Ini kumaksudkan sebagai sebuah Diary yang pertama kali kutulis di sini, di awal tahun 2021 ini.
Aku mengucapkan duka cita mendalam untuk kerabatmu yang wafat karena kecelakaan pesawat Sriwijaya SJ 182," ucapku setengah berbisik.
"Terima kasih, Ndri, terima kasih. Kami sudah ikhlas." Ini bukan sebuah akhir, kami percaya bahwa Sang Khalik memiliki rencana indah buat kami sekeluarga besar. Kita manusia bisa apa, jika tidak berserah kepada-Nya, mempercayakan semua dalam kuasa kehendak-Nya," jawabnya pelahan dan tenang.
Kedua mataku yang sudah membasah, mengalirkan air hangat ke wajah sembab pagi hari, pelahan dalam sedikit kelegaan. Sahabatku yang tidak berubah dari dulu, dewasa dan penuh pertimbangan.
Lalu sahabatku itu membagi semua inti yang melatarbelakangi perkembangan berita almarhum kerabat yang berpulang itu. Semua hal penting yang membuatku seketika menjadi seperti murid kehidupan.
Akulah "murid" itu, yang dalam satu percakapan telepon dengan Sang Sobat, mendapatkan banyak pesan tanpa bingkai pesan. Sobatku semata bercerita. Mengapa almarhum kerabatnya menempati relung istimewa di hati siapa saja yang pernah mengenalnya.
Almarhum adalah putra terkasih, suami tercinta, sahabat dan teman paling baik dan rendah hati, teman sekolah yang "tidak neko-neko", kini adalah sosok yang akan terus dirindukan dan dikenang sebagai bagian terindah dalam kehidupan yang mengenalnya.
Sahabatku melanjutkan ungkapan hatinya, "Almarhum itu milik kami semua. Orang tuanya, isterinya, anak semata wayangnya, sahabatnya, teman kerjanya, tetangganya, dan para handai taulan."
Aku kembali ke pojok beranda rumah, secangkir kopi yang kuseduh sebelum menelpon sahabatku masih sedikit hangat menungguku.
"Hidup, apa maknanya bagimu?" sergahku dalam hati.
Walau termangu, kutuangkan jawabku di sini.