Mohon tunggu...
Indra Agung Putrantoro
Indra Agung Putrantoro Mohon Tunggu... Musisi - Musician | Diploma in Optometry | Undergraduate Student in History Education

Seorang penikmat musik dan sejarah yang santuy, no offense dan jangan terlalu serius dengan tulisan-tulisan dari saya.. Surel : indra.putrantoro@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Laksamana Malahayati, Tidak Seharum Kartini Namun Sekuat Artemisia

7 Juni 2022   14:40 Diperbarui: 7 Juni 2022   14:53 901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan Laksamana Malahayati di Kalimalang. Sumber: Kumparan.com

Di suatu senja ketika saya melakukan perjalanan menggunakan sepeda motor dari kota Bekasi menuju ke kota Jakarta melewati rute jalan Kalimalang, di pinggiran jalan tertera papan berwarna hijau yang tertulis bahwa nama jalan yang sedang kami lalui ini sesungguhnya bernama jalan Laksamana Malahayati dan bukanlah jalan Kalimalang seperti yang diketahui kebanyakan orang pada umumnya. 

Kemudian saya pun iseng menguji pengetahuan istri saya dengan bertanya "kamu tahu tidak siapa itu Laksamana Malahayati?" dan sesuai prediksi saya dia pun dengan lugas menjawab "tidak tahu", sebuah jawaban yang lumrah saya dapatkan dari orang-orang di sekitar saya ketika saya mencoba menanyakan tentang sosok perempuan hebat yang bernama Laksamana Malahayati ini.

Jika kita membahas tentang pahlawan perempuan di Indonesia tentu saja orang-orang akan mudah untuk mengingat dan menyebut nama-nama pahlawan perempuan yang cukup familiar di masyarakat umum seperti RA Kartini dan Raden Dewi Sartika. 

Hal ini sangat berbeda dengan Laksamana Malahayati, jangankan kisah kepahlawanannya nama seorang Keumalahayati pun seolah kurang familiar di telinga masyarakat pada umumnya. Bahkan nama Malahayati baru muncul di lagu yang tentu saja bukan lagu wajib nasional pada tahun 2010 dimana musisi legendaris Iwan Fals menjadikan Malahayati salah satu judul lagunya pada album Keseimbangan. 

Dan Laksamana Malahayati pun baru disahkan menjadi Pahlawan Nasional pada tanggal 6 November 2017 oleh Presiden Joko Widodo. Lantas siapakah dan bagaimana sepak terjang Malahayati ini semasa hidupnya?

Keumalahayati nama lengkapnya, lahir pada tanggal 1 Januari 1550 di Aceh Besar yang merupakan wilayah dari Kesultanan Aceh yang saat itu merupakan Kesultanan yang mengembangkan pola serta sistem pendidikan militer, memiliki komitmen untuk konsisten menentang imperialisme bangsa Eropa serta memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik. 

Bahkan Kesultanan Aceh yang saat itu merupakan wilayah protektorat dari Kesultanan Turki Usmani dikenal telah mendirikan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan serta menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara lain. 

Ayahnya adalah seorang Laksamana yang bernama Mahmud Syah yang merupakan putra dari Laksamana Muhammad Said Syah. Jadi Malahayati ini merupakan keturunan langsung dari Sultan Salahuddin Syah yang merupakan anak dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah yang merupakan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam.

Pada zaman Keumalahayati masih remaja Kesultanan Aceh Darussalam telah memiliki Akademi Militer yang bernama Mahad Baitul Makdis yang terdiri dari jurusan Angkatan Darat dan jurusan Angkatan Laut dengan instruktur-instruktur dari Turki. 

Setelah melalui pendidikan agama di Meunasah, Rangkang dan Dayah kemudian Keumalahayati ingin mengikuti jejak ayahnya yang pada waktu itu telah menjadi Laksamana. 

Sebagai seorang anak yang mewarisi darah bahari, Keumalahayati bercita-cita ingin menjadi pelaut yang tangguh. Untuk mewujudkan cita-citanya itu ia kemudian mendaftarkan diri menjadi calon taruna di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis. Berkat kecerdasan dan ketangkasannya, ia diterima sebagai siswa taruna akademi militer tersebut.

