Menulis di Kompasiana, Perlu Nyali
Suatu saat saya berjumpa dengan teman kantor lama di sebuah mall. Ngobrol sana-sini, dia bilang saya keren karena aktif ngeblog.
Faktanya "aktif" yang dia maksudkan adalah tulisan saya di Kompasiana yang saya ceritakan sebagai bagian dari kegiatan setelah saya memutuskan diri freelancing.
"Aku nggak seberani mbak. Nulis di blog atau di platform yang pembacanya bisa siapa saja," cetusnya.
Saya dorong dia agar nulis seperti saya, khususnya karena latar belakang akademisnya justru adalah bidang komunikasi.
"Nggak pede ah, nulis di Kompasiana itu ngeri!" sergahnya sambil ngakak.
Ya amplop! Separah itukah bayangan dia tentang potensi risiko menulis secara publik? Iya, Kompasiana kan platform yang akses keterbacaannya terbuka buat masyarakat luas, bahkan "global".
Saya ikut tertawa, karena dalam hati mengakui bahwa ungkapan teman saya itu sedikit ada benarnya. Saya ulang, "sedikit".
Kalau saya mengulik tulisan saya pada periode tahun 2013 (awal menulis di K) sampai tahun 2017-an, self assesment tentang tulisan saya rasanya lebih berani, segala ditulis dan "segala" topik di luar bisa mendorong saya menulis terkait hal itu di Kompasiana.Â
Mungkin keberanian dan semangat menulis demikian, itu yang dilakukan sebagian Kompasianer saat ini.
Itulah yang mungkin teramati oleh teman saya.
Komentar-komentar pembaca yang bermuatan kritik dari yang halus sampai pedas level 10, yang relevan dengan tulisan sampai yang menyerang pribadi padahal antara penulis dan komentator tidak kenal, itu pernah saya cicipi.
Namun itu bukan inti tema yang ingin saya bagikan saat ini. Di sini saya ingin menekankan pentingnya rasa percaya diri dalam proses menulis.
Ada baiknya juga bahwa di era digital ini kita tidak harus menulis draft dengan menulis tangan ataupun mengetik manual.
Generasi saya (baby boomers) pastinya pernah mengalami bagaimana rasanya menulis draft dengan cara itu. Sudah capek-capek bikin, dan makan waktu pula, setelah dibaca hasil akhir draft cukup sampai di keranjang sampah.
Era digital tidak membuat saya cukup sabar menulis lambat, lalu melakukan swasunting berlama-lama. Ada semacam pilihan yang lebih tegas untuk memutuskan dalam proses menulis. Cepat-cepat menyelesaikan dan get it published, atau tidak menulis sama sekali. Mungkin ini jangan ditiru ya, karena kedengarannya kok fatalis.
Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan tentunya. Dan inilah rupanya cara menulis keponakan saya yang dulu masih SD sudah berani nulis buat Kompasiana.Â
Kerja si ponakan ini cepat sekali, seperti nggak pakai mikir. Menurut saya itu karena mereka percaya bahwa mereka ingin menuangkan ide yang mereka yakini naik dan positif.
Dari sini benang merahnya adalah keterkaitan antara rasa percaya diri, niat baik, dan ide positif. Itu belum cukup bila tanpa pemahaman untuk mengerjakannya dengan sungguh-sungguh, do the best we can.
Ada lagi modal yang perlu kita miliki buat meningkatkan rasa percaya diri dalam menulis, banyak-banyak membaca agar perspektif tulisan lebih kaya, termasuk membuka KBBI.
Demikian sekilas catatan yang ingin saya bagikan kepada pembaca. Bagaimana menurut Kompasianer dan Pembaca sekalian?
 Semoga berkenan.
Salam Kompasiana.
::: Indria Salim :::
Penghujung akhir bulan Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H