Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Aku Menunduk Demi Tetap Tegak

19 Januari 2021   09:55 Diperbarui: 19 Januari 2021   11:54 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bercermin dan memperbaiki diri | Dokpri

Ini kumaksudkan sebagai sebuah Diary yang pertama kali kutulis di sini, di awal tahun 2021 ini.

Berdoa untuk para korban musibah dan bencana | Dokpri
Berdoa untuk para korban musibah dan bencana | Dokpri
"Selamat pagi, Sahabat kecilku
Aku mengucapkan duka cita mendalam untuk kerabatmu yang wafat karena kecelakaan pesawat Sriwijaya SJ 182," ucapku setengah berbisik.

"Terima kasih, Ndri, terima kasih. Kami sudah ikhlas." Ini bukan sebuah akhir, kami percaya bahwa Sang Khalik memiliki rencana indah buat kami sekeluarga besar. Kita manusia bisa apa, jika tidak berserah kepada-Nya, mempercayakan semua dalam kuasa kehendak-Nya," jawabnya pelahan dan tenang.

Kedua mataku yang sudah membasah, mengalirkan air hangat ke wajah sembab pagi hari, pelahan dalam sedikit kelegaan. Sahabatku yang tidak berubah dari dulu, dewasa dan penuh pertimbangan.

Lalu sahabatku itu membagi semua inti yang melatarbelakangi perkembangan berita almarhum kerabat yang berpulang itu. Semua hal penting yang membuatku seketika menjadi seperti murid kehidupan.

Akulah "murid" itu, yang dalam satu percakapan telepon dengan Sang Sobat, mendapatkan banyak pesan tanpa bingkai pesan. Sobatku semata bercerita. Mengapa almarhum kerabatnya menempati relung istimewa di hati siapa saja yang pernah mengenalnya.

Almarhum adalah putra terkasih, suami tercinta, sahabat dan teman paling baik dan rendah hati, teman sekolah yang "tidak neko-neko", kini adalah sosok yang akan terus dirindukan dan dikenang sebagai bagian terindah dalam kehidupan yang mengenalnya.

Sahabatku melanjutkan ungkapan hatinya, "Almarhum itu milik kami semua. Orang tuanya, isterinya, anak semata wayangnya, sahabatnya, teman kerjanya, tetangganya, dan para handai taulan."

Aku kembali ke pojok beranda rumah, secangkir kopi yang kuseduh sebelum menelpon sahabatku masih sedikit hangat menungguku.

"Hidup, apa maknanya bagimu?" sergahku dalam hati.

Walau termangu, kutuangkan jawabku di sini.

"Menghela napas -- satu, satu
Menghitung berkat -- seribu satu
Mengingat khilaf -- semampuku
Memohon ampun dan hikmat -- sepanjang hayatku
Membagi berkat, jadikan napasku
Mengingat 'tuk belajar berempati
Menunduk kembali -- jati diri manusiawi
Menegakkan semangat dan asa
Langit mendung hari ini
Sunyi melantunkan tembang gundah
Sudahi melankoli itu."

Pagi bergerak, awan kelabu semakin pekat. Angin menyeruak dengan desis yang dingin. Semoga kita semua tetap bertenaga, sehat, dan berguna sebisanya.

Indria Salim| 19 Januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun