Kesewenangan Jokowi: Kebijakan Ala Machiavelli
Langkah politik Jokowi selama menjabat presiden sering kali memicu perdebatan sengit. Banyak pihak menilai (termasuk saya ) bahwa Jokowi menjalankan strategi kekuasaan yang terinspirasi dari prinsip Machiavellianisme, di mana keberhasilan seorang pemimpin tidak dinilai dari moralitas atau demokrasi, tetapi dari efektivitas mempertahankan kekuasaan.
1. Politik Pragmatis dan Manipulasi Koalisi
- Pelemahan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi): Revisi UU KPK pada 2019, yang melemahkan independensi lembaga ini, dianggap sebagai langkah strategis Jokowi untuk mengamankan stabilitas politik dengan meredam potensi ancaman dari pihak antikorupsi.
- Koalisi Jumbo: Dengan merangkul partai-partai besar ke dalam kabinet, Jokowi berhasil menciptakan koalisi superkuat yang praktis tidak menyisakan ruang untuk oposisi. Namun, ini juga memicu kritik karena mengorbankan demokrasi dengan melemahkan mekanisme check and balance.
2. Kebijakan Ekonomi yang Mengabaikan Kerakyatan
- Pembangunan Infrastruktur: Meski berhasil meningkatkan pertumbuhan infrastruktur, kebijakan ini sering dikritik karena mengabaikan dampak sosial, seperti penggusuran lahan rakyat kecil dan meningkatnya ketimpangan sosial. Langkah ini mencerminkan gaya Machiavelli: mendahulukan stabilitas ekonomi negara meski harus "mengorbankan" rakyat kecil.
- UU Cipta Kerja (Omnibus Law): Undang-undang ini dianggap berpihak kepada investor dan kapital besar, sementara melemahkan hak pekerja dan perlindungan lingkungan. Langkah ini mencerminkan pragmatisme ekstrem ala Machiavelli, di mana kekuatan ekonomi dianggap lebih penting daripada keadilan sosial.
3. Manuver untuk Pilpres 2024
Dugaan bahwa Jokowi terlibat dalam skenario politik untuk mendukung tokoh tertentu dan menghambat tokoh lain, seperti Anies Baswedan, menunjukkan upaya mempertahankan pengaruh politik meskipun masa jabatannya akan berakhir.
- Netralitas yang Dipertanyakan: Sebagai presiden, Jokowi seharusnya bersikap netral. Namun, langkah-langkah politiknya yang condong ke arah tertentu dinilai mencerminkan gaya Machiavelli, yakni mengutamakan kelangsungan kekuasaan di atas prinsip demokrasi.
Kritik dan Teori yang Mendukung Analisa Ini
- Teori Politik Machiavelli
Dalam bukunya The Prince, Machiavelli menekankan bahwa pemimpin harus menggunakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan, termasuk manipulasi, propaganda, dan pengorbanan moralitas. Langkah Jokowi, seperti koalisi besar, pelemahan KPK, dan kebijakan ekonomi yang berpihak pada elit, mencerminkan pendekatan ini.
- Teori Klientelisme
Relasi antara partai pengusung dan presiden biasanya didasarkan pada prinsip transaksional. Jika presiden gagal memenuhi ekspektasi partai pengusungnya, hubungan ini dapat memburuk. Kasus PDIP dan Jokowi mencerminkan bagaimana kegagalan distribusi "kue kekuasaan" dapat memicu konflik internal.
- Teori Dominasi Elit
Langkah-langkah Jokowi dalam menjaga stabilitas kekuasaan, seperti memperbesar koalisi atau memprioritaskan pembangunan ekonomi untuk investor besar, mencerminkan teori dominasi elit, di mana kebijakan negara diarahkan untuk melayani kepentingan segelintir pihak.
Â
Politik Kekuasaan yang Tidak Demokratis
Hubungan antara Jokowi dan PDIP mencerminkan konflik klasik antara penguasa dan pengusungnya. Sementara PDIP merasa tidak mendapatkan "kue kekuasaan" yang sesuai, Jokowi justru menggunakan pendekatan Machiavellian untuk menjaga stabilitas dan kekuasaannya. Langkah ini, meskipun efektif dalam jangka pendek, dapat melemahkan prinsip demokrasi jangka panjang.
Kritik terhadap Jokowi perlu diarahkan pada pentingnya kembali ke jalur demokrasi yang sehat, di mana kekuasaan tidak dijadikan alat pribadi atau kelompok tertentu. Sementara itu, PDIP juga harus introspeksi: apakah kritik mereka benar-benar didasarkan pada kepentingan rakyat, atau sekadar ekspresi kekecewaan atas distribusi kekuasaan?