Dengan tujuan yang positif, Ananda Sukarlan merasa perlu melakukan berbagai jurus menghadapi global proxy war, antara lain dengan menciptakan musik yang ditulis (berupa partitur), dan itu bisa dibawa ke luar negeri. Dengan begitu, orkes dan pemain musik manapun di seluruh dunia diharapkan akan bisa membawakan komposisi Musik Sastra Indonesia atau musik klasik dengan melodi yang diambil dari karya-karya komponis Indonesia, atau dari kisah dan cerita tradisional Indonesia yang dipromosikan tidak harus oleh kita sendiri. Ada juga solois. Soloisnya juga bisa dari mereka, misalnya pianis, violinis dll. Â
Untuk ini mereka tahu latar belakang dan melodinya. Maka musisi internasional dapat mempromosikan Indonesia, contohnya komposisi serial "Rapsodia Nusantara" yang faktanya lebih banyak ditampilkan oleh pemain luar, karena virtuositasnya sangat internasional. Ibarat kopi, kita bukan menjual biji kopi mentah, namun menjual kopi yang sudah diproses dan diolah menjadi produk bermerek, dan itulah yang dikenal dunia sebagai brand dari Indonesia. Bandingkan kalau Indonesia mengekspor kopi mentah, diolah di luar, lalu kita mengimpor dan menjualnya di masyarakat sebagai brand luar negeri yang harganya menjadi berlipat lebih mahal.
Jessica Sudarta -- musisi termuda yang turut dalam konser "Millenial Marzukiana", mahasiswa Fakultas Musik di Baltimore. Contoh generasi milenial berbakat, berprestasi, suka berbagi ilmu dan cinta Indonesia pakai banget. Simak videonya di bawah ini.
Relevansi Milenial
Menurut Ananda, seharusnya tidak sulit mengenalkan musik karya komponis era sebelum generasi milenial lahir, karena era kini yang serba digital, banyak hal bisa diakses melalui sosial media, juga youtube. Selain itu, mereka yang di Indonesia tahu, nama Ismail Marzuki diabadikan dalam sebuah pusat kesenian, Taman Ismail Marzuki.Â
Meski begitu, rupanya banyak generasi milenial yang tidak tahu, atau belum tentu tahu dan ini termasuk mahasiswa musik di luar negeri. Dari sinilah sosok Ananda memperkenalkan karya Ismail Marzuki ke musisi milenial. "Masa' lebih banyak yang tahu musik  Beethoven, dan sebaliknya tidak tahu musik Ismail Marzuki," cetus Ananda.
Menariknya, dia berharap agar para milenial tidak bernasib sama dengannya, yang lama terdampar atau "kecantol" diluar negeri. Keinginannya, mendorong kaum milenial untuk bekerja di Indonesia, atau setidaknya bekerja untuk Indonesia. Masyarakat Indonesia sebaiknya tahu para musisi muda yang ternama dan berprestasi di dunia internasional.
Hal penting yang perlu ditekankan dalam relevansinya dengan generasi milenial, para pemusik milenial iti diharapkan suatu saat mereka selesai menimba ilmu di bidang musik di luar negeri, lalu mereka akan balik ke Indonesia, dan orang Indonesia mengenal mereka. Diakui Ananda, harapan dan usahanya bagi generasi milenial ini semacam balas dendam. Katakanlah, ini obsesi atau cara mengkompensasikan pengalaman Ananda yang lama tidak tinggal di Indonesia. Mudah-mudahan keinginan tercapai ya.
Suatu cinta dan cita seorang jenius Ananda Sukarlan, yaitu kelak di Indonesia ada tempat yang dikenal dunia karena merupakan tempat kelahiran seorang komponis besar Indonesia, dalam hal ini ya Ismail Marzuki. Asal kita tahu, Ananda yang tinggal selama sekitar dua puluh tahun di Spanyol itu memimpikan kemasyhuran kota di Indonesia seperti halnya Salzburg sebagai kota kelahiran Wolfgang Amadeus Mozart -- mendunia!Â
Di sana bahkan coklat pun bermerek Mozart. Padahal Salzburg itu kota kecil berpenduduk sekitar 100.000 orang saja. Selain kota kelahiran Mozart, Salzberg juga terkenal dengan lokasi shooting film "The Sound of Music".