Mohon tunggu...
Indra Wardhana
Indra Wardhana Mohon Tunggu... Konsultan - Managing Director

Bertanggung jawab terhadap pengembangan usaha bisnis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Terbongkar Konflik Kekuasaan 'Pembagian Kue' PDIP Vs Jokowi

27 November 2024   10:08 Diperbarui: 27 November 2024   10:08 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: personal AI

Presiden Jokowi dan PDIP: 

Hasto : Bongkar Kriminalisasi Politik Jokowi terhadap Anies

Konflik "Kue Kekuasaan" ?

 

Indra Wardhana

Kritik terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) semakin menguat, terutama setelah pernyataan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, yang membuka skenario politik Jokowi untuk menghambat tokoh oposisi dalam Pilpres 2024. Fenomena ini memunculkan pertanyaan tajam: apakah kritik ini merupakan bentuk kekecewaan PDIP karena tidak mendapatkan "kue kekuasaan" sesuai ekspektasi, atau ada faktor lain yang lebih mendasar?

Dari sisi lain, kebijakan dan langkah politik Jokowi selama menjabat kerap dianggap sebagai implementasi pragmatisme ala Niccol Machiavelli, di mana dengan  tujuan---yakni mempertahankan kekuasaan dan stabilitas---dengan membenarkan cara apa pun, bahkan jika cara itu dianggap tidak demokratis.

Kekecewaan PDIP: Tidak Mendapatkan "Kue Kekuasaan" yang Layak?

Sebagai partai pengusung utama, PDIP memiliki ekspektasi wajar bahwa mereka akan mendapatkan akses lebih besar terhadap kekuasaan. Namun, selama dua periode pemerintahan Jokowi, berbagai sinyal menunjukkan adanya friksi yang membuat partai merasa dirugikan.

1. Koalisi yang Membesar, Dominasi PDIP Tergerus

  • Distribusi Kekuasaan: Meski PDIP menguasai beberapa kementerian strategis, kehadiran partai lain seperti Golkar, Gerindra, dan bahkan tokoh independen dalam kabinet dinilai mengurangi dominasi partai pengusung utama.
  • Minimnya "Hadiah Politik": Jokowi sering dianggap lebih loyal kepada lingkaran pribadi atau kelompok non-partai daripada partai yang mengusungnya, sehingga PDIP merasa kehilangan kendali terhadap kebijakan pemerintah.

2. Sinyal Retaknya Hubungan Menjelang 2024

Hasto Kristiyanto secara terbuka menyebut skenario Jokowi untuk menghambat calon tertentu. Jika benar Jokowi tidak sepenuhnya mendukung Ganjar Pranowo---yang diusung PDIP---ini dapat menjadi alasan kuat kekecewaan partai.

  • Dukungan Jokowi pada Calon Lain: Spekulasi bahwa Jokowi mendukung kandidat non-PDIP menjadi pukulan bagi partai yang telah mengorbankan banyak sumber daya untuk mengusungnya sejak 2014.

3. Politik Kekuasaan yang Bersifat Transaksional

Dalam politik Indonesia, ekspektasi atas "imbalan politik" merupakan norma. Dukungan partai biasanya diikuti oleh posisi strategis di kabinet atau akses terhadap kebijakan. Ketika Jokowi dianggap tidak memberikan imbalan yang cukup, PDIP mungkin merasa peran mereka dalam mendukung dua periode Jokowi tidak dihargai.

Kesewenangan Jokowi: Kebijakan Ala Machiavelli

Langkah politik Jokowi selama menjabat presiden sering kali memicu perdebatan sengit. Banyak pihak menilai (termasuk saya ) bahwa Jokowi menjalankan strategi kekuasaan yang terinspirasi dari prinsip Machiavellianisme, di mana keberhasilan seorang pemimpin tidak dinilai dari moralitas atau demokrasi, tetapi dari efektivitas mempertahankan kekuasaan.

