Awalnya perbincangan dengan Gibran, agak garing (menurut Penulis), karena Najwa Shihab tampak agak mati langkah mencoba menembus wajah datar Gibran, yang memang menampilkan kepribadian yang dari awal publik melihatnya pada saat pelantikan Jokowi menjadi Presiden, yang oleh sebagian publik dipersepsikan sebagai tanda kesombongan, dan tidak bisa mengendalikan diri, demam panggung tampil di depan publik.
Apakah publik masih punya anggapan yang sama, atau mulai memahami bahwa itulah Gibran apa adanya. Sampai beberapa kali pancingan pertanyaan dan komentar dilontarkan oleh Najwa, reaksi dan jawaban Gibran sama, “Itu biasa saja.”, “Ya, memang itu beneran biasa saja”, dengan senyum tipisnya yang khas.
Dari sini, Penulis mulai memahami bahwa “biasa saja” itu maknanya luas, dan menceritakan banyak hal. Penulis ingat bahwa apa yang “biasa, atau sederhana” itu tidak selalu mudah dipahami, bila publik justru mengharapkan reaksi atau penampilan tidak biasa oleh seseorang yang dipandang sebagai bagian dari public figure. Karena itu rupanya apa yang “biasa saja” bagi Gibran, dianggap “nyleneh”, atau “kurang bisa diterima” oleh sebagian publik, yang mungkin mengharapakan Gibran bersikap selayaknya anak Presiden Jokowi yang ramah, sering tertawa (yang oleh haters dulu sempat dianggap calon pemimpin cengengesan).
[caption caption="Menu Chilli Pari: Sup Galantine | Foto: chilliparicatering.com"]
Toh Gibran adalah Gibran, yang meskipun sebagai anak Presiden dia menyadari fungsi keamanan yang harus dijalankan sebagai SoP Protokoler Istana kepresidenan, bahwa dia seharusnya selalu dalam pengawalan 24 jam 3 orang Paspampres. Nyatanya, Gibran malah “mengusir”, atau “menolak” kehadiran para pengawal karena kebiasaannya yang serba mandiri, dan ingin selalu bisa melakukan semua hal dalam kehidupannya sendiri, termasuk berdagang martabak dan berbisnis katering.
Tanpa mendramatisir, atau berpura-pura sederhana, Gibran memang "nyleneh" dengan penampilannya yang biasa. Tidak menampilkan gemerlap arloji di pergelangan tangannya, atau cincin bermata akik sebesar telur bebek, atau kemeja yang wah, atau rambut jabrik khas cowok metroseksual, pun bukan blangkon Solo agar terkesan punya tanda kebangsawanan.
Gibran menghayati posisinya menjadi seorang anak pengusaha mebel, yang dari sana ia ingin juga bisa menjadi pengusaha mandiri dengan pilihan bisnisnya. Gibran melihat peluang berbisnis katering karena ayahnya punya gedung, gedung yang kemarin tempat saya nikah itu – “Graha Saba” yang belasan tahun berdiri dan tidak punya akatering, itu salahnya Bapak di situ. Ada gedung, tidak ada jasa penyediaan makanan, padahal orang nikah biaya terbesar kan ada di makanan”. Maka ia mulai mencoba bisnis itu.
Sebelum Chilli Pari berdiri, banyak orang mendekati saya. Blah blah blah. Ketika “Chilli Pari berdiri, marketing saya larang untuk menerima pesanan dari Pemkot. Semua orang bingung, lho aneh banget ini.”
“Bisnis dan politik itu jangan dicampur adukkan. Saya ingin Bapak berjalan, dan saya juga berjalan, jadi kan sama-sama enak gitu lho. … memang ada pesan Bapak (agar tidak memanfaatkan posisi sebagai anak pejabat), tapi saya sadar dirilah.”
Bisnis saya sudah ada semua sebelum Bapak jadi Presiden.
Prinsip bisnis Gibran, orang pesan makanan saya karena rasa dan pelayanannya, dan saya tidak peduli motif mereka, apakah itu karena mereka begitu karena saya anak Presiden ya itu terserah mereka, yang penting mereka puas dengan jasa katering saya.