hal ini yang menjadi sumber karbohidrat sebenarnya beragam, dari nasi, mie, roti, sorgum, palawija atau umbi-umbian termasuk kentang, jagung, sagu pastinya memiliki kandungan dan komposisi gizi berbeda-beda. Bagi yang punya akses internet tentunya bisa mengeksplorasi bagaimana khasiat, dan keunggulan masing-masing sumber makanan itu.
Sepanjang usiaku, sudah kurasakan makan nasi campur bulgur, diet nasi putih dalam hitungan tahun bersama teman-teman kantor sebagai upaya menjaga berat badan, mengasup ubi, sayur, buah, telur dan sumber protein karena sempat terlanjur kurang suka nasi pun pernah dan sampai detik ini.
Tentu ini pengalaman subyektif. Sebenarnya lambungku terbukti cukup fleksibel menyesuaikan dengan pola makanku, dengan catatan semua kulakukan dengan teratur, disiplin, dan mematuhi pola makan gizi seimbang. Kutahu dan sadari kalau mayoritas dari kita nggak begitu. Namun, menarik diamati di sebuah pusat jajanan dan makanan di sebuah perkantoran, ada tren semakin banyaknya generasi milenial dan kaum muda yang lebih memilih makan nasi merah, atau meminimalkan porsi nasi di piring mereka. Beneran ini.
Di restoran dan warung makan sekitar tempat tinggalku pun mulai banyak yang menyediakan nasi putih, dan nasi merah!
Nah ini menurutku relevansinya adalah kesadaran dan pengetahuan bahwa nasi putih bukanlah satu-satunya sumber karbohidrat terbaik. Tak dipungkiri, beras merah lebih mahal sih, hahaha.
Ubi sebagai opsi pengganti nasi? Mungkin tidak sesederhana itu, Ferguzo. Namun ini bukan berarti hal yang mustahil. Masalahnya ini bukan sekadar selera tetapi juga persoalan kultur budaya, dan teknologi pangan untuk pengadaan masifnya, ya nggak sih? Masih panjang hal-hal yang bisa dibahas tentang isu terkini, pengganti beras ini. Yuk, sampaikan komentarmu ya.
Maafkan aku yang menutup tulisan ini dengan sebuah harapan, semoga seluruh rakyat Indonesia sehat itu, berbahagia dengan cara masing-masing, dan tetap semangat.
Mudah-mudahan pemerintah dan semua pihak yang terlibat termasuk pelaku usaha komoditas pangan terus melakukan upaya menyejahterakan rakyat.
Salam sehat |Indria Salim|
21 Februari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H