Namun itu bukan inti tema yang ingin saya bagikan saat ini. Di sini saya ingin menekankan pentingnya rasa percaya diri dalam proses menulis.
Ada baiknya juga bahwa di era digital ini kita tidak harus menulis draft dengan menulis tangan ataupun mengetik manual.
Generasi saya (baby boomers) pastinya pernah mengalami bagaimana rasanya menulis draft dengan cara itu. Sudah capek-capek bikin, dan makan waktu pula, setelah dibaca hasil akhir draft cukup sampai di keranjang sampah.
Era digital tidak membuat saya cukup sabar menulis lambat, lalu melakukan swasunting berlama-lama. Ada semacam pilihan yang lebih tegas untuk memutuskan dalam proses menulis. Cepat-cepat menyelesaikan dan get it published, atau tidak menulis sama sekali. Mungkin ini jangan ditiru ya, karena kedengarannya kok fatalis.
Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan tentunya. Dan inilah rupanya cara menulis keponakan saya yang dulu masih SD sudah berani nulis buat Kompasiana.Â
Kerja si ponakan ini cepat sekali, seperti nggak pakai mikir. Menurut saya itu karena mereka percaya bahwa mereka ingin menuangkan ide yang mereka yakini naik dan positif.
Dari sini benang merahnya adalah keterkaitan antara rasa percaya diri, niat baik, dan ide positif. Itu belum cukup bila tanpa pemahaman untuk mengerjakannya dengan sungguh-sungguh, do the best we can.
Ada lagi modal yang perlu kita miliki buat meningkatkan rasa percaya diri dalam menulis, banyak-banyak membaca agar perspektif tulisan lebih kaya, termasuk membuka KBBI.
Demikian sekilas catatan yang ingin saya bagikan kepada pembaca. Bagaimana menurut Kompasianer dan Pembaca sekalian?
 Semoga berkenan.
Salam Kompasiana.
::: Indria Salim :::
Penghujung akhir bulan Juni 2020