Sebagai taruna yang cerdas dengan prestasi yang menonjol tentunya banyak teman seangkatan ataupun kakak senior yang memperhatikan ataupun bahkan jatuh hati pada Malahayati. Namun Malahayati mengabaikan semua laki-laki itu dan fokus mementingkan pendidikannya. 

Walaupun pada akhirnya di kampus Akademi Militer tersebut Malahayati berkenalan dengan kakak senior yang sebentar lagi akan diangkat menjadi perwira, Zainal Abidin nama laki-laki beruntung itu. Kemudian setelah tamat pendidikan di Akademi mereka berdua pun akhirnya menikah menjadi pasangan suami-istri yang bahagia.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Pada Pertempuran Teluk Aru (Selat Malaka) antara armada Selat Malaka Aceh melawan armada Portugis, pihak Aceh berhasil memenangkan pertempuran. 

Namun kemenangan tersebut harus dibayar dengan cukup mahal. 1000 orang prajurit dan dua orang laksamana dari Kesultanan Aceh gugur di medan pertempuran. Salah satu dari dua Laksamana yang gugur tersebut tak lain dan tak bukan adalah Laksamana Zainal Abidin yang merupakan suami dari Laksamana Malahayati. 

Berita kemenangan tersebut dirayakan dengan penuh kebahagiaan oleh masyarakat Kesultanan Aceh Darussalam, namun bagi Malahayati walaupun dia ikut bahagia karena Kesultanan Aceh berhasil mengalahkan Armada Laut Portugis namun kabar suaminya yang gugur di medan laga melahirkan kesedihan dan kemarahan yang mendalam.

Menghadaplah Malahayati kepada Sultan Alauddin Riayat Syah memohon untuk dibentuknya armada pasukan militer khusus yang anggotanya terdiri dari para janda yang suaminya gugur dalam pertempuran Teluk Aru tersebut. 

Permohonan Keumalahayati pun dikabulkan oleh sang Sultan, dan dibentuklah armada yang dinamakan Armada Inong Balee (Armada Wanita Janda) dengan Laksamana Malahayati sebagai Panglima dan Teluk Krueng Raya ditetapkan sebagai pangkalan armada tersebut. 

Selain membentuk armada Inong Balee, Malahayati pun membangun benteng di Teluk Krueng Raya yang berfungsi sebagai benteng pertahanan, pusat pelatihan dan juga pusat logistik militer armada Inong Balee. 

Pada awalnya Armada Inong Balee hanya terdiri dari 1000 janda yang suaminya terbunuh pada Pertempuran Teluk Aru melawan Portugis. Namun di kemudian hari Malahayati menambah lagi prajuritnya menjadi 2000 sampai 3000 personil, termasuk di dalamnya prajurit para gadis yang memiliki keinginan untuk membela dan berjuang untuk Kesultanan Aceh.

Karir militer Keumalahayati terus menanjak hingga ia akhirnya ia menduduki jabatan tertinggi di angkatan laut Kerajaan Aceh. Sebagaimana layaknya para pemimpin pada zaman itu Laksamana Malahayati bertempur di garis depan melawan Armada Militer dari Kerajaan Portugis dan Kerajaan Belanda yang sangat ingin bisa menguasai jalur Selat Malaka. 

Di bawah kepemimpinan Keumalahayati, Angkatan Laut Kerajaan Aceh terbilang cukup besar dengan armada yang terdiri atas ratusan kapal perang. Bahkan reputasi gemilang dari Laksamana Malahayati sebagai Penjaga Pintu Gerbang Kesultanan Aceh membuat Armada Inggris yang baru datang belakangan memilih diplomasi baik-baik dibandingkan harus saling mengadu kekuatan armada militer.

Ratu Elizabeth I dikenal Sultan Aceh sebagai Ratu yang besar kekuasaannya di Eropa, yakni seorang wanita berkuasa di negeri asing nan jauh. 

Oleh karena itu sang Sultan merasa seorang wanita pula-lah yang patut menjadi panglima dan protokolnya. James Lancaster pun harus menyerahkan sepucuk surat dari Ratu Elizabeth I kepada Laksamana Malahayati dahulu untuk nantinya diteruskan kepada Sultan Aceh. 

Dengan surat dari Sultan Aceh yang ketika itu kekuasaannya bahkan meliputi Kedah dan Perak membuat James Lancaster dapat meneruskan pelayarannya menyeberangi Selat Malaka hingga sampai ke Pulau Jawa dan membuka pos dagang di Banten. Keberhasilan pelayaran inilah yang nantinya membuat James Lancaster mendapat gelar "Sir" sekembalinya ke Inggris nanti. 

Sir James Lancaster pun yang tadinya takut dengan Armada Laut Portugis kini telah mengetahui bahwa di Timur Jauh terdapat sebuah Kerajaan yang Armada Lautnya mampu melawan Armada Laut Portugis yaitu Armada Laut Kesultanan Aceh yang dipimpin oleh Laksamana Malahayati.

Dari berbagai pertempuran yang pernah Malahayati jalani, peristiwa Houtman bersaudara merupakan titik dimana karir Laksamana Malahayati melesat menuju puncak kegemilangan. 

Peristiwa ini dimulai ketika Armada kapal perang Belanda yang menyamar sebagai Armada Dagang yang dipimpin oleh Houtman bersaudara (Cornelis dan Frederijk), yang memasuki pelabuhan Aceh dan awalnya diterima dengan baik, namun ternyata malah mengkhianati kepercayaan sultan dengan membuat berbagai manipulasi dagang, mengadakan pengacauan, menghasut, dan sebagainya. 

Walaupun dalam hal ini ada peranan akibat hasutan dari salah satu orang Portugis penasehat Sultan yang kurang menyukai kedatangan orang-orang Belanda ke Nusantara akhirnya Sultan pun memerintahkan Laksamana Malahayati untuk menyelesaikan persoalan ini.

Menyadari situasi mulai panas Cornelis dan Frederijk de Houtman berkoordinasi diatas kapal membahas kemungkinan serangan dari Kesultanan Aceh kepada mereka. Dan benar saja Armada Laut Laksamana Malahayati pun menyerbu dua kapal Belanda yang dipimpin Cornelis dan Frederijk de Houtman tersebut. 

Tidak butuh waktu lama pasukan Belanda mulai kewalahan menghadapi pasukan Kesultanan Aceh. Jika pada Perang Salamis antara pasukan Persia melawan pasukan Athena, Jenderal Themistokles yang merupakan seorang politisi, hakim dan ahli strategi perang berhasil mencapai kapal Persia yang dipimpin seorang Laksamana perempuan bernama Artemisia. Pada perang kali ini justru sang Laksamana perempuan lah yang berhasil mencapai kapal Cornelis de Houtman.

Konon terjadi pertempuran yang sangat seru di geladak kapal Belanda tersebut. Diakhiri duel satu lawan satu Laksamana Malahayati berhasil mencabut nyawa Cornelis de Houtman dengan menggunakan rencongnya pada tanggal 11 September 1599. Sedangkan Frederijk de Houtman ditangkap dan dipenjara selama dua tahun lamanya.

Dengan meninggalkan berbagai kisah perjuangan dan kepahlawanan yang melegenda, Keumalahayati meninggal dunia pada tahun 1615 gugur di medan perang pada usia 65 tahun saat melindungi Teluk Krueng Raya dari serangan Portugis yang dipimpin oleh Laksamana Martim Afonso De Castro. 

Tubuhnya dikebumikan di bukit Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar. Nama Laksamana Malahayati hingga kini abadi menjadi nama jalan di berbagai wilayah Indonesia, manjadi nama pelabuhan di Krueng Raya, menjadi nama salah satu kapal perang jenis perusak kawal berpeluru kendali, dan menjadi nama Universitas di Bandar Lampung. *iap (disarikan dari berbagai sumber)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun