Putri Cherry, seorang ibu rumah tangga yang tidak "neko-neko", adalah juga pendamping aktif anak-anak dengan HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus dan Acquied Immunodeficiency Syndrome). Putri adalah juga penyintas yang sejak tahun 2006 positif HIV. Sebagai  ODHA, dia teratur minum ARV sejak tahun 2009.
Silakan klik Video lengkapnya.
Abaikan video ke-2 di bawah ini.
Putri berbicara tentang perjuangannya menghadapi diagnosa sebagai positif Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), yang ditularkan dari almarhum suaminya yang pertama.
Dengan disiplin mematuhi aturan minum ARV dan instruksi dokter. Sempat mengalami depresi pada saat awal kematian suaminya, namun dengan dorongan semangat dari Ibunda, Putri membangun pikiran positif dan tekad untuk bisa "sembuh".
Bertemu dengan pria saat masa pengobatan, yang akhirnya menjadi suami yang sampai kini setia mendampingi, Putri dinyatakan "bisa memiliki anak" dengan syarat virus HIV sudah tidak terdeteksi, plus mengikuti perawatan khusus untuk suatu kehamilan "sehat".
"Saya bersyukur semuanya aman, anak saya tiga-tiganya dan suami saya yang kedua ini negatif semua," ungkap Putri.
Virus HIV/ AIDS yang penularannya melalui darah dan cairan tubuh (air mani, cairan vagina)  ini, yang awalnya dianggap mematikan, kini berubah sejak ditemukannya obat antiretroviral (ARV) yang efektif menekan jumlah virus HIV dalam tubuh ODHA.
Dalam rangka memperingati Hari AIDS Sedunia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengadakan Dialog Media, dengan tema "Mengakhiri Stigma HIV AIDS : Masyarakat yang Membuat Perubahan". Dengan Moderator Ciput Purwianti (Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak dari Situasi Darurat dan Pornografi -Kemen PPPA), acara ini berlangsung di kantor Kementerian PPPA di Jakarta, Jumat, 29 November 2019.
Isu HIV/AIDS merupakan masalah besar baik di tingkat nasional maupun internasional. Jumlah penderita HIV/AIDS masih terus bertambah, tidak hanya pada orang dewasa namun juga pada usia anak.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, jumlah kasus HIV yang dilaporkan pada April hingga Juni 2019 sebanyak 11.519 dan sebagian besar merupakan kelompok usia produktif yaitu 15-49 tahun (71,7%). Sedangkan jumlah ODHA hingga Juni 2019 yang masih menerima pengobatan ARV mencapai 115.750 orang.
Sebagian besar Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA), juga Anak Dengan HIV dan AIDS (ADHA) mengalami diskriminasi sosial akibat kurangnya pemahaman masyarakat mengenai penyakit tersebut. Salah satu yang paling sering disalah pahami adalah metode penularan HIV/AIDS. Â
Amanat UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, mengatur bahwa anak korban HIV/AIDS harus diberikan Perlindungan Khusus dan negara harus hadir dalam pencegahan dan penanganannya.
Stigma Seperti Apa?
Anak-anak yang terkena HIV/ AIDS itu menghadapi proses penyakitnya saat mereka menjelang remaja. Mereka jenuh, ada yang marah, hingga umpetin obat. Begitu dijelaskan, mereka kadang tetap nggak paham.
Kalau di rumah, mungkin ada yang bisa merangkul mereka. Tetapi di sekolah mereka malah dirisak (dibully), misalnya nggak ada yang mau berteman dengan mereka. Akhirnya mereka pengin pindah sekolah. Tim AIDS adalah paralegal juga, yang tugasnya menjaga agar ADHA tidak diperlakukan semena-mena.
Apa yang Diperlukan Agar Anak Bisa Dirangkul?
Putri mengatakan bahwa pihak sekolah harus memahami ADHA serta semua terkait HIV/ AIDS. Ada para orang tua yang tidak mau terima bahwa anaknya bergaul dengan ADHA. Maka dalam hal ini sekolah harus melindungi.
Di lain pihak, pendamping ADHA wajib memastikan agar ADHA tetap sehat dengan rajin minum obat dan patuh saran dokter.
Dokter Hendra Widjaja, Konsultan dan Pakar Keseharan yang menjadi salah satu narasumber Dialog Media saat itu memaparkan bahwa upaya pencegahan juga bisa dilakukan dengan cara meminum obat ARV terlebih dulu sebelum terinfeksi HIV, namun hal ini belum menjadi program nasional pemerintah Indonesia.Â
Menurut dr. Hendra Widjaja, ada dua program yang bisa dilakukan seseorang untuk mencegah HIV/AIDS. Cara pertama melalui pemberian obat ARV terlebih dulu atau Prep (Pre- exposure prophylaxis), bagi orang-orang yang beresiko terkena HIV/AIDS -- antara lain pekerja seksual, LSL atau mereka yang melakukan hubungan seks sejenis, dan sebagainya.
:: Indria Salim ::
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H