Lanjut! Dalam sebuah tulisan baik fiksi atau non-fiksi, adanya tuntutan logika itu sebuah keniscayaan. Bahkan dalam menulis novel atau cerpen (yang baik, seperti yang kita baca dalam karya-karya dunia dan karya besar lainnya), sebenarnya ada pengujian logika dari plot, konsep, dan alur ceritanya. Ini tentang tokohnya (who), latar lokasi (setting), waktu, dan penyelesaian konfliknya dsb.
Kita ambil satu contoh lagi, terkait tulisan-tulisan trending: salah satunya seputar GT bersama dua Kompasianer. Tulisan berikut INI bertajuk, “Pertemuan dengan Kompasianer Misterius”, saya temukan dari pencarian di Google, bermodalkan kata kunci berdasarkan ingatan tentang judul sebuah tulisan di K (terhapus), yang menjadi awal perbincangan internal yang menjadi tajuk berita nasional.
Dalam contoh itu, saya sendiri sulit menjabarkan sebuah analisis, apalagi untuk bisa membuat sebuah kesimpulan yang penuh otoritas dan validitas tinggi dipandang dari berbagai perspektif keahlian (psikologis, legal, artistik, fotografis, moralitas sosial dan personal, dan sebagainya .
Terkait dengan contoh tulisan di atas, saya sebagai pembelajar hanya bisa merenungkan pertanyaan seperti ini: 'Apakah “Kompasianer” tersebut benar-benar tokoh “misterius” bagi penulis dan temannya (yang juga Kompasianer)?'
Dalam artikel itu (atau apalah namanya) diceritakan bahwa penulis sudah pernah bertemu sebelumnya, dan diungkap K naik Harley. Artinya, saat menulis artikel seperti disebutkan di atas, penulis menggunakan kata “K misterius” ditujukan pada pembaca (K-ers) pada umumnya, kecuali penulisnya sendiri dan temannya yang bersama dia.
Penulis dalam artikel yang disebutnya sebagai “reportase” ini lupa bahwa pembaca adalah orang dewasa yang bisa menulis juga, dan karenanya sedikit banyak paham perlunya sinkronisasi foto (ilustrasi) yang dipakai untuk melengkapi repostase “live kopdar”nya. Saya suka fotografi, apakah saya akan menulis kepsyen, “ini tangan Eyang Buyut saya yang berusia 85 tahun” bila fotonya menampilkan gambar tangan mulus tanpa kerut, keriput, dan kerinyut sebagai tanda orang berusia 85 tahun?
Sebagai pembaca awam, saya terhibur dengan tulisan bergaya ngocol, penuturan renyah, dan membuat banyak pembaca merasa terlibat di dalamnya. Saya mengambil jarak, dan menempatkan diri sebagai pembaca yang bukan warga Kompasiana. Saya akan menyukai tulisan tersebut, meski di benak menyimpan selusin tanya dan rasa penasaran terkait nama-nama yang disebutkan di situ. Ah anggap saja itu nama tokoh-tokoh figuran dalam sebuah cerita. Tapi kok banyak hal terkesan nyata? Sebagai pembaca “publik”, saya akan bingung dengan persepsi yang terbangun dari bacaan itu, ini satire, cerita humor, fiksi dengan nama tokoh fakta, atau bagaimana?
Salam Kompasiana | Indria Salim
*Sebagai pembaca “publik”, saya menyimpan banyak tanya – dan menutup dan menjawabnya sendiri dengan sebuah kesimpulan (sementara), “ini cerita internal, bukan konsumsi publik jagadsiana, kecuali jagad itu bernama Kompasiana.*