Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pahlawan dan Kisah Pribadi

10 November 2018   14:01 Diperbarui: 10 November 2018   17:22 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pahlawan berani berkorban demi tujuan mulia yang bermanfaat bagi banyak orang |pixabay.com

Istilah "pahlawan" ditujukan kepada mereka yang berani bertindak dalam menghadapi bahaya atau musuh; mereka yang melakukan apa yang benar secara moral, terlepas dari tekanan dari luar dirinya atau pihak lain. Sifat kepahlawanan menurut saya ditentukan oleh pilihan dan tindakannya, bukan karena suatu peristiwa yang kebetulan saja.

Seorang pahlawan berani dan mau mengorbankan nyawanya, tidak melulu mementingkan diri sendiri dan itu dilakukannya dengan tulus demi bisa membantu orang lain untuk hal positif.

Pahlawan dalam hal ini bisa dalam pengertian sempit, atau luas. Bisa saja itu merujuk pada anggota keluarga, sosok dalam komunitas, guru di sekolah -- intinya mereka yang tidak mudah menyerah dalam memperjuangkan sesuatu yang mulia dan berterima oleh nilai-nilai kemanusiaan, dan kebaikan yang relatif universal. Maafkan saya bila batasan ini tidak tepat.

Kisah pribadi, terkadang menciptakan pahlawannya sendiri. Itu bila pahlawan bukan dilihat dari gelar resmi, atau nama yang terukir di batu nisan, pun tidak dilihat dari keberadaan makam yang bukan disebut Taman Makam Pahlawan.

Sebuah kebetulan random, saya menonton film "A Man Called Ahok" kemarin lusa (08/XI/2018), dan kemarinnya lagi. Dalam dua kali kesempatan itu, saya terkesan dengan suasana di bioskop saat itu. Tidak terdengar sedikit pun ada suara bernada obrolan antar teman duduk. Dua kesempatan berada dalam tayangan film yang sama, saya terkesan dengan frekuensi pikiran penonton yang kurang lebih sama -- terlarut pada adegan demi adegan di layar lebar, tergelak spontan dengan satu ungkapan yang hanya tertampilkan dalam satu dua patah kata pemainnya, dan orang menyusut hidung meler sebagai efek beberapa adegan dalam film itu. Tampaknya orang menangis diam-diam, dan malu-malu -- contohnya saya sendiri.

"A Man Called Ahok", lebih merupakan sebuah kisah tentang "pola pengasuhan atau pola didik" seorang ayah, ibu, kepada anak-anak mereka. Film ini memberikan nilai-nilai keluhuran budi seorang ayah, yang sejalan dengan kelembutan seorang ibu yang adalah istri Sang ayah. Spontan saya teringat masa kecil sendiri, dan apa yang kami alami sebagai pendidikan secara langsung atau tidak langsung oleh orang tua -- yang kami panggil sebagai bapak dan ibuk.

Orang tua kami adalah guru. Bapak mengajar di Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa, yang menyiapkan mahasiswa menjadi tenaga pendidik di Sekolah Luar Biasa. Dari bapak, saya tanpa sengaja "sedikit mengenal" spesialisasi dan kategori serta tingkatan "kebutuhan khusus" anak-anak, untuk menentukan SLB mana yang tepat untuk mereka. Saat itu ada juga asrama yang disediakan bagi orang tua yang menginginkan anak mereka tinggal di asrama khusus, yang masih satu pengelolaan dengan lembaga pendidikan yang sama.

Dari aspek profesional, saya mengamati dedikasi bapak dalam tanggung jawabnya, sebagai dosen dan pimpinan sekolah anak berkebutuhan khusus, termasuk asramanya. Bapak tidak pernah terdengar mengungkapkan keluhan dalam obrolan dengan ibuk soal waktu tanpa batas yang disediakannya bagi siapa saja yang datang ke rumah untuk berkonsultasi dengannya. Ada mahasiswa, teman dosen, calon orang tua siswa (dan anak mereka). 

Pada umumnya mereka yang saya sebutkan itu datang ke rumah untuk mencari solusi, saran, dan arah keputusan yang harus dibuat terkait masalah pribadi mereka. Ada mahasiswa galau karena pedekate geje dengan seseorang yang ditaksirnya, ada kolega yang bingung mengarahkan anaknya mau masuk sekolah lanjutan apa, ada orang tua dan anaknya yang datang jauh-jauh dari luar kota meminta anaknya ditampung di asrama tempat bapak bekerja, setelah anak tersebut ditolak menjadi siswa di sekolah lain di kotanya, ada pengasuh asrama datang melaporkan anak asrama "hilang", dan sebagainya. Rumah kami yang sederhana menjadi "sibuk" dengan kunjungan orang-orang secara silih berganti.

Biasanya setelah itu, bapak berbincang tentang tamunya dengan ibuk, dan menurut persepsi saya yang masih kecil saat itu, perbincangan itu menghasilkan empati dan dukungan ibuk, yang turut menjadi nyonya rumah yang baik bagi para tamu. Ibu sendiri sebelum pensiun adalah kepala sekolah SD Negeri yang seingat saya -- dalam kapasitasnya yang terbatas, "cuma" bisa menyisihkan sebagian kecil gaji bulanannya untuk membayari makan siang harian dua orang guru honorer di sekolahnya.

Di lingkungan tetangga, hal yang sama juga mewarnai interaksi orang tua (khususnya bapak) dengan para tetangga. Ada yang datang "minta obat", ada yang datang "pinjam uang", padahal hidup kami sangat sederhana cenderung "pas-pasan", bukan yang berkelimpahan. Ada beberapa indikator yang membuat saya memahami bahwa bapak suka membantu orang yang membutuhkan. Apa saja, bukan hal-hal besar atau masif, namun dari reaksi orang-orang itu, mereka tampak berterima kasih dan "lega" melibatkan bapak dalam mencari solusi kesulitan mereka.

Bapak yang tidak mengenal lelah "melayani orang banyak" maupun keluarga, melupakan kesehatannya sendiri. Kebetulan beliau perokok berat. Di usianya yang masih 44 tahun, beliau pergi untuk selamanya karena pendarahan otak. Satu hal yang masih terbayang sampai kini, perjalanan dari rumah ke makam, dan upacara pemakaman bapak dihadiri oleh pelayat yang mengular. Karena makamnya sedikit di luar kota, pelayat turut ke makam dalam iring-iringan mobil dan motor yang membuat para tetangga tertangkap dengar membicarakan bapak (almarhum) yang tampaknya meninggalkan banyak orang yang kehilangannya.

Sebelum pemberangkatan jenazah, ada beberapa sambutan. Pun beberapa pelayat yang menyalami ibuk, mengatakan kurang lebihnya betapa mereka kehilangan "tempat berkeluh kesah dan mendapat pertolongan." Sepasang bapak sepuh bersama isterinya menyalami ibuk, "Kulo saged mriki amargi sampun saged mlampah, dipijat teratur oleh bapak." (Jw.: "Saya bisa ke sini karena sudah bisa berjalan setelah dipijat oleh bapak"). Memang, bapak tua itu sembuh dari stroke yang membuatnya lumpuh, setelah seminggu sekali mendapat pijatan bapak secara sukarela di rumah "pasien" itu. Mereka itu yang kalau keluarga kami mencari asisten rumah tangga, mereka yang mencarikan.

Suatu hari yang sedang hujan, ayah yang berangkat ke kantor, namun balik ke rumah bersama seorang penjual gulai kambing. Bapak pulang kembali ke rumah untuk (mendadak) mengobati "tukang gulai kambing" ini yang entah mengapa terpeleset di jalan, dan kakinya tersiram gulai kambingnya yang panas langsung dari belanga yang dipikulnya. 

Tanpa segan-segan dan risih, bapak mengambil "Salvita" (salep minyak ikan buat mengobati luka bakar) di sekujur kaki Tukang gulai kambing. Kita tahu, tersiram air panas perlu tindakan penanganan yang tepat dan segera, karena bila itu tidak dilakukan akan mengakibatkan kulit melepuh hebat. Seminggu kemudian kami kedatangan Tukang gulai kambing itu, untuk mengucapkan terima kasih dan memberi tahukan kabar baik kesembuhannya. Bapak bukan dokter atau perawat, namun kotak obat di rumah lengkap isinya dan "siap dipakai" buat yang membutuhkan. Pernah membaca dan tinggal bersama dokter, bapak punya sedikit keterampilan tentang PPPK (perawatan pertama pada kecelakaan).

Ini sekadar ilustrasi, karena menceritakan kebaikan keluarga sendiri akan menjadi seperti pamer atau berbual tentang jasa diri, dan itu bukan maksud tulisan ini.

 Mencoba meninjau kilas balik kehidupan, saya rasa kami anak-anaknya belum ada yang setara dengan "kualitas" jiwa penolong dan perjuangan yang bapak miliki. Apakah ini karena zaman berbeda? Lingkungan tempat tinggal dan kehidupan yang berbeda? Tuntutan kebutuhan keluarga dan profesi yang berbeda? Atau mungkin ini bukan hal yang bisa diperbandingkan karena ini soal jeruk dan apel?

Pertanyaan-pertanyaan yang lebih cocok menjadi perenungan pribadi. Satu pokok pikiran saya, pahlawan dan kepahlawanan adalah tentang pengorbanan tulus demi menolong, atau memberi solusi positif bagi orang lain tanpa pandang bulu, yang sifatnya lebih universal daripada sekadar memikirkan pemenuhan kebutuhan pribadi, golongan, atau lebih sempit lagi -- keluarga, kerabat, atau bahkan diri sendiri.  Pahlawan, adalah mereka yang mengalahkan ego pribadi demi tujuan mulia yang penting dan bermanfaat bagi banyak orang. Mereka mungkin ada dalam setiap aspek kehidupan, pahlawan literasi, pahlawan lingkungan hidup, pahlawan bangsa, sebutkan saja pahlawan dari sudut pandang atau versi Anda. 

Oh! Kalau pahlawan ideal saya saat ini? Menurut saya, dengan cepat bisa saya sebutkan beberapa, dan mereka adalah yang gagah berani turut serta membangun negeri, dan itu mereka lakukan sebagai bagian dari tugas dan misi negara yang mulia dengan tidak menyalahgunakan kekuasaan, dan mereka kebetulan ada di jajaran Kabinet Kerja, antara lain: Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri Keuangan Mulyani, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, para atlet Asian Games 2018, para atlet Para Asian Games 2018, dan ehem ehem (saya simpan saja satu nama ini). Selamat Hari Pahlawan, 10 November 2018. | Indria Salim |

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun