Selebrasi kemanusiaan adalah nilai tertinggi dari pameran "Pasung Kapal Lepas - Outsider Artpreneur 2019", di Ciputra Artpreneur Jakarta, 27 Agustus  - 8 September 2019.Â
Kini bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dan penyandang gangguan mental di Indonesia, makin terbuka ruang pengakuan yang luas bagi mereka jika berprestasi menekuni seni lukis.
Seni lukis dapat menjadi masa depan bagi ekspresi kemandirian anak inklusif (ABK) dan penyandang difabel di masyarakat.
Di tingkat global pun kini para penikmat seni lukis dunia telah mengakui dan mengkoleksi karya-karya tipe ini, yang setelah melalui kurasi (penilaian mutu) digolongkan sebagai karya seni Artbrut atau Outsider Art.
Sebagai pendidik, tentu saya, dan para guru di sekolah inklusi seluruh Indonesia, makin pede bahwa kesetaraan atau inklusifitas di dunia pendidikan menemukan pondasi jawabannya dalam masyarakat.Â
Berbagai kegiatan terapis yang berdasarkan pada kegiatan berkesenian -- seni kriya, lukis, gardening, trash-art, dan sebagainya -- semoga mendapat landasan puncak-puncak penghargaannya di masa depan.  Sebagaimana Paralympic, ASEAN ParaGames, atau ASIAN ParaGames  untuk para olahragawan difabel/disabilitas.
MEMAHAMI ISTILAH ARTBRUTÂ atau OUTSIDER ART
Seni budaya sejatinya adalah milik masyarakat, cara masyarakat mengekspresikan dirinya.
Ekspresi bagi mereka yang normal, juga bagi mereka yang istimewa atau berkebutuhan khusus (ABK) -- penyandang disleksia, autisme dan turunannya; Â mental retardasi hingga gangguan mental seperti bipolar, skizoprenia, dan turunannya. Â Â
Karya seni adalah ekspresi puitik ketika seseorang mencapai momen-momen kreatifnya. Keindahan itu bisa kok diciptakan oleh siapa saja.
Namun, masyarakat telah terbiasa dengan klasifikasi seni normalitas. Seni yang indah, atau bernilai seni, telah ada ukuran atau standar-standarnya.  Dan perdebatan di kalangan akademisi seni pun belum berakhir tentang kehadiran seni yang tidak mainstream ini.
Bagi penyandang kebutuhan khusus dan gangguan mental -apakah melukis sebagai tujuan terapi, atau sebagai pelepasan erangan jiwa, atau memang sebuah capaian estetik-- hasil karya mereka bukanlah hal yang menjadi soal untuk diperdebatkan.Â
Karya-karya penyandang keterbatasan itu disebut sebagai karya seni Artbrut, Outsider Art, Raw Art, atau Marginal Art, Â maknanya karya seni yang dibuat oleh pegiat yang bukan berlatar seni dan/atau tidak mengacu pada konsep seni akademik pada umumnya.Â
Karya Artburt dahulu antara lain diperoleh dari pasien rumah sakit jiwa, Â orang terpasung yang telah terbebaskan, Â dari pusat-pusat rehabilitasi mental, hingga para seniman kriminal yang stres tertekan di penjara.
Masih dipertanyakan: layakkah karya seni hasil terapi psikologis masuk kategori seni? Soalnya, isinya kan sebagai pelampiasan mimpi dan obsesi lantaran keterbatasan  mental sahaja. Mereka bekerja dalam keterisolasian atau kesendirian, melukis otodidak tanpa melalui proses kreatif sebagaimana proses kreatifitas dalam pembentukan budaya pada umumnya.
Menurut Jean Couteau, kurator pameran "Pasung Kapal Lepas-Outsider Artpreneur 2019" ini,  sejak akhir Perang Dunia II jagat seni dunia Barat telah menghargai karya-karya seniman yang gandrung ke pendekatan  artbrut atau outsider art. Â
Disebutkan nama seniman bergaya surealis atau abstrak kelas dunia seperti Andre Masson, Joan Miro, seniman bergangguan mental Adolf Wolfli, dan yang amat terkenal Salvador Dali, yang juga melukis sebagai penjelajahan psikologis jauh di bawah alam kesadaran.Â
Di Indonesia juga dicatat ada pelukis artbrut Ni Tanjung, Â bermukim di Bali. Ia melukis tema imajinatif gunung, sebagai ekspresi individualitas budaya Bali. Kebebasan kreatif seorang Ni Tanjung, menghadirkan penggalian akar budaya Bali yang menghargai gunung dan leluhurnya, sebagai refleksi akar estetiknya sebagai keseharian seorang manusia Bali. Â
Bayangkan, dengan Indonesia yang sangat kaya ide ragam budaya, akan banyak terlahir seniman-seniman artburt atau outsider art Indonesia ini ke pentas dunia.  Â
AUTISME, SKIZOPRENIA, DAN LAINNYAÂ
Pada pameran "PASUNG KAPAL LEPAS - Outsider Artpreuner 2019" ini, tampil 9 peserta.
Mereka sebelumnya menjalani workshop melukis berkolaborasi  dengan Hanafi, seorang pelukis abstrak kontemporer.  Diharapkan, terjadi dialog antara seni 'normal' dengan seni 'inklusif', dan memantik intuisi kedalaman peserta sehingga mereka makin matang melukis mencapai kategori seni yang bermutu (Artbrut).
Menikmati karya-karya  mereka kita menemukan kekosongan, keheningan, kesuraman, kegelapan (darkness), horor, kesedihan,  kesendirian, repetisi, keluguan (naive), kekacauan yang teratur (dekoratif), hingga abstraksi yang rumit tapi menyenangkan. Karya yang mencerminkan jati diri mereka sesungguhnya, dengan latar budaya masing-masing. Â
Inilah mereka itu. Anfield Wibowo (birth. 2004, SMP SLB B Pangudi Luhur, Â sindrom asperger dan tunarungu); Â Aqillurachman Prabowo (b.2004, disleksia); Audrey Christabel Angesti (b.2002, autistik MSDD type C); Bima Ariasena Adisoma (b.1988, autisme, peserta Adult Development di Yayasan Daya Pelita Kasih); Daya Olivia Korompis (b.1979, kelainan kromosom, pendiri Yayasan Daya Pelita Kasih).
Dwi Putro (b.1963, dipanggil Pak Wi, gangguan mental skizoprenia, pernah dipasung); Hana Madness (b.1992, bipolar disorder dan skizoprenia); Oliver Adivarman Wihardja (b.2001, autisme, Yayasan Bina Abyakta);  dan Raynaldy Halim (b. 1997, autisme ADHD / PDD-Nos).
Pameran juga dimeriahkan dengan sejumlah banyak karya peserta inklusif lain, sebagai pembanding, dan juga nanti kelak bisa masuk kategori seni berkelas artbrut. Mereka dari Hadiprana Art Class, Yayasan Bina Abyakta, dan Yayasan Daya Pelita Kasih.Â
Juga diadakan diskusi seni rupa inklusif bagi kalangan guru dan pendidik sekolah inklusi yang ada di Jabodetabek.Â
DIGAGAS OLEH CIPUTRA ARTPRENEURÂ
Pameran seni inklusi artbrut seperti ini pernah juga digelar di Galeri Nasional Jakarta, dengan peserta antara lain siswa sekolah penyandang autisme dan gangguan mental.
Patut kita berikan apresiasi tinggi kepada para pegiat seni atas kesediaan dan uluran tangan untuk para menghidupkan jagat seni Outsider Art bagi penyandang kebutuhan khusus dan difabel di Indonesia.
Terlebih khusus Rina Ciputra Sastrawinata, Presiden Direktur Ciputra Artpreneur Jakarta, sebagai penggagas pameran ini. Juga kurator Jean Couteau, seniman kontemporer Hanafi, dan Nawa Tunggal berserta Komunitas Kapal Cinta, yang mengolah tema inklusifitas di pameran ini.Â
"Harapannya, pameran ini mampu membuka jalan kepada keluarga, komunitas, dan masyarakat bahwa para seniman berkebutuhan khusus ini bisa diarahkan agar bisa hidup mandiri dengan menghasilkan karya-karya berkualitas," kata Rina Ciputra.Â
Semoga menjadi penyemangat agar lebih banyak event seni Artbrut/Outsider Art Indonesia serupa di berbagai kota, sehingga  para pendidik termotivasi untuk lebih meningkatkan capaian terapi melalui kegiatan berkesenian.
Dan  masyarakat Indonesia jadi terbuka, setara menerima keistimewaan para difabel dan anak inklusif.Â
(Indrawan Miga)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H