Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bukan Sekadar Biskuit Celup

18 Mei 2016   08:24 Diperbarui: 18 Mei 2016   10:32 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini hanya catatan pagi.

Bangun pagi, merasakan sakit gigi. Baru saja seminggu lalu kukunjungi dokter gigi langganan. Semua bagus, karena aku kontrol ke dokter gigi enam bulan sekali, seperti anjuran ahli kesehatan gigi.

Cenut-cenut, badanku meriang --- panas dingin rasanya. Kuteringat dua minggu lalu, pinggang belakang yang terasa panas, pegal, dan sakit setiap kali kubangkit dari duduk.

Sudah usia? Nggak juga. Banyak orang-orang di sekitarku yang usianya jauh lebih tua. Oma Mimin depan rumah yang masih bersepeda kalau berbelanja, ya – mengayuh sepedanya yang mini, namun dikayuhnya dengan sepenuh tenaga .. syiuuut, syiuuut, seeerrrr, begitu bunyi kayuhan sepeda Oma Mimin yang mendahului langkah jalan pagiku.

Sakit gigi ini membuatku uring-uringan. Mereka yang berpapasan denganku hanya kuberi seulas senyuman, tanpa sapaan. Namanya sakit gigi, konon lebih menyengsarakan daripada sakit hati, ah segitunya ya.

Anjing pudel dengan sang Nyonyah, terdengar langkah larinya yang tak tik tuk plak plik pluk .. membuat aku menoleh ke arah belakang .. pudel memeletkan lidahnya, oh lucunya. Pudel dan sang Nyonyah, kuberi seulas senyuman, maklum aku kan sakit gigi.

Sakit gigi semakin menggangguku. Sesampai di rumah sehabis jalan pagi, aku uring-uringan hanya karena soal sepele. Banyak hal yang membuatku harus berbicara sementara aku hanya ingin meredakan ketidaknyamanan ini. Derum mesin mobil yang di parkir di depan rumah, menumpang parkir di depan pohon manggaku. Ah, supir taksi yang kurang edukasi. Atau, pelanggan taksi yang sudah ditunggu lama oleh taksi, namun kelamaan di kamar mandi.

“Pak, kalau nunggunya masih lama mending mesinnya dimatikan saja. Polusi, dan mengganggu konsentrasi kerja saya.  Atau, parkir aja di depan rumah yang pesan, rumah sebelah mana itu? Tolong ya,” pesanku singkat.

Bukan sekali ini aku dibikin jengkel dan heran oleh orang-orang yang sukanya menghidupkan mesin mobil berlama-lama, persis di depan tempat tinggalku. Bahkan pernah malam hari pas semua sedang nyenyak tidur, lha kok tidak tahu diri sekali. Aneh, kusamperin sambil senyum, kuketok kaca jendela mobilnya, malah ada wanita muda di depan sopir nanya, “Ada apa?”

“Mbak, sedang nunggu seseorang, namu, atau bagaimana? Parkirnya depan rumah yang mBak kunjungi saja. Itu kalau mau terus menghidupkan mesin. Lihat nggak, di kawasan ini semua rumah mematikan lampu? Semua sedang tidur, mBak, saya juga – tapi kebangun karena derum mesin mobil mbak, yang sudah hampir setengah jam!”

Begitulah, bermula dari sakit gigi pagi hari, membawa pada lintasan pikiran yang berlalu lalang dan bikin pikiranku teralihkan. Cenat-cenut nyaris terlupa. Oups, gimanapun, aku akan tanyakan soal ini ke dokter gigi langganan, jangan-jangan ada gangguan yang di luar kontrol si dokter saat aku ke sana minggu lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun