Sebagian besar Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA), juga Anak Dengan HIV dan AIDS (ADHA) mengalami diskriminasi sosial akibat kurangnya pemahaman masyarakat mengenai penyakit tersebut. Salah satu yang paling sering disalah pahami adalah metode penularan HIV/AIDS. Â
Amanat UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, mengatur bahwa anak korban HIV/AIDS harus diberikan Perlindungan Khusus dan negara harus hadir dalam pencegahan dan penanganannya.
Stigma Seperti Apa?
Anak-anak yang terkena HIV/ AIDS itu menghadapi proses penyakitnya saat mereka menjelang remaja. Mereka jenuh, ada yang marah, hingga umpetin obat. Begitu dijelaskan, mereka kadang tetap nggak paham.
Kalau di rumah, mungkin ada yang bisa merangkul mereka. Tetapi di sekolah mereka malah dirisak (dibully), misalnya nggak ada yang mau berteman dengan mereka. Akhirnya mereka pengin pindah sekolah. Tim AIDS adalah paralegal juga, yang tugasnya menjaga agar ADHA tidak diperlakukan semena-mena.
Apa yang Diperlukan Agar Anak Bisa Dirangkul?
Putri mengatakan bahwa pihak sekolah harus memahami ADHA serta semua terkait HIV/ AIDS. Ada para orang tua yang tidak mau terima bahwa anaknya bergaul dengan ADHA. Maka dalam hal ini sekolah harus melindungi.
Di lain pihak, pendamping ADHA wajib memastikan agar ADHA tetap sehat dengan rajin minum obat dan patuh saran dokter.
Dokter Hendra Widjaja, Konsultan dan Pakar Keseharan yang menjadi salah satu narasumber Dialog Media saat itu memaparkan bahwa upaya pencegahan juga bisa dilakukan dengan cara meminum obat ARV terlebih dulu sebelum terinfeksi HIV, namun hal ini belum menjadi program nasional pemerintah Indonesia.Â
Menurut dr. Hendra Widjaja, ada dua program yang bisa dilakukan seseorang untuk mencegah HIV/AIDS. Cara pertama melalui pemberian obat ARV terlebih dulu atau Prep (Pre- exposure prophylaxis), bagi orang-orang yang beresiko terkena HIV/AIDS -- antara lain pekerja seksual, LSL atau mereka yang melakukan hubungan seks sejenis, dan sebagainya.
:: Indria Salim ::