Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Tulisan Fakta, Fiksi, atau Faksi?

15 Oktober 2015   09:30 Diperbarui: 2 April 2016   19:52 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca beberapa tulisan terbaru dalam 24 jam ini, mendadak terbetik lamunan menggelitik di benak saya. Tulisan-tulisan yang menggugah rasa kepo, baik bermuatan pemikiran kritis maupun imajinasi detektif investigatif, membuat saya takjub, bingung, heran, dan nano-nano – ibarat permen jadul yang intinya menyajikan rasa manis, asem, pahit, asin, anyir, dan penguk rasanya.

Memanjakan lamunan mengembara, maka muncullah pertanyaan yang mengundang jawab tak bertepi. Pernah belajar atau membaca ‘teori’ tentang menulis meskipun hanya sedikit, saya mengenal gagasan berawal dari elemen 5W + 1 H, yaitu Who? What? When? Where? Why, dan How?

[caption caption="Belajar menulis non-fiksi | Foto: Indria Salim"][/caption]

Elemen 5W + 1 H itu berguna dalam mengembangkan gagasan menjadi tulisan lengkap, baik untuk cerita fiksi ataupun esai non-fiksi. Kelima elemen ini akan membentuk sebuah tulisan dahsyat, bila diramu dan diolah oleh ahlinya, dengan beberapa bumbu dan seni mengukir kata dan logika lainnya. Misalnya saja, seni mengolah fakta menjadi kisah fiksi, maka ceritanya akan berlabel, “Based on True Story”. Pembaca novel, cerpen, atau penonton film kadang rancu dengan label ini, karena dalam benak mereka, terbayangkan kisah nyata yang dipaparkan dalam sebuah paket padat nan lengkap yang memberi daya tarik luar biasa.

Sutradara terkenal Steven Soderbergh mengangkat sebuah kisah nyata ke dalam film peraih piala Oscar untuk kategori aktris utama, berjudul “Erin Brockovich” (produksi 2002), yang tokoh utamanya dibintangi oleh  bintang kenamaan Hollywood, Julia Roberts. Saya beruntung menonton akting Julia Roberts, salah satu bintang favorit saya. Singkat kata, film ini memang dibuat berdasarkan kejadian nyata, tentang Erin Brokovich, orang tua tunggal beranak tiga, berjuang untuk mendapatkan pekerjaan. Hidup Erin berubah setelah dirinya tanpa sengaja mengalami hal yang membuatnya harus berurusan dengan kasus pelanggaran hukum berdampak pada kerusakan lingkungan dan efek kesehatan pada warga di wilayah tertentu. Erin tidak tahan untuk melakukan penyelidikan tentang kasus usaha properti yang menghasilkan limbah industri beracun di kawasan sekitar perusahaan properti tsb.: namanya Pacific Gas & Electric Company.

Itu salah satu contoh kisah nyata yang diangkat menjadi sebuah “cerita film”, dikembangkan dari sebuah sinopsis, lalu skenario, dan akhirnya bagaimanapun, masuk kategori “cerita hiburan”. Dalam hal ini, pemirsa pada umumnya cenderung menganggap sebagai “sebuah kisah nyata (non-fiksi)”. Mungkin karya seperti ini bisa kita jumpai dalam bentuk memoir, biografi, sejarah, atau antologi kisah nyata.

Bagaimana halnya dengan kisah fiksi yang terinspirasi dari kisah nyata? Itu beda lagi. Hal termudah menulis cerita seperti ini, biasanya dengan cara menulisnya dengan memakai sudut pandang orang pertama tunggal (saya, aku, gue). Penulis melakukan eksplorasi dan bernarasi dengan tokoh utama: “saya”, “aku”, “gue”.

Menurut para pakar menulis (fiksi), ada kelebihan dan kekurangan dalam penggunaan setiap sudut pandang penulisan fiksi. Nah, ini sudah khusus tentang menulis cerita fiksi.

[caption caption="Belajar menulis fiksi | Foto: Indria Salim"]

[/caption]

Bagaimana menulis di Kompasiana? Kalau Kompasianer menulis hasil liputan event, tentu menempatkan artikelnya di kanal yang sesuai. Sebaliknya, kalau Kompasianer membuat puisi, sajak, cerita pendek, dongeng, tentu kanal fiksi yang dituju.

Apakah kategori dan penempatan serta jenis (baca: isi) tulisan bisa dikenali sesederhana itu? Pembacalah yang sebaiknya menilainya. Di era transformasi rezim, juga saat suasana perpolitikan Indonesia dalam eskalasi persaingan memanas, kita bisa mengamati banyak karya Kompasianer yang secara konten adalah antara fiksi, non-fiksi, fiksi yang mengadopsi dan mengolah gagasan dari kejadian nyata, dan faksi (fakta yang dikemas seperti fiksi). Nah!

Lanjut! Dalam sebuah tulisan baik fiksi atau non-fiksi, adanya tuntutan logika itu sebuah keniscayaan. Bahkan dalam menulis novel atau cerpen (yang baik, seperti yang kita baca dalam karya-karya dunia dan karya besar lainnya), sebenarnya ada pengujian logika dari plot, konsep, dan alur ceritanya. Ini tentang tokohnya (who), latar lokasi (setting), waktu, dan penyelesaian konfliknya dsb.

Kita ambil satu contoh lagi, terkait tulisan-tulisan trending: salah satunya seputar GT bersama dua Kompasianer. Tulisan berikut INI  bertajuk, “Pertemuan dengan Kompasianer Misterius”, saya temukan dari pencarian di Google, bermodalkan kata kunci berdasarkan ingatan tentang judul sebuah tulisan di K (terhapus), yang menjadi awal perbincangan internal yang menjadi tajuk berita nasional.

Dalam contoh itu, saya sendiri sulit menjabarkan sebuah analisis, apalagi untuk bisa membuat sebuah kesimpulan yang penuh otoritas dan validitas tinggi dipandang dari berbagai perspektif keahlian (psikologis, legal, artistik, fotografis, moralitas sosial dan personal, dan sebagainya .

Terkait dengan contoh tulisan di atas, saya sebagai pembelajar hanya bisa merenungkan pertanyaan seperti ini: 'Apakah “Kompasianer” tersebut benar-benar tokoh “misterius” bagi penulis dan temannya (yang juga Kompasianer)?'

Dalam artikel itu (atau apalah namanya) diceritakan bahwa penulis sudah pernah bertemu sebelumnya, dan diungkap K naik Harley. Artinya, saat menulis artikel seperti disebutkan di atas, penulis menggunakan kata “K misterius” ditujukan pada pembaca (K-ers) pada umumnya, kecuali penulisnya sendiri dan temannya yang bersama dia.

Penulis dalam artikel yang disebutnya sebagai “reportase” ini lupa bahwa pembaca adalah orang dewasa yang bisa menulis juga, dan karenanya sedikit banyak paham perlunya sinkronisasi foto (ilustrasi) yang dipakai untuk melengkapi repostase “live kopdar”nya. Saya suka fotografi, apakah saya akan menulis kepsyen, “ini tangan Eyang Buyut saya yang berusia 85 tahun” bila fotonya menampilkan gambar tangan mulus tanpa kerut, keriput, dan kerinyut sebagai tanda orang berusia 85 tahun?

Sebagai pembaca awam, saya terhibur dengan tulisan bergaya ngocol, penuturan renyah, dan membuat banyak pembaca merasa terlibat di dalamnya. Saya mengambil jarak, dan menempatkan diri sebagai pembaca yang bukan warga Kompasiana. Saya akan menyukai tulisan tersebut, meski di benak menyimpan selusin tanya dan rasa penasaran terkait nama-nama yang disebutkan di situ. Ah anggap saja itu nama tokoh-tokoh figuran dalam sebuah cerita. Tapi kok banyak hal terkesan nyata? Sebagai pembaca “publik”, saya akan bingung dengan persepsi yang terbangun dari bacaan itu, ini satire, cerita humor, fiksi dengan nama tokoh fakta, atau bagaimana?

 

Salam Kompasiana | Indria Salim

*Sebagai pembaca “publik”, saya menyimpan banyak tanya – dan menutup dan menjawabnya sendiri dengan sebuah kesimpulan (sementara), “ini cerita internal, bukan konsumsi publik jagadsiana, kecuali jagad itu bernama Kompasiana.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun