Mohon tunggu...
Indra Wardhana
Indra Wardhana Mohon Tunggu... Konsultan - Managing Director

Bertanggung jawab terhadap pengembangan usaha bisnis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengkhianatan di Keraton Kasepuhan, Kesultanan Cirebon: Sebuah Analisis dari kaum Nasionalis terhadap Sejarah Pengkhianatan atau peristiwa Peteng.

1 Agustus 2024   15:03 Diperbarui: 1 Agustus 2024   15:47 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filolog Sejarah Keraton : Opan01 (Dokpri)

Pengkhianatan di Keraton Kasepuhan, Kesultanan Cirebon: 

Analisis dari kaum Nasionalis terhadap Sejarah Pengkhianatan atau peristiwa Peteng.

Indra Wardhana SE, MSc HSEaud. (Kaum Nasionalis)

Pendahuluan

Kesultanan Cirebon adalah salah satu pusat kebudayaan dan penyebaran Islam di Jawa yang memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia. Kesultanan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah), seorang tokoh besar dalam Wali Songo, pada abad ke-15. Selama berabad-abad, Kesultanan Cirebon menjadi pusat spiritual, budaya, dan politik yang signifikan di Jawa Barat. Namun, kesultanan ini juga mengalami masa-masa kelam, salah satunya adalah "Sejarah Peteng" (sejarah gelap) yang mencakup pengkhianatan dan intervensi kolonial. Dari sudut pandang seorang nasionalis, pengkhianatan ini bukan hanya masalah internal kesultanan, tetapi juga simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan upaya mempertahankan identitas nasional.

Latar Belakang Kesultanan Cirebon

Kesultanan Cirebon berdiri kokoh di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati, yang menggabungkan kekuatan spiritual dan politik untuk membangun sebuah pusat kebudayaan Islam yang berpengaruh. Sebagai salah satu Wali Songo, Sunan Gunung Jati tidak hanya dikenal karena peranannya dalam menyebarkan Islam, tetapi juga karena kemampuannya dalam menyatukan berbagai suku dan kelompok di wilayah Cirebon. Kesultanan ini menjadi pusat pendidikan, budaya, dan agama, dengan Sunan Gunung Jati sebagai simbol kearifan dan keadilan.

Awal Mula "Sejarah Peteng"

"Sejarah Peteng" dimulai dengan pengangkatan Sultan Sepuh VI Ki Muda (Hasanudin) yang bersekutu dengan Belanda. Pengangkatan ini tidak mengikuti garis keturunan asli Sunan Gunung Jati dan menandai awal intervensi kolonial dalam urusan internal kesultanan. Belanda, dengan strategi divide et impera (pecah belah dan kuasai), menggunakan konflik internal untuk memperkuat cengkeraman mereka di wilayah Cirebon. Mereka mendukung Sultan Sepuh VI untuk mengendalikan kekuasaan lokal dan mengurangi ancaman terhadap dominasi kolonial mereka.

Pengkhianatan Sultan Sepuh VI Ki Muda

Sultan Sepuh VI Ki Muda dikenal karena kedekatannya dengan pihak kolonial Belanda. Ia dianggap sebagai sosok yang mengkhianati tradisi dan nilai-nilai kesultanan demi keuntungan pribadi dan dukungan dari Belanda. Pengangkatannya oleh Belanda memicu ketidakpuasan dan perpecahan di kalangan keluarga kerajaan dan masyarakat Cirebon. Dari perspektif nasionalis, tindakan Sultan Sepuh VI adalah bentuk pengkhianatan terhadap kedaulatan dan kehormatan kesultanan.

Analisis Indra Wardhana (Kaum Nasionalis)

Dampak Pengkhianatan

Filolog Sejarah Keraton : Opan01 (Dokpri)
Filolog Sejarah Keraton : Opan01 (Dokpri)
Filolog Sejarah Keraton : Opan02 (Dokpri)
Filolog Sejarah Keraton : Opan02 (Dokpri)

Filolog Sejarah Keraton : Opan03  (Dokpri)
Filolog Sejarah Keraton : Opan03  (Dokpri)

Analisis Indra Wardhana (Kaum Nasionalis)

Perspektif Nasionalis

Dari sudut pandang nasionalis, pengkhianatan ini harus segera dituntaskan dan diselesaikan oleh Negara, Upaya yang dilakukan keraton Kasepuhan dari Garis Keturunan Sunan Gunung Jati, adalah bagian dari upaya panjang untuk mempertahankan identitas nasional dan kedaulatan Bangsa dari campur tangan asing yang sudah bertahan sejak lama. Perjuangan Kesultanan Cirebon melawan dominasi Belanda mencerminkan perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka dan berdaulat. Pengkhianatan yang terjadi bukan hanya masalah internal kesultanan, tetapi juga tentang upaya mempertahankan warisan budaya dan identitas nasional di tengah tekanan kolonial.

