" ... yang menjadi persoalan itu, cara memilih bebas dari korupsi," kata ekonom senior -- Prof.Dr.Emil Salim.
Prof Dr Emil Salam menyatakan pendapatnya, dengan lawan bicara politisi yang juga anggota DPR Fraksi PDIP, Arteria Dahlan. Ini insiden yang menjadi "perbincangan viral" di kalangan netizen yang menyaksikan acara televisi bertajuk RUU KPK di "Mata Najwa" (9 Oktober 2019).
Saya tidak akan mengulas kejadian ketika Arteria Dahlan menunjukkan sikap di luar etiket tata sopan ketimuran terhadap Profesor sepuh yang kita hormati.
Saya ingin fokus pada pernyataan Profesor Dr Emil Salim, yang menurut saya itulah jiwa recolusi mental buat Indonesia.
Ibarat membersihkan lantai, logikanya ya harusnya pakai sapu yang bersih. Membersihkan kaca mobil, pakailah lap yang masih bersih. Tidak perlu berpanjang kata untuk contoh konkrit ini.
Kalau dirunut, kehidupan bernegara di Indonesia sarat dengan warna gelap dan kelam karena misi dan visi bernegara ditenggelamkan, terhambat dan rusak oleh praktik korupsi dan perilaku korup.
Menteri Agama pernah ada yang terpidana korupsi. Pejabat panutan ternyata koruptor. Bahkan Kepala Negara yang menjalankan fungsi pemerintahan negeri besar ini selama 32 tahun, harus turun takhta karena menjadi penanam benih korup, yang efeknya masih terus membenalu dan menghisap darah patriotisme lintas generasi perpolitikan negeri.
Tentu kita tidak seyogyanya melihat segala sesuatu dengan cara generalisasi. Pemikiran yang jernih, mengedepankan sikap kehati-hatian dengan arif. Tidak semua pejabat, anggota DPR, dan ASN itu korup ataupun melakukan praktik korupsi.
Sebaliknya, tidak semua yang memiliki jabatan dan tanggung jawab mulia itu suci, termasuk tokoh agama ataupun elemen penegak hukum maupun Komisi Pemberantasan Korupsi.
Korupsi bisa bermakna sangat spesifik, namun juga sangat luas. Kita perlu melihat konteksnya.Â
Seorang anggota kegislatif yang proses pencalonannya tersiar publik, secara formal prosedural harusnya masuk ke Gedung Senayan, ternyata menyatakan kekecewaannya secara publik, bahwa posisinya secara sepihak telah dicoret dari parpol pengusung. Kesempatannya menjadi anggota legislatif "tergusur" oleh sesama caleg yang orang awam mempersepsikannya sevagai caleg beruntung berkat kedekatan ybs. dengan the big boss parpol, atau diskresi sumir parpol pengusung.Â
KPU menyatakan caleg yang semula angka perolehan suaranya lebih rendah dibandingkan dengan caleg yang tergusur itu, resmi dinyatakan berhak menjadi bagian dari "the law makers" untuk mengikuti sumpah jabatan pada tanggal 1 Oktober 2019 lalu.Â
Nah inilah yang menurut Penulis merupakan awal dari praktik pemilihan anggota legislatif yang tidak benar. Mentang-mentang dunia politik, maka dengan pertimbangan politis sebuah keputusan itu dibuat.
Masih bagus kalau ada keunggulan kualitas yang terukur dari caleg, kini sudah anggota legislatif yang bersangkutan, yang bisa secara transparan diketahui publik. Tanpa menyebut nama, kita tahu siapa itu dan ini, siapa dia dan mereka.
Keunggulan terkait kualifikasi? Betul sudah memenuhi syarat, ybs. berpendidikan SMA (syarat minimal pendidikan seseorang yang nyaleg).
Kualifikasi lain-lain?
Jawaban pasti ada saja, dan tentu versi pragmatis.Â
Kaliber cendekia? Iya cendekia, tapi bukan dia melainkan mungkin orang yang akan menjadi konsultan ahli sebagai konsultan pribadi Sang "Law Maker" tersebut. Gaji seorang anggota DPR dipastikan mengakomodasikan pengeluaran buat menggaji konsultan berkualifikasi 3 sampai 4 kali lebih tinggi daripada Sang Legislator. Inipun kalau rekrutmen itu memberi dampak positif bagi proses pelaksanaan tugas legislatif.
Contoh kasus lain.
Terpaksa menoleh ke belakang, mengingat kasus e-KTP yang melibatkan mantan Ketua DPR (2014-2019) Setyanto Novianto. Sebelum masa jabatannya berakhir, dia harus mengundurkan diri karena kasus catut nama Presiden, yang terkuak dari rekaman Kontrak PT Freeport Indonesia.Â
Kita ingat betapa alotnya persidangan yang menyeret politisi sekaligus sebelumnya anggota DPR nyaris abadi itu (anggota DPR tanpa jeda selama sepuluh tahun, 1999-2015).Â
Apakah dia dulu terpilih karena bebas dari indikasi praktek korupsi? Senyum saja jawab sebagian dari yang tahu, mereka yang pura-pura tidak tahu, atau sedikit tahu.
Mungkin hal seperti itulah yang tampaknta semula ingin dijelaskan oleh Prof.Dr  Emil Salim, yang sayangnya diinterupsi paksa oleh anggota legislatif muda dan menjawara, Arteria Dahlan. Siapa yang rugi?
:: Indria Salim ::
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H