Setahap demi setahap melewati peningkatan-peningkatan kecil, siswa ABK kelak mengalami perubahan atau pencapaian signifikan yang berharga dan bermanfaat bagi dirinya : kecerdasan akademik, sikap sosial, dan life-skill.
Bagi anak yang telah mandiri, dan ternyata memang memperlihatkan potensi bakat minat khusus semisal di bidang matematika (kecerdasan logic matematik), komputer - grafis, desain, art (naturalis), cookery, menari dan bermusik (music), spiritual, ataupun berbahasa asing (linguistik), tentu sekolah wajib mengembangkan potensi kecerdasan yang ada agar menjadi bekal bagi siswa di jenjang pendidikan berikutnya. Â Pengertian pintar di sini adalah bagian dari kecerdasan majemuk yang dimiliki anak. Â
14. Siswa inklusi urusan guru pendamping, bukan tanggung jawab kelas atau bidang studi.
Tugas guru kelas sudah berat menangani anak reguler, jadi tidak mau ditambah lagi dengan urusan ABK meski cuma 2 atau 3 anak.
Ketambahan siswa ABK seolah menjadi tambahan tugas yang merepotkan, misal mesti membuat soal yang berbeda dengan siswa reguler, atau ikut memberikan kesimpulan evaluasi belajar.
Berarti, di sini, para guru reguler atau guru kelas belum memahami, bahwa menjadi sekolah inklusif itu adalah komitmen seluruh warga sekolah, bukan unit inklusif saja.
Setiap guru atau warga sekolah harus aktif berkontribusi mendampingi siswa atau temannya yang berkebutuhan khusus.
15. Penilaian raport atau evaluasi belajar siswa inklusi adalah tanggung jawab guru pendamping.
Kondisi seperti ini kurang baik bagi sekolah inklusif.
Guru kelas atau wali kelas wajib ikut serta memberikan penilaian atau evaluasi belajar.
Catatannya akan akan digabungkan dengan penilaian dari unit terapi, sehingga menjadi satu laporan perkembangan belajar yang komprehensif. Para orangtua dapat berkonsultasi baik pada sang wali kelas maupun dengan guru pendamping, sehingga mendapat gambaran integratif.