Dampak Pengkhianatan

Pengkhianatan ini berdampak luas, baik secara politik, sosial, maupun budaya. Dari sudut pandang nasionalis, beberapa dampak utama yang harus diperhatikan adalah:

  1. Keruntuhan Kedaulatan Lokal:

    • Pengangkatan Sultan yang tidak sah oleh Belanda mengakibatkan hilangnya kedaulatan lokal. Kesultanan Cirebon, yang seharusnya menjadi simbol kemerdekaan dan kemandirian, menjadi alat bagi kepentingan kolonial. Kedaulatan lokal yang sebelumnya dipegang teguh oleh Sunan Gunung Jati dan penerusnya menjadi terpinggirkan oleh kepentingan kolonial.
  2. Perpecahan Internal:

    • Pengkhianatan ini juga menyebabkan perpecahan dalam keluarga kerajaan dan masyarakat. Konflik internal yang disebabkan oleh intervensi Belanda melemahkan solidaritas dan kekuatan kesultanan. Keluarga kerajaan yang seharusnya bersatu dalam mempertahankan kesultanan, terpecah belah karena dukungan yang berbeda terhadap Sultan Sepuh VI dan Belanda.
  3. Erosi Identitas Budaya:

    • Campur tangan kolonial dan pengkhianatan terhadap garis keturunan asli Sunan Gunung Jati mengakibatkan erosi identitas budaya. Tradisi dan nilai-nilai lokal terancam oleh pengaruh asing yang memaksakan kepentingan mereka sendiri. Identitas budaya yang dibangun oleh Sunan Gunung Jati dan penerusnya menjadi terdistorsi oleh pengaruh asing.

Perlawanan dan Upaya Pemulihan

Dari perspektif nasionalis, perjuangan melawan pengkhianatan dan intervensi kolonial adalah bagian penting dari sejarah Kesultanan Cirebon. Beberapa upaya yang dilakukan untuk memulihkan kedaulatan dan identitas kesultanan antara lain:

  1. Perlawanan Rakyat:

    • Masyarakat Cirebon, terutama para pendukung garis keturunan asli Sunan Gunung Jati, terus melakukan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial dan sultan-sultan yang dianggap tidak sah. Perlawanan ini menjadi bagian dari gerakan nasional yang lebih luas untuk melawan kolonialisme di Indonesia. Rakyat Cirebon mengorganisir berbagai bentuk perlawanan, mulai dari perlawanan bersenjata hingga gerakan budaya untuk mempertahankan identitas mereka.
  2. Pemulihan Garis Keturunan Asli:

    • Usaha untuk mengembalikan garis keturunan asli Sunan Gunung Jati tetap dilakukan. Hal ini penting untuk memulihkan legitimasi dan integritas kesultanan sebagai simbol identitas dan kebanggaan lokal. Pemulihan ini juga melibatkan upaya untuk meluruskan sejarah dan mengakui kembali para penerus yang sah dari Sunan Gunung Jati.
  3. Pendidikan dan Kesadaran Sejarah:

    • Pendidikan dan penyadaran sejarah di kalangan masyarakat menjadi kunci untuk menjaga warisan budaya dan sejarah Kesultanan Cirebon. Pengetahuan tentang "Sejarah Peteng" dan perjuangan melawan kolonialisme harus terus disebarkan agar generasi mendatang memahami pentingnya mempertahankan kedaulatan dan identitas nasional. Program pendidikan ini mencakup pengajaran sejarah lokal di sekolah-sekolah dan penyelenggaraan acara budaya yang memperingati perjuangan Kesultanan Cirebon.

Kasus Sultan Sepuh VI dan Intervensi Belanda

Pengkhianatan yang terjadi pada masa Sultan Sepuh VI tidak bisa dilepaskan dari intervensi Belanda yang bertujuan untuk menguasai wilayah Cirebon. Belanda melihat potensi Cirebon sebagai pusat perdagangan yang strategis dan berusaha mengendalikan kekuasaan lokal melalui taktik divide et impera. Mereka mendukung Sultan Sepuh VI yang dianggap lebih mudah dikendalikan dibandingkan dengan penerus asli Sunan Gunung Jati.

Intervensi Belanda ini memperparah konflik internal di Kesultanan Cirebon. Dukungan Belanda terhadap Sultan Sepuh VI menciptakan ketegangan dan ketidakpuasan di kalangan keluarga kerajaan dan masyarakat. Banyak pihak yang menolak pengangkatan Sultan Sepuh VI dan melihatnya sebagai pengkhianatan terhadap tradisi dan nilai-nilai kesultanan.

Peran Nasionalisme dalam Melawan Pengkhianatan

Dari perspektif nasionalis, pengkhianatan yang terjadi di Kesultanan Cirebon adalah bagian dari perjuangan lebih luas untuk melawan kolonialisme dan mempertahankan kedaulatan nasional. Perjuangan ini mencakup upaya untuk memulihkan garis keturunan asli, melawan intervensi asing, dan mempertahankan identitas budaya.

Nasionalisme memandang bahwa pengkhianatan Sultan Sepuh VI dan intervensi Belanda adalah ancaman serius terhadap kedaulatan dan integritas bangsa. Oleh karena itu, perjuangan melawan pengkhianatan ini adalah bagian dari upaya untuk mempertahankan kemerdekaan dan martabat bangsa. Nasionalisme menekankan pentingnya kesatuan dan solidaritas dalam menghadapi ancaman dari luar, serta pentingnya menjaga nilai-nilai dan tradisi lokal sebagai bagian dari identitas nasional.

Pembelajaran dari "Sejarah Peteng"

"Sejarah Peteng" memberikan banyak pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Dari perspektif nasionalis, beberapa pelajaran utama yang dapat diambil antara lain:

  1. Pentingnya Kedaulatan dan Legitimasi Lokal:

    • Kedaulatan dan legitimasi lokal harus dijaga dari intervensi asing. Sejarah menunjukkan bahwa campur tangan asing sering kali membawa dampak negatif, seperti perpecahan dan erosi identitas budaya.
  2. Kesatuan dan Solidaritas:

    • Kesatuan dan solidaritas di kalangan keluarga kerajaan dan masyarakat adalah kunci untuk menghadapi ancaman dari luar. Perpecahan internal hanya akan melemahkan kekuatan dan kemampuan untuk melawan intervensi asing.
  3. Pentingnya Pendidikan dan Kesadaran Sejarah:

    • Pendidikan dan kesadaran sejarah adalah alat penting untuk menjaga warisan budaya dan identitas nasional. Pengetahuan tentang sejarah lokal dan perjuangan melawan kolonialisme harus terus disebarkan agar generasi mendatang memahami dan menghargai perjuangan para pendahulu mereka.
  4. Melawan Strategi Divide et Impera:

    • Strategi divide et impera yang digunakan oleh kolonial Belanda untuk menguasai wilayah Cirebon adalah contoh nyata dari bagaimana intervensi asing bisa merusak solidaritas dan kedaulatan lokal. Penting untuk melawan strategi semacam ini dengan memperkuat persatuan dan kemandirian lokal.

 

Kesimpulan

Pengkhianatan yang terjadi di Kesultanan Cirebon merupakan babak kelam yang mencerminkan perjuangan panjang melawan kolonialisme dan upaya mempertahankan identitas nasional. Dari sudut pandang nasionalis, peristiwa ini tidak hanya tentang konflik internal kesultanan, tetapi juga tentang perjuangan untuk melindungi warisan budaya, kedaulatan, dan kebanggaan nasional.

Dengan memahami dan mengakui "Sejarah Peteng," kita dapat mengambil pelajaran penting tentang pentingnya persatuan, kedaulatan, dan identitas dalam membangun bangsa yang merdeka dan berdaulat. Sejarah Kesultanan Cirebon, dengan segala dinamika dan perjuangannya, adalah cermin dari perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka dan berdiri di atas kaki sendiri. Melalui pendidikan dan penyadaran sejarah, kita dapat menjaga dan menghargai warisan budaya dan perjuangan para pendahulu kita.

Referensi

  • Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia.
  • Sejarah Kesultanan Cirebon.
  • Arsip dan dokumen sejarah tentang pengkhianatan dan intervensi kolonial di Cirebon.
  • Catatan dan tulisan nasionalis tentang perjuangan melawan kolonialisme di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun