Dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi telah memperkenalkan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Salah satu kebijakan yang menjadi perhatian masyarakat khususnya orang-orang yang terlibat dalam pendidikan seperti guru, siswa, dan lainnya adalah implementasi kurikulum merdeka. Gagasan ini mengusung semangat kebebasan belajar dengan harapan menciptakan proses pembelajaran yang lebih relevan, inklusif, dan berorientasi pada pengembangan kompetensi peserta didik. Namun, meskipun memiliki tujuan yang sangat mengarah untuk kemajuan pendidikan di Indonesia, pelaksanaan kurikulum merdeka di lapangan menghadapi berbagai tantangan yang perlu mendapat perhatian serius terutama dari pemangku dan pembuat kebijakan.
Paradigma Baru yang Inovatif
Kurikulum merdeka bertujuan memberikan kebebasan bagi sekolah untuk menentukan metode pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan karakteristik lokal. Dalam kerangka ini, guru diharapkan dan didorong untuk lebih kreatif dalam mengembangkan bahan ajar, sementara siswa diberikan ruang untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka tanpa tekanan ujian nasional yang dinilai kaku aturannya. Namun, realitanya, paradigma ini terlihat terlalu terburu-buru bagi sebagian besar sekolah di Indonesia. Banyak sekolah, terutama di daerah terpencil, belum memiliki infrastruktur atau fasilitas dan sumber daya manusia yang memadai untuk mengimplementasikan kebijakan ini secara optimal dan maksimal. Misalnya, akses terhadap perangkat teknologi masih menjadi kendala besar. Di era kurikulum merdeka yang berbasis digital, banyak sekolah yang bahkan belum memiliki akses internet stabil, apalagi perangkat seperti komputer atau gadget yang dibutuhkan untuk menunjang proses pembelajaran.
Beban Tambahan bagi Guru
Guru sebagai kunci dalam keberhasilan pembelajaran di kelas menjadi salah satu pihak yang paling terdampak oleh perubahan kurikulum merdeka ini. Dalam kurikulum merdeka, guru dituntut untuk memiliki kemampuan yang lebih kompleks, termasuk kemampuan menyusun modul ajar secara mandiri, menggunakan teknologi dalam pembelajaran, serta melakukan asesmen formatif dan sumatif yang berbasis kompetensi. Sayangnya, pelatihan dan pendampingan bagi guru untuk menghadapi perubahan ini masih sangat minim dan terbatas. Sebagian besar pelatihan dilakukan secara daring dengan durasi yang terbatas, sehingga tidak memberikan dampak yang signifikan bagi penguasaan materi oleh para guru. Akibatnya, banyak guru merasa kewalahan dalam menerapkan kebijakan ini di kelas. Selain itu, dalam praktiknya, kebijakan ini menambah beban administratif yang sudah berat sehingga terdapat guru yang merasa terbebani. Guru harus menyusun laporan dan dokumen yang sesuai dengan standar kurikulum merdeka, sementara waktu mereka untuk fokus pada proses pembelajaran justru semakin berkurang dan terbatas.
Â
Ketidakseimbangan Pendidikan Antarsekolah
Kurikulum merdeka juga menimbulkan tantangan dalam hal perbedaan antarsekolah. Kebijakan ini memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mengadaptasi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Namun, tanpa dukungan yang memadai, sekolah-sekolah di daerah tertinggal dan terpencil sering kali tertinggal dibandingkan dengan sekolah di perkotaan yang memiliki akses lebih baik terhadap sumber daya dan pelatihan maupun fasilitas. Ketidakseimbangan ini berpotensi memperbesar kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia. Sekolah yang berada di daerah maju dapat mengembangkan inovasi pembelajaran yang sesuai dengan visi misi kurikulum merdeka, sedangkan sekolah yang kekurangan fasilitas dan sumber daya justru semakin tertekan dengan tuntutan kurikulum baru yaitu kurikulum merdeka.
Harapan untuk Perubahan
Meski menghadapi banyak tantangan, kurikulum merdeka tetap menyimpan harapan besar untuk masa depan pendidikan di Indonesia. Untuk mewujudkan visi besar dari kebijakan penerapan kurikulum merdeka, ada beberapa langkah yang dapat diambil:
Pertama, penguatan infrastruktur pendidikan. Pemerintah perlu memastikan bahwa semua sekolah memiliki akses terhadap infrastruktur dasar seperti internet, perangkat teknologi dan fasilitas pendukung lainnya. Tanpa infrastruktur yang memadai, penerapan kurikulum merdeka akan sulit mencapai hasil yang diharapkan.
Kedua, peningkatan kompetensi guru. Pelatihan guru harus dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Pendampingan langsung di lapangan juga sangat penting untuk membantu guru memahami dan mengimplementasikan kurikulum dengan lebih baik. Selain itu, beban administratif guru perlu dikurangi agar mereka dapat lebih fokus pada proses pembelajaran.
Ketiga, pengawasan dan evaluasi yang tepat. Pemerintah harus melakukan pengawasan dan evaluasi yang menyeluruh terhadap penerapan kurikulum merdeka. Hal ini termasuk mengidentifikasi masalah yang diharapi oleh sekolah dan guru diberbagai daerah, serta memberikan solusi yang konkret.
Keempat, pemberdayaan komunitas sekolah. Kewenangan sekolah dalam kurikulum merdeka harus diimbangi dengan pemberdayaan komunitas atau komite sekolah, termasuk melibatkan orang tua siswa dan masyarakat sekitar. Dengan demikian, proses pembelajaran dapat menjadi lebih kolaboratif dan relevan dengan kebutuhan lokal.
Jadi, penerapan kurikulum merdeka merupakan langkah progresif dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, tanpa dukungan dan fasilitas yang memadai, kebijakan ini beresiko menjadi beban tambahan bagi sekolah dan guru serta memperburuk kesenjangan pendidikan antarsekolah. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam pelaksanaan kebijakan ini. Dengan dukungan yang tepat, kurikulum merdeka dapat menjadi tonggak penting dalam menciptakan pendidikan yang lebih inklusif, relevan dan bermutu bagi semua siswa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H