Sebagai seorang anak yang mewarisi darah bahari, Keumalahayati bercita-cita ingin menjadi pelaut yang tangguh. Untuk mewujudkan cita-citanya itu ia kemudian mendaftarkan diri menjadi calon taruna di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis. Berkat kecerdasan dan ketangkasannya, ia diterima sebagai siswa taruna akademi militer tersebut.
Sebagai taruna yang cerdas dengan prestasi yang menonjol tentunya banyak teman seangkatan ataupun kakak senior yang memperhatikan ataupun bahkan jatuh hati pada Malahayati. Namun Malahayati mengabaikan semua laki-laki itu dan fokus mementingkan pendidikannya.Â
Walaupun pada akhirnya di kampus Akademi Militer tersebut Malahayati berkenalan dengan kakak senior yang sebentar lagi akan diangkat menjadi perwira, Zainal Abidin nama laki-laki beruntung itu. Kemudian setelah tamat pendidikan di Akademi mereka berdua pun akhirnya menikah menjadi pasangan suami-istri yang bahagia.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Pada Pertempuran Teluk Aru (Selat Malaka) antara armada Selat Malaka Aceh melawan armada Portugis, pihak Aceh berhasil memenangkan pertempuran.Â
Namun kemenangan tersebut harus dibayar dengan cukup mahal. 1000 orang prajurit dan dua orang laksamana dari Kesultanan Aceh gugur di medan pertempuran. Salah satu dari dua Laksamana yang gugur tersebut tak lain dan tak bukan adalah Laksamana Zainal Abidin yang merupakan suami dari Laksamana Malahayati.Â
Berita kemenangan tersebut dirayakan dengan penuh kebahagiaan oleh masyarakat Kesultanan Aceh Darussalam, namun bagi Malahayati walaupun dia ikut bahagia karena Kesultanan Aceh berhasil mengalahkan Armada Laut Portugis namun kabar suaminya yang gugur di medan laga melahirkan kesedihan dan kemarahan yang mendalam.
Menghadaplah Malahayati kepada Sultan Alauddin Riayat Syah memohon untuk dibentuknya armada pasukan militer khusus yang anggotanya terdiri dari para janda yang suaminya gugur dalam pertempuran Teluk Aru tersebut.Â
Permohonan Keumalahayati pun dikabulkan oleh sang Sultan, dan dibentuklah armada yang dinamakan Armada Inong Balee (Armada Wanita Janda) dengan Laksamana Malahayati sebagai Panglima dan Teluk Krueng Raya ditetapkan sebagai pangkalan armada tersebut.Â
Selain membentuk armada Inong Balee, Malahayati pun membangun benteng di Teluk Krueng Raya yang berfungsi sebagai benteng pertahanan, pusat pelatihan dan juga pusat logistik militer armada Inong Balee.Â
Pada awalnya Armada Inong Balee hanya terdiri dari 1000 janda yang suaminya terbunuh pada Pertempuran Teluk Aru melawan Portugis. Namun di kemudian hari Malahayati menambah lagi prajuritnya menjadi 2000 sampai 3000 personil, termasuk di dalamnya prajurit para gadis yang memiliki keinginan untuk membela dan berjuang untuk Kesultanan Aceh.
Karir militer Keumalahayati terus menanjak hingga ia akhirnya ia menduduki jabatan tertinggi di angkatan laut Kerajaan Aceh. Sebagaimana layaknya para pemimpin pada zaman itu Laksamana Malahayati bertempur di garis depan melawan Armada Militer dari Kerajaan Portugis dan Kerajaan Belanda yang sangat ingin bisa menguasai jalur Selat Malaka.Â