1. Politik Pragmatis dan Manipulasi Koalisi

  • Pelemahan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi): Revisi UU KPK pada 2019, yang melemahkan independensi lembaga ini, dianggap sebagai langkah strategis Jokowi untuk mengamankan stabilitas politik dengan meredam potensi ancaman dari pihak antikorupsi.
  • Koalisi Jumbo: Dengan merangkul partai-partai besar ke dalam kabinet, Jokowi berhasil menciptakan koalisi superkuat yang praktis tidak menyisakan ruang untuk oposisi. Namun, ini juga memicu kritik karena mengorbankan demokrasi dengan melemahkan mekanisme check and balance.

2. Kebijakan Ekonomi yang Mengabaikan Kerakyatan

  • Pembangunan Infrastruktur: Meski berhasil meningkatkan pertumbuhan infrastruktur, kebijakan ini sering dikritik karena mengabaikan dampak sosial, seperti penggusuran lahan rakyat kecil dan meningkatnya ketimpangan sosial. Langkah ini mencerminkan gaya Machiavelli: mendahulukan stabilitas ekonomi negara meski harus "mengorbankan" rakyat kecil.
  • UU Cipta Kerja (Omnibus Law): Undang-undang ini dianggap berpihak kepada investor dan kapital besar, sementara melemahkan hak pekerja dan perlindungan lingkungan. Langkah ini mencerminkan pragmatisme ekstrem ala Machiavelli, di mana kekuatan ekonomi dianggap lebih penting daripada keadilan sosial.

3. Manuver untuk Pilpres 2024

Dugaan bahwa Jokowi terlibat dalam skenario politik untuk mendukung tokoh tertentu dan menghambat tokoh lain, seperti Anies Baswedan, menunjukkan upaya mempertahankan pengaruh politik meskipun masa jabatannya akan berakhir.

  • Netralitas yang Dipertanyakan: Sebagai presiden, Jokowi seharusnya bersikap netral. Namun, langkah-langkah politiknya yang condong ke arah tertentu dinilai mencerminkan gaya Machiavelli, yakni mengutamakan kelangsungan kekuasaan di atas prinsip demokrasi.

Kritik dan Teori yang Mendukung Analisa Ini

  1. Teori Politik Machiavelli
    Dalam bukunya The Prince, Machiavelli menekankan bahwa pemimpin harus menggunakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan, termasuk manipulasi, propaganda, dan pengorbanan moralitas. Langkah Jokowi, seperti koalisi besar, pelemahan KPK, dan kebijakan ekonomi yang berpihak pada elit, mencerminkan pendekatan ini.
  1. Teori Klientelisme
    Relasi antara partai pengusung dan presiden biasanya didasarkan pada prinsip transaksional. Jika presiden gagal memenuhi ekspektasi partai pengusungnya, hubungan ini dapat memburuk. Kasus PDIP dan Jokowi mencerminkan bagaimana kegagalan distribusi "kue kekuasaan" dapat memicu konflik internal.
  1. Teori Dominasi Elit
    Langkah-langkah Jokowi dalam menjaga stabilitas kekuasaan, seperti memperbesar koalisi atau memprioritaskan pembangunan ekonomi untuk investor besar, mencerminkan teori dominasi elit, di mana kebijakan negara diarahkan untuk melayani kepentingan segelintir pihak.

 

Politik Kekuasaan yang Tidak Demokratis

Hubungan antara Jokowi dan PDIP mencerminkan konflik klasik antara penguasa dan pengusungnya. Sementara PDIP merasa tidak mendapatkan "kue kekuasaan" yang sesuai, Jokowi justru menggunakan pendekatan Machiavellian untuk menjaga stabilitas dan kekuasaannya. Langkah ini, meskipun efektif dalam jangka pendek, dapat melemahkan prinsip demokrasi jangka panjang.

Kritik terhadap Jokowi perlu diarahkan pada pentingnya kembali ke jalur demokrasi yang sehat, di mana kekuasaan tidak dijadikan alat pribadi atau kelompok tertentu. Sementara itu, PDIP juga harus introspeksi: apakah kritik mereka benar-benar didasarkan pada kepentingan rakyat, atau sekadar ekspresi kekecewaan atas distribusi kekuasaan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun