"Menguak pernyataan Bahlil yang kontradiktif:
Pengalaman Lapangan vs. Pendidikan Tinggi, Mana yang Lebih Unggul?"
Â
Indra Wardhana SE, MSc HSEaud
Pernyataan Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, yang membandingkan pendidikannya di STIE Port Numbay dengan Harvard University, menimbulkan kontroversi.Â
Bahlil menekankan bahwa pengalaman lapangan lebih penting daripada pendidikan tinggi, terutama dalam menyelesaikan masalah investasi mangkrak yang ia klaim berhasil tangani.
 Namun, pernyataan ini mengandung berbagai kelemahan mendasar yang layak untuk dikritisi secara tajam. Artikel ini akan menganalisis pernyataan Bahlil dengan menggunakan berbagai teori, seperti teori pendidikan, filsafat pengetahuan, manajemen, psikologi, dan sosial, untuk menguraikan kelemahan pandangan tersebut dan tentu saja tidak berdasar karena akal bulus dan rendahnya tingkat intelektualitas seseorang.
1. Pendiskreditan Pendidikan Tinggi
Bahlil secara tersirat merendahkan nilai pendidikan dari universitas terkemuka seperti Harvard dengan menyatakan bahwa "ilmu lapangan tidak ada di Harvard." Pernyataan ini simplistik dan menyesatkan.Â
Harvard dan universitas elit lainnya tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga menerapkan praktik, melatih kemampuan analitis, kepemimpinan, serta kemampuan pemecahan masalah yang relevan dalam dunia nyata.
- Kritik: Meremehkan pendidikan tinggi tanpa dasar yang kuat menunjukkan ketidakpahaman terhadap esensi pendidikan modern. Banyak lulusan Harvard yang sukses di berbagai bidang karena mereka mampu memadukan teori dan praktik. Mengabaikan nilai pendidikan semacam ini bisa dianggap sebagai bentuk anti-intelektualisme yang kontraproduktif, terutama dalam dunia yang semakin berbasis data dan analisis.
2. Pengalaman vs. Pendidikan: Dikotomi yang Salah
Bahlil menyatakan bahwa pengalaman lapangan lebih penting daripada pendidikan tinggi. Namun, anggapan ini menciptakan dikotomi palsu antara pengalaman dan pendidikan, padahal keduanya saling melengkapi.Â
Pendidikan formal memberikan fondasi teoretis dan cara berpikir yang kuat, sementara pengalaman lapangan membantu menerapkan pengetahuan ini dalam dunia nyata.
- Kritik: Menyatakan bahwa pengalaman lapangan tidak bisa dipelajari di Harvard merupakan bentuk pemahaman yang dangkal tentang pendidikan modern. Banyak universitas elite mengintegrasikan pembelajaran berbasis pengalaman melalui studi kasus dan magang. Klaim Bahlil ini menyederhanakan realitas, di mana pendidikan dan pengalaman seharusnya berjalan beriringan.
3. Kesalahan Logika: Kesuksesan Pribadi sebagai Ukuran Universal
Bahlil menggunakan pencapaiannya dalam menyelesaikan investasi mangkrak sebagai bukti bahwa lulusan STIE lebih unggul daripada lulusan Harvard. Namun, ini adalah contoh dari fallacy of hasty generalization—menggunakan satu pengalaman pribadi untuk mendiskreditkan pendidikan tinggi.
- Kritik: Kesuksesan Bahlil mungkin dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk kebijakan pemerintah dan situasi pasar. Menggunakan pencapaian pribadi untuk menilai sistem pendidikan yang berbeda tidak memberikan gambaran yang objektif dan cenderung bias.
4. Analogi yang Tidak Relevan dan Merendahkan
Bahlil menggunakan analogi "hantu" untuk menggambarkan masalah lapangan yang hanya bisa diatasi oleh mereka yang punya pengalaman serupa. Analogi ini tidak relevan dan merendahkan profesional dengan pendidikan tinggi, seolah-olah teori akademis tidak memiliki tempat dalam memecahkan masalah praktis.
- Kritik: Analogi ini mengabaikan kontribusi konstruktif yang dapat diberikan oleh pendidikan tinggi dalam menyelesaikan masalah nyata. Dengan meremehkan pendidikan, Bahlil menguatkan stereotip bahwa profesional dengan pendidikan tinggi tidak kompeten di lapangan, yang merupakan pandangan yang dangkal dan tidak berdasar.
5. Bahaya Anti-Intelektualisme dalam Kepemimpinan
Pernyataan Bahlil yang meremehkan pendidikan dari universitas bergengsi seperti Harvard berpotensi memperkuat anti-intelektualisme dalam kebijakan publik. Negara tidak bisa berkembang dengan hanya mengandalkan pengalaman praktis tanpa dukungan pengetahuan akademis yang kuat. Inovasi ilmiah dan penelitian berbasis bukti adalah kunci dalam menghadapi tantangan global, seperti perubahan iklim dan teknologi.
- Kritik: Anti-intelektualisme dapat merusak kualitas pengambilan keputusan di pemerintahan, yang membutuhkan sinergi antara pengetahuan akademis dan pengalaman lapangan. Ketika pemimpin meremehkan pendidikan akademis, mereka berisiko mengabaikan penelitian berbasis bukti dan pendekatan berbasis data, yang sangat penting untuk keberhasilan jangka panjang.
6. Teori Pendidikan: Modal Manusia
Dalam Human Capital Theory oleh Gary Becker, pendidikan dianggap sebagai investasi untuk meningkatkan produktivitas individu. Pendidikan tinggi memberikan kemampuan analitis, pengetahuan konseptual, dan keterampilan berpikir kritis yang memungkinkan individu membuat keputusan yang lebih baik dan strategis.
- Kritik: Bahlil gagal mengakui bahwa pendidikan dari Harvard memberikan kerangka berpikir strategis yang memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih bijak. Menyelesaikan investasi mangkrak bukan hanya soal "lapangan", tetapi juga soal kemampuan merancang kebijakan berkelanjutan—hal-hal yang dihasilkan dari pendidikan formal.
7. Teori Manajemen: Manajemen Strategis vs. Operasional
Dalam manajemen strategis, perencanaan jangka panjang dan visi yang jelas adalah kunci kesuksesan. Harvard dikenal melahirkan pemimpin yang fokus pada pengambilan keputusan strategis berbasis data, sementara Bahlil lebih menekankan manajemen operasional, yang menangani masalah sehari-hari.
- Kritik: Menyelesaikan investasi mangkrak adalah contoh manajemen operasional, tetapi kesuksesan jangka panjang membutuhkan manajemen strategis yang dibentuk melalui pendidikan formal. Michael Porter, ahli manajemen strategis dari Harvard, menekankan bahwa keunggulan kompetitif jangka panjang hanya bisa dicapai dengan visi yang jelas dan strategi yang tepat.
8. Teori Psikologi: Bias Kognitif
Pernyataan Bahlil menunjukkan illusion of superiority, di mana seseorang melebih-lebihkan kemampuannya sendiri. Dalam hal ini, Bahlil merendahkan pendidikan tinggi hanya karena kesuksesannya dalam menangani satu masalah spesifik.
- Kritik: Sukses di satu area tidak berarti seseorang memiliki solusi untuk semua masalah. Pendidikan tinggi memberikan pemahaman yang lebih luas tentang kompleksitas global—sesuatu yang tidak bisa dicapai hanya dengan pengalaman lapangan.
Pernyataan Bahlil Lahadalia yang meremehkan pendidikan tinggi dan menyanjung pengalaman lapangan secara berlebihan mengandung banyak kelemahan logis dan konseptual.Â
Teori-teori pendidikan, filsafat pengetahuan, manajemen, psikologi, dan ekonomi semuanya menunjukkan bahwa keberhasilan sejati memerlukan kombinasi antara pendidikan formal yang kuat dan pengalaman praktis.Â
Mengabaikan nilai pendidikan dari universitas terkemuka seperti Harvard, dan hanya fokus pada pengalaman lapangan, adalah pandangan yang sempit dan berpotensi merugikan pengembangan kebijakan ekonomi dan investasi berkelanjutan di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H