Lebih dari lima puluh Kompasianer yang hadir antusias mengikuti acara dari awal, termasuk sebagian yang mengajukan pertanyaan dan usulan kritis, misalnya tentang kemungkinan pemerataan yang meningkatkan sekolah yang kurang unggul dengan sistem non-zonasi; kebijakan Pemerintah terkait peraturan akselerasi pendidikan bagi siswa sekolah non-formal; penyalahgunaan SKTM; dan aturan mutasi guru berdasarkan zonasi.
SKTM, adalah produk hukum memuat peraturan yang sudah bagus. Maka disayangkan bila implementasinya ada pelanggaran oleh masyarakat maupun pejabat pelaksana, yang disalahkan aturannya. Kemendikbud mendorong penindakan pelaku pelanggaran tidak hanya terhadap orang tua siswa saja, namun juga pejabat yang menerbitkan SKTM yang bersangkutan.
Pelanggaran hendaknya dilaporkan ke polisi karena penindakannya di luar kewenangan Kemendikbud. Hal lain, jika SKTM yang tidak memenuhi syarat itu dicabut, anak yang bersangkutan harus tetap bisa bersekolah, jangan sampai siswa itu menjadi korban ambisi orang tua. Masa depan anak SMP dan SMA masih panjang, solusi sebaiknya diselesaikan dengan baik.
Ada sekolah yang tidak kebagian siswa. Sekolah negeri memang lebih murah. Ini membuat orang tua berusaha menyekolahkan anak di sekolah negeri, walaupun ada juga orang tua yang sejak awal memasukkan anak ke sekolah swasta. Menurut Ari Santoso, untuk mendapatkan solusi tepat, secepatnya akan diadakan pertemuan di Dinas agar pihak sekolah negeri dan swasta duduk bersama membahas soal zonasi ini. Tujuannya, agar Dinas tidak membedakan perlakuan terhadap sekolah swasta dan negeri. Bagaimanapun menurut Ari, pemerintah mengapresiasi peran positif sekolah swasta di bidang pendidikan.
Tentang Penindakan Pelanggar Pelaksanaan SKTM
Tidak semua daerah berani menindak pelanggar SKTM. Ini antara lain karena pelaku pelanggaran mungkin lebih "berkuasa" atau punya "jabatan lebih tinggi". Di Jawa Tengah, ada sejumlah 78.000 SKTM yang dibatalkan, justru atas inisiatif orang tua. SKTM merupakan tanggung jawab pejabat yang berwenang.
Pemerataan Mutu Sekolah
Berpijak dari asumsi bahwa sekolah unggulan memberi hasil signifikan dalam penerimaan bantuan prasarana dan sarana sekolah. Jika model penerimaan siswa mengandalkan seleksi nilai, maka akan sulit menaikkan mutu sekolah yang bukan unggulan. Dana dari dinas kcenderung diberikan kepada sekolah berkualitas, tempat berkumpulnya siswa berprestasi.Â
Penyebabnya, antara lain karena sekolah "pinggiran" kurang menunjukkan dampak atas pemberian insentif. Maka, sistem zonasi PPDB diterapkan untuk mengurangi efek homogin para siswa, sehingga siswa pun belajar memahami bahwa di lingkungan sekolahnya ada keberagaman kemampuan dan kecerdasan, tidak semua siswa itu pintar.
Kemendikbud serius mempertimbangkan kajian tentang prioritas yang lebih utama -- sekolahnya dulu yang dimajukan, atau sistemnya? Sejauh ini kebijakan penerimaan siswa baru dengan model zonasi memberikan hasil yang baik dan senderung berhasil. Perlu diketahui, di luar negeri itu sejak awal sistim penerimaan sekolah memang dirancang untuk zonasi